“Aku ingin sekali berkenalan dengan seorang “Perempuan Modern” yang berani dan mandiri, yang menarik hatiku sepenuhnya. Yang menempuh jalan hidupnya dengan Langkah cepat, tegap, riang gembira, penuh semangat serta tekun. Perempuan yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan sesama manusia.
- Surat kepada Stella – 25 Mei 1899
Kehidupan sosial masyarakat Jawa khususnya Jepara pada abad ke-19 masih kental dengan tata krama. Kartini mengatakan bahwa adat timur yang benar-benar kokoh adalah aturan di masyarakat, kemudian adat ini dianggapnya lebih banyak mengekang gerak-gerik kaum perempuan. Bagi orang Jawa, kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki. Keinginan kartini pada jaman feodal jawa kala itu adalah perempuan bisa mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki. Pengalaman Kartini untuk menunjukkan ketimpangan berdasarkan gender, tercantum di dalam surat-suratnya. Tulisan Kartini dalam surat itu sangatlah personal berisikan pengalaman-pengalamannya sebagai perempuan.
Kartini telah memiliki konsep perjuangan untuk membela hak-hak perempuan sebagai manusia seutuhnya. Hal ini dapat dilihat dari isi surat-surat Kartini yang ditujukan pada teman-temannya yang berbangsa Belanda. Kepada Stella, ia pernah menceritakan bagaimana adat istiadat di kotanya yakni Jepara; sangat mengekang kebebasannya sebagai perempuan muda. Kartini yang kala itu berusia 20 tahun masih dibayang-bayangi batasan untuk dirinya dapat berekspresi, termasuk dalam lingkup keluarga.
Lebih seabad kemudian, curahan hati Kartini seharusnya menjadi realita. Namun dengan RUU Ketahanan Keluarga, Kartini bisa geleng-geleng dan ngelus dada. Harapannya untuk menjadi “Perempuan Modern” yang dicita-citakan dulu, nyatanya tidak banyak perubahan di 2020. Apalagi jika melihat hasil konsep emansipasi yang dihasilkan dari tulisannya hanya dijadikan alat kekang baru untuk perempuan. Pengekangan perempuan pun dilakukan oleh perempuan lainnya melalui RUU Ketahanan Keluarga. Kartini yang seharusnya tersenyum melihat perempuan-perempuan muda nusantara yang dapat menentukan harkat dan martabatnya sendiri, malah terbelenggu otoritas keluarga.
RUU Ketahanan Keluarga menganut sistem keluarga yang biner, yakni pembagian peran menjadi hal yang ajeg dan tegas. Secara fungsi dari keluarga, sebenarnya itu merupakan hal yang sah saja jika itu telah disepakati. Pasal 5 sampai Pasal 12 RUU Ketahanan Keluarga jelas meniatkan adanya sistem standarisasi keluarga yang seragam. Namun, membuat standarisasi dari apa yang disebut dengan keluarga yang “baik dan benar” ini yang kemudian menjadi persoalan. Menetapkan standar mutu untuk keluarga yang dinamis seakan mendikte suatu keluarga untuk berlaku dan bertindak sebagaimana yang telah ditetapkan. Dengan RUU Ketahanan Keluarga maka fungsi dinamis keluarga akan dicap sebagai “pelanggar hukum”. Padahal tiap unit dalam keluarga punya perasaan emosionalnya masing-masing.
RUU Ketahanan Keluarga menegasikan individu termasuk anak memiliki hak. Pemaksaan secara tegas ataupun bujuk rayu dengan tujuan untuk adanya interdependensi antar unit di dalam keluarga adalah
suatu bentuk kekerasan. Walaupun RUU Ketahanan Keluarga ini argumennya tidak jauh-jauh untuk mempromosikan keluarga yang kohesif dan kooperatif. Sistem Keluarga yang hadir di dalam isi RUU Ketahanan Keluarga bisa mengarah pada permasalahan dan ketegangan di dalam keluarga. Padahal Konvensi PBB tentang Hak Anak mengakui bahwa untuk perkembangan kepribadian anak yang penuh dan harmonis, ia harus tumbuh dalam lingkungan keluarga, dalam suasana kebahagiaan, cinta, dan pengertian. Unicef juga menegaskan bahwa anak di dalam keluarga harus diberdayakan sejak usia dini untuk menjadi penulis kehidupan mereka sendiri. Mereka harus siap untuk membuat keputusan sendiri dan tumbuh menjadi peserta yang kuat dan kompeten di masyarakat (unicef.org 16 July 2013).
Mungkin itu juga alasan Kartini memilih untuk curhat dengan kawan-kawannya yang berbeda kesukuan dengannya. Represi di dalam keluarga dan lingkungan Kartini tidak memberi ruang untuknya bicara dan mengekspresikan diri. Pemaksaan dalam keluarga di 1899 sepertinya tidak jauh beda dengan pemaksaan keluarga di tahun 2020. Tiap anggota dari keluarga kapanpun di manapun memiliki emosinya sendiri, yang malah dapat kian memicu kecemasan, stress, overwhelmed bagi anggota keluarganya jika konsep keluarga yang ditawarkan berbasis pengawasan (surveillance). Bahkan mungkin kondisi “Perempuan Modern” yang dicita-citakan Kartini tidak akan pernah terjadi. Selama perempuan pemimpin terpilihnya, sekuat tenaga mengembalikan emansipasi perempuan ke tahun 1899.
Negara di posisi ini seharusnya hadir untuk melindungi tiap individu di dalamya, bukan malah mengalihkan tanggung jawabnya kepada masing-masing keluarga yang ada melalui RUU Ketahanan Keluarga ini. Jika RUU ini disahkan proyeksi yang tampak adalah ketimpangan keluarga antara yang mampu dan tidak dalam membangun keluarga. Maka dari itu, Koalisi Pekad! bersama dengan semangat Kartini menyerukan: menuntut DPR untuk berhenti melakukan segala bentuk pembahasan RUU Ketahanan Keluarga baik temu muka ataupun melalui sarana daring dan berfokus kepada korban pemaksaan dan kekerasan di dalam rumah tangga.
Koalisi Pekad (Peduli Kelompok Rentan Korban Covid-19)
PKBI, Pamflet Generasi, ICJR, ASV, Arus Pelangi, SEJUK, PurpleCode Collective, LBH Masyarakat, SGRC.
Comments