Lini masa Instagram saya hari-hari ini sedang dihebohkan oleh kasus antara seorang perempuan bernama Revina VT dan psikoterapis Dedy Susanto. Dari kronologi yang saya baca, Revina awalnya ditawari kerja sama konten oleh Dedy. Sebelum mengiyakan, Revina mencari tahu latar belakang Dedy. Kecurigaannya muncul karena ada unggahan Dedy yang menyatakan bahwa homoseksualitas adalah penyakit kejiwaan yang bisa disembuhkan dengan terapi.
Revina mempertanyakan apakah Dedy adalah psikolog berlisensi karena orientasi seksual bukan gangguan jiwa atau gangguan mental. Dedy menganggap Revina yang tidak sependapat dengannya berusaha merusak nama baiknya dengan menanyakan keabsahan profesinya. Hal ini bisa dicek di highlight Instagram @dedysusantopj berjudul Revina VT.
Adu argumen di Instagram ini berlanjut dengan kemunculan para terduga korban Dedy yang mengatakan bahwa pria yang mengaku sebagai doktor psikologi itu melakukan pelecehan seksual. Para korban mulai mengirimkan bukti melalui pesan langsung (DM) di Instagram dan surel kepada Revina. Tanpa mengungkap nama akun-akun tersebut, Revina mengunggah pengakuan para terduga korban di IG story-nya dan berjanji untuk membantu melapor ke polisi.
Sayangnya, tidak sedikit yang menghujat Revina dan menganggap ia mencari panggung untuk meningkatkan pengikut. Dan tidak sedikit juga yang menghujat para korban dengan kata-kata, “Kok mau diajak ngamar? Kok enggak teriak? Kok enggak kabur?” Ada juga yang bahkan mengatakan korban juga menikmati pelecehan itu karena ingat detail-detail yang dilakukan Dedy. Tadinya saya tidak mau ikut campur urusan ini tapi saya tergerak untuk ikut bersuara karena ada paling tidak tiga hal serius yang harus dibahas di sini.
Pertama, LGBT memang bukan gangguan mental
Di highlight akun Instagramnya, Dedy Susanto menulis, “Aku menganggap LGBT itu bukan bawaan, bukan nature, bukan takdir Tuhan. Itu suatu gangguan yang bisa diterapi/ dipulihkan. Pernyataanku ini buat Revi kecewa, akhirnya ia menanyakan surat ijin praktekku karena setahu dia psikolog zaman now pasti akan menganggap LGBT bukan gangguan karena di Pedoman Diagnosis Gangguan Jiwa, LGBT bukanlah gangguan. Padahal dulu di Pedoman Diagnosis Gangguan Jiwa, LGBT itu gangguan loh. Wahai bapak/ibu psikolog di Indonesia apakah bapak/ibu tidak merasa bahwa ini melanggar hati nurani kita bahwa ini tidak sesuai dengan agama. Mohon bantu perjuangkan agar LGBT tergolong kembali ke klasifikasi yang perlu diterapi SEPERTI DULU BEGITU.”
Baca juga: Film ‘Joker’, Kematian Sulli, dan Gagal Paham Tentang Gangguan Mental
Saya berhenti mengutip sampai di situ karena selanjutnya dia bawa-bawa nama Tuhan. Untuk yang belum tahu, sejak tahun 1973, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) sudah menghapus homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa atau gangguan mental. Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga sudah mendeklarasikan bahwa “sexual orientation by itself is not to be considered a disorder.”
Coba dibaca ulang kalimat Dedy. Dia tahu betul bahwa LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) bukan gangguan atau penyakit tapi dia bersikeras untuk menyembuhkan orang-orang LGBT. Wajar saja jika Revina mempertanyakan kapabilitasnya sebagai seorang terapis. Wajar saja Revina menanyakan perihal ijazah Dedy, surat izin praktik sebagai psikolog, dan lisensi dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Dari penelusuran Revina, ia menemukan bahwa Dedy tidak terdaftar di HIMPSI dan dokumen-dokumen lain yang ditunjukkan Dedy dianggap palsu.
Pernyataan Revina ini biar nanti dibuktikan di polisi dan saya tidak berniat untuk menuduh Dedy. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa secara logika saya setuju dengan Revina, karena untuk apa orang-orang LGBT diterapi sama Dedy kalau LGBT sendiri bukan gangguan? Apa yang harus disembuhkan jika orangnya tidak sakit?
Kedua, kurangnya informasi membuat perempuan rentan dilecehkan
Jujur saja saya pernah mengikuti akun Dedy karena saya mengikuti beberapa akun psikolog dan psikiater di Instagram. Saya juga pernah ingin berkonsultasi dengan dia tapi karena dia bilang harus ikut pelatihan dulu, saya mundur. Karena saya lihat dari Instagramnya kalau pelatihan ini biasanya berlangsung di ballroom hotel dan dihadiri banyak orang.
Banyak perempuan yang berswafoto sama dia setelah pelatihan. Saya merasa aneh melihat itu. Kenapa pasien harus swafoto sama terapis, bukankah identitas kita seharusnya ditutupi? Saya tidak mau ikut pelatihan yang dihadiri banyak orang begitu, apalagi sampai swafoto segala dan diposting di Instagram. Jadi saya batalkan niat saya.
Ternyata pelatihan itu kedok untuk melakukan pelecehan seksual kepada perempuan-perempuan yang ia incar. Dari teman-teman yang sudah mengirimkan DM kepada Revina, akhirnya saya tahu bahwa mereka disewakan kamar di hotel yang sama dengan lokasi pelatihan dengan alasan mereka perlu dapat sesi privat supaya lebih cepat sembuh. Ingin saya berkata kasar.
Para korban ini adalah mereka yang sedang rapuh, sedang banyak masalah, sedang butuh pertolongan, butuh terapi. Keadaan ini yang dimanfaatkan dengan baik oleh Dedy dengan dalih “terapi privat”.
Jika ada yang menghujat korban dengan beragam pertanyaan seperti, “Kok mau diajak ngamar?, “Kok enggak teriak?”, “Kok enggak kabur?”, “Kok dia bisa tahu nomor rekeningmu?”, tolong hentikan pertanyaan-pertanyaan konyol ini. Para korban ini adalah mereka yang sedang rapuh, sedang banyak masalah, sedang butuh pertolongan, butuh terapi. Keadaan ini yang dimanfaatkan dengan baik oleh Dedy dengan dalih “terapi privat”. Di sinilah saya semakin merasa sedih.
Korban-korban ini mungkin tidak pernah tahu ke mana harus mengadu, ke mana harus mencari pertolongan, hingga mereka sampai ke Instagram Dedy dan menemukan aneka swafoto dan testimoni kelegaan dari para pasien yang sudah pernah ditangani Dedy lewat pelatihan, tanpa pernah mempertanyakan legalitas Dedy sebagai terapis.
Mereka mungkin tidak tahu bahwa identitas pasien atau klien seharusnya dirahasiakan oleh terapis. Mereka mungkin tidak tahu kalau training Dedy itu lebih mirip training dengan motivator ketimbang dengan psikolog. Mereka mungkin tidak pernah tahu bagaimana seharusnya terapi dengan psikolog berlangsung, sehingga mereka nurut-nurut saja diminta melakukan ini-itu oleh Dedy dan saat menyadari ada yang tidak beres, semuanya sudah terlambat.
Cobalah tempatkan dirimu di posisi korban. Berhenti menyalahkan mereka dan mari bantu kuatkan mereka untuk bicara agar tidak ada korban selanjutnya. Jika masih ada yang bilang, kenapa tidak lapor polisi dan malah koar-koar di media sosial? Korban butuh waktu untuk bicara. Apalagi kalau korbannya banyak. Mengumpulkan korban beserta bukti-buktinya perlu waktu. Meyakinkan mereka untuk memberi identitas juga tidak mudah. Ada trauma menganga di sana. Belum lagi stigma yang mengintai mereka. Maka, untuk menghindari korban lain berjatuhan, saya rasa berbagi kesadaran tentang hal ini di media sosial cukup efektif, sambil menunggu proses hukum berjalan.
Ketiga, hati-hati memilih psikolog dan psikiater
Saya bukan psikolog atau psikiater, tapi saya pasien dan klien, dan saya punya tips berdasarkan pengalaman saya pribadi. Saya juga pernah di posisi butuh pertolongan tapi tidak tahu harus ke mana. Yang saya lakukan adalah ikut seminar atau kegiatan dari komunitas yang membahas kesehatan mental.
Dulu saya menganggap diri saya memiliki gangguan bipolar sehingga saya sering ikut acara komunitas bipolar (meski kemudian terbukti diagnosisnya berbeda). Dari sana saya tahu beberapa nama psikiater, salah satunya kemudian menjadi psikiater saya. Saya percaya pada psikiater ini karena beliau praktik di rumah sakit besar. Jadi salah satu saran dari saya yang bisa teman-teman coba adalah: Temui psikiater yang praktik di rumah sakit, karena sudah pasti mereka memiliki lisensi dan izin praktik. Konsultasi pun dilakukan di rumah sakit, tempat yang aman untuk perempuan.
Baca juga: Saat Adik Remaja Jatuh dalam Depresi, Kita Bisa Bantu Apa?
Dedy adalah salah satu orang yang menakut-nakuti pasien untuk tidak datang ke psikiater karena risiko ketergantungan obat. Stigma ini harus diluruskan. Psikiater memang memberi obat, karena psikiater adalah dokter. Tapi jika memang butuh, kenapa tidak? Justru psikiater bisa memantau dosis yang kita butuhkan sehingga kita meminum obat sesuai kebutuhan kita. Sebab minum obat dari psikiater sama penting dan sama normalnya kok dengan minum obat kista dari dokter spesialis kandungan.
Pengobatan dengan psikiater ini bisa berdampingan dengan terapi bersama psikolog. Psikolog bukan dokter. Psikolog adalah lulusan Ilmu Psikologi yang mendapat lisensi untuk melakukan terapi. Saya menemukan psikolog saya dari sebuah seminar kesehatan mental untuk perempuan. Saya langsung menanyakan kontaknya dan ternyata beliau adalah psikolog dari Yayasan Pulih. Saya tidak punya nomor ponsel psikolog saya, karena penjadwalan selalu lewat admin Yayasan Pulih. Sementara Dedy langsung mengontak klien-kliennya. Bisa dilihat perbedaannya bukan?
Untuk yang baru mulai, jika belum tahu nama psikiater atau psikolognya, lewat admin rumah sakit atau yayasan teman-teman bisa meminta dicarikan psikolog atau psikiater perempuan sehingga bisa berobat atau konsultasi dengan lebih nyaman. Jika bingung harus ke psikiater atau ke psikolog lebih dulu, semoga ini bisa membantu: Coba identifikasi keluhan teman-teman.
Jika ada kaitannya dengan fisik, misalnya tidak bisa tidur, mual, sakit kepala, sebaiknya ke psikiater lebih dulu. Tapi psikolog dan psikiater akan saling membantu atau merujuk. Jangan takut salah datang karena mereka yang profesional tahu bagaimana menanganimu. Saya pribadi ke psikiater lebih dulu. Setelah merasa baikan dengan obat, saya lanjutkan terapi dengan psikolog. Terapi ini biasanya 1 hingga 1,5 jam, di ruangan kecil yang memang privat sehingga kita bisa mengeluarkan semuanya. Jadi sekali lagi, kalau menurutmu dengan psikolog perempuan lebih nyaman, pilihlah psikolog perempuan.
Tapi tiap orang berbeda. Mungkin ada yang lebih nyaman konsultasi dengan laki-laki, ya tidak apa-apa juga. Intinya jangan takut untuk mendapatkan penanganan profesional tapi hati-hati memilihnya. Perbanyak baca dan cari informasi lebih banyak sebelum memutuskan.
Comments