Tokoh feminis Indonesia yang juga penulis buku berpengaruh Ibuisme Negara, Julia Suryakusuma, baru saja mendapat penghargaan “Order of the Crown” dari pemerintah Belgia untuk warga non-Belgia. Penghargaan yang diberikan pada 10 Maret lalu di kediaman duta besar Belgia di Jakarta tersebut diberikan atas kontribusi Julia terhadap gerakan sosial terkait kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan demokrasi.
Dalam pidatonya, Duta Besar Belgia Stephane de Loecker menyatakan, Kerajaan Belgia mengakui pencapaian Julia lewat karya-karya tulisnya yang penuh pengalaman, observasi, dan analisis mendalam terkait isu sosial politik.
Ia juga menyoroti aktivisme Julia yang telah dimulai sejak lama dalam mengangkat permasalahan perempuan, mulai dari status dan pendidikan rendah yang mereka miliki, kekerasan domestik dan kemiskinan, sampai soal ketiadaan peran perempuan dalam membuat keputusan.
Penghargaan dari Dunia Barat untuk Aktivis Indonesia
Seperti tulisan-tulisan di kolomnya di berbagai media, termasuk Magdalene, Julia menyampaikan pidato dengan sentuhan, namun tetap sarat pesan kritis. Ia, misalnya, berterima kasih kepada pemerintah Belgia karena biasanya penghargaan dari dunia Barat diberikan kepada orang-orang yang telah disiksa, dipenjara atau diasingkan.
“Terima kasih telah mengizinkan saya menerima penghargaan ini tanpa harus melalui hal-hal yang mengerikan tersebut,” ujar Julia.
Ia juga menyinggung pertanyaan de Loecker, apakah Julia pernah menerima medali sebelumnya, atau saat orang heran, mengapa pemerintah Belgia yang justru memberinya penghargaan, bukan pemerintah Indonesia sendiri.
Julia menyoroti bagaimana Presiden Joko Widodo lebih memilih menganugerahi Bintang Mahaputra, penghargaan tertinggi kedua untuk layanan sipil luar biasa, kepada politikus oposisi Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang dikenal suka mengkritik presiden.
Baca juga: Melirik Keberagaman Fokus Perjuangan Aliran-aliran Feminisme
“...Ataukah memberikan penghargaan kepada para pengkritiknya adalah cara untuk menunjukkan betapa dia (Jokowi) orang yang sangat demokratis dan toleran? Apakah pemberian hadiah ini bermotivasikan politik?” kata Julia.
Lebih lanjut, Julia mengatakan bahwa dirinya tidak melakukan hal yang dia lakukan hanya karena berharap menerima penghargaan.
“Ketika Anda sangat terlibat dalam pekerjaan yang dilakukan dengan cinta, itu merupakan hadiahnya sendiri. Saya merasa saya orang paling beruntung di dunia karena sejak saya remaja, saya telah melakukan apa yang saya sukai dan cintai. Yang pertama dan terpenting adalah mengejar pengetahuan,” ujarnya.
Dalam acara penghargaan yang berdekatan dengan momen Hari Perempuan Internasional tersebut, ia juga mengingatkan tentang pentingnya bersuara tentang kebenaran dan keadilan. Hal ini tidak lepas dari pengalamannya sejak kecil.
“Ini ada hubungannya dengan kenyataan bahwa saya didiskriminasi dalam keluarga saya (ibu saya lebih menyayangi adik laki-laki saya), namun hal itu merupakan berkah terselubung. Hal itu membuat saya berempati dengan penderitaan orang lain yang didiskriminasi dan diperlakukan tidak adil,” ungkap Julia.
“Kemarahan saya memberi saya dorongan untuk menjadi feminis, dan kemudian, aktivis pro-demokrasi, pendukung setia LGBTIQ+, dan kelompok terpinggirkan lainnya juga, dan memberi saya bahan bakar untuk hal-hal yang saya lakukan dan tulis.”
Tokoh Panutan yang Konsisten
Atas penghargaan yang diberikan pemerintah Belgia kepada Julia ini, banyak pihak yang memberikan ucapan selamat serta tanggapan positif.
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta dan rohaniawan Franz Magnis Suseno menyatakan, gaya menulis Julia yang tak gentar, bahkan kadang mengejutkan, membuat sosoknya tidak tergantikan di negeri ini. Pengamatan kritis Julia menguak kemunafikan yang ditemukan pada orang-orang berpikiran sempit yang kerap berbalut atribut kesalehan, serta kuasa patriarkal yang masih mendominasi di Indonesia.
Baca juga: Julia Suryakusuma: Tentang Ibu, Menjadi Ibu, dan Ibuisme
“Kombinasi ironi Julia yang khas, bakatnya mengungkap sisi lucu dari kepentingan yang sombong, analisis yang tajam dan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap apa yang menurutnya benar, yang membuat Julia unik di lanskap media Indonesia,” ungkap Franz Magnis.
Sementara bagi Dede Oetomo, pendiri GAYa Nusantaraa, komunitas LGBTIQ pertama di Indonesia, Julia merupakan sosok panutannya yang konsisten dalam mengadvokasi orang-orang dengan latar belakang gender dan seksualitas beragam.
“Tulisan-tulisannya bagi saya merupakan hati nurani Indonesia yang progresif, yang dicita-citakan oleh kita yang mencintai dan menghargai semua manusia,” kata Dede.
Lain lagi di mata David Reeve, profesor kehormatan UNSW serta guru besar tamu di Universitas Airlangga. Ia menyatakan, “Dia [Julia] sangat kosmopolitan, tapi pada saat yang sama, sangat Indonesia.”
Ibuisme Negara yang lahir dari tesis Julia semasa mengejar gelar master bidang Politik di Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda telah menjadi salah satu “kitab” yang banyak digunakan para aktivis gender serta banyak pelajar lainnya, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di mancanegara.
Terkait karya Julia ini, pasangan feminis dan pendiri Let’s Talk About Sex and Sexualities (LETSS Talk) Diah Irawati dan Farid Muttaqin mengatakan:
“Ibuisme Negara adalah kritik paling tajam dan paling berani yang melawan bedil Orde Baru—secara harfiah. Tanpa penjelasan intelektual Julia kita akan tahu sedikit tentang bagaimana Orde Baru merumuskan pandangan konservatif, mengontrol dan menstereotipkan keperempuanan, gender dan seksualitas dalam pembentukan politik negara bangsa.”
Comments