Sudah sering kita mendengar keluhan orang terhadap acara televisi yang sensasional, miskin ide (kalau tidak bisa dibilang mencontek ide), eksploitatif, dan membosankan.
Sebuah kanal YouTube dari Remotivi, pusat studi media dan komunikasi, melihat lubang-lubang besar yang mencederai fungsi-fungsi dasar media Indonesia, kemudian mengupasnya secara tuntas dengan kritik tajam yang kontekstual.
Kanal tersebut menyorot bagaimana media Indonesia saat ini justru sering mangkir dari kewajiban dan tanggung jawab mereka pada publik.
Dengan sinematografi ciamik dan penjelasan lugas, kanal itu mampu menjabarkan isu-isu kompleks menjadi mudah dimengerti. Kanal tersebut merupakan bagian dari upaya advokasi Remotivi untuk mengedukasi publik terkait kondisi media Indonesia saat ini.
Berbagai isu krusial terkait gejolak-gejolak sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dibahas dalam kanal tersebut, khususnya mengenai bagaimana media nasional membingkainya.
Tema-tema yang ditampilkan beragam dan signifikan, bahkan isu yang kontroversial sekalipun—dari populisme dalam polemik narasi anti-LGBT (lesbian, gay, biseksual, transeksual); representasi biner “setan” dan “malaikat” dalam sinetron masa kini; tayangan-tayangan televisi yang sangat “Jakarta-sentris”; sampai penggambaran etnis Tionghoa dalam iklan dan skit komedi yang cenderung meliyankan mereka.
Salah satu pembahasan menarik berjudul “Awas 86” memaparkan berbagai kecacatan dari tayangan “86” di stasiun televisi NET, mulai dari bagaimana tayangan kerja sama dengan Kepolisian Republik Indonesia itu pada dasarnya hanya berfungsi sebagai upaya pencitraan yang mengafirmasi posisi superior polisi dalam masyarakat.
Video tersebut juga menjelaskan masalah serius dalam “86” yakni adanya penjejalan nilai-nilai moral yang sebetulnya bukan ranah para polisi. Tak jarang polisi, yang fungsi fundamentalnya sebenarnya adalah menegakkan hukum, justru menjadi polisi moral dalam acara tersebut. Mereka tak ragu menceramahi pasangan yang sedang berpacaran, perempuan yang ada di jalanan malam-malam, dan menghakimi dandanan remaja yang silang gender.
“Polisi justru bertugas untuk membuat semua orang, apa pun gendernya, bisa beraktivitas secara aman selama 24 jam sejauh tidak melanggar hukum,” jelas video tersebut.
Diskusi lain yang tak kalah kritis adalah perbandingan kualitas tayangan “Mata Najwa” dengan “Indonesian Lawyers Club” dalam membahas konflik suporter bola dalam pengeroyokan Haringga Sirla. Remotivi menelusuri sejauh mana kedua tayangan tersebut menggali, mengurai, serta mencari solusi atas permasalahan tersebut. Tayangan mana kah yang melakukan diskusi paling baik? Saksikan langsung di kanal YouTube Remotivi.
Selain memproduksi video di kanal YouTube, Remotivi juga secara aktif mempublikasikan esai di situs resminya, melakukan riset, serta menerbitkan buku.
Comments