Kisah perselingkuhan Nissa, vokalis grup musik Sabyan Gambus, dengan Ayus, pemain kibor pada grup yang sama, merebak setelah pihak keluarga Ayus membongkar kisah tersebut. Jagat media sosial Indonesia langsung bereaksi keras. Akun-akun berita selebritas di Instagram mengunggah kisah ini dan komentar dari warganet ramai mewarnai unggahan demi unggahan tersebut.
Sebagai pemerhati media sosial, saya mengikuti berita tersebut dan membaca komentar demi komentar di berbagai akun Instagram. Dari hasil penelusuran sederhana yang saya lakukan, saya membaca bagaimana narasi Nissa sebagai pelakor (perebut laki orang) dibangun di dalam komentar-komentar ini.
Sementara di sisi lain, Ayus yang juga sama-sama terlibat dalam kasus ini, kurang disorot. Saya katakan kurang karena Ayus dalam hal ini bukan berarti tidak sama sekali disorot, tetapi porsi hujatan yang diarahkan kepada Ayus sungguh tidak sebanding banyaknya dibanding porsi hujatan yang diarahkan kepada Nissa.
Refleksi tentang Perempuan yang Disebut Pelakor
Dari kecaman, hujatan, kegeraman yang diarahkan kepada Nissa, saya melihat ada tema yang berulang. Yang pertama, Nissa dilabeli pelakor dan dijadikan pihak yang paling bersalah di dalam kasus perselingkuhan. Komentar-komentar tersebut menyatakan, antara lain, Nissa tidak dapat menjaga diri, menggoda suami orang, merusak kebahagiaan rumah tangga orang lain, tega pada sesama perempuan.
Yang kedua, kecaman bahwa Nissa telah merusak citra perempuan baik-baik yang taat beragama. Nissa yang mengenakan jilbab dan menyanyikan lagu-lagu rohani dianggap berperilaku tidak sejalan dengan citra dirinya yang demikian ketika menjalin hubungan dengan suami orang.
Baca juga: Perempuan Simpanan: Korban Atau Tak Bermoral?
Di lain sisi, Ayus memang juga dikecam, tetapi tidak separah Nissa. Setidaknya, hujatan atau makian yang ditujukan kepada Ayus tidak sekejam ujaran-ujaran yang ditujukan kepada Nissa. Saya lalu berpikir, mengapa ada pelabelan yang berat sebelah terhadap perempuan setiap kali kasus perselingkuhan merebak? Bukan hanya kepada Nissa saja, kepada artis-artis Indonesia lainnya pun hal ini terjadi.
Saya tidak mendukung Nissa atau Ayus, tidak juga mendukung perselingkuhan. Tetapi kecaman yang berat sebelah kepada perempuan dan istilah pelakor ini yang mengganggu pikiran saya.
Benarkah perselingkuhan adalah tindakan seorang “perebut”? Bukankah dalam kata “perebut” ada makna “mengambil paksa”? Sedangkan pada kenyataannya, perselingkuhan hanya dapat terjadi jika ada laki-laki dan perempuan yang sepakat untuk sama-sama menjalin hubungan tersebut, dalam hal ini Ayus dan Nissa. Selama hanya ada satu orang yang berniat menjalin hubungan, maka hubungan perselingkuhan tidak akan terjadi. Jika demikian adanya, mengapa perempuan yang mendapat kecaman, cacian, hujatan lebih banyak dibanding laki-laki?
Selain masalah kecaman atau hujatan kepada pihak yang berselingkuh, ada sesuatu yang lebih besar dari itu, yakni pemikiran bahwa perempuan yang menjalin hubungan dengan laki-laki yang telah bersuami adalah lebih nista dibanding laki-laki berkeluarga yang menjalin hubungan dengan perempuan lajang atau laki-laki lajang yang menjalin hubungan dengan perempuan yang telah bersuami.
Ada pemikiran bahwa perempuan berselingkuh dengan laki-laki yang telah bersuami adalah lebih nista dibanding laki-laki berkeluarga yang berselingkuh dengan perempuan lajang, atau laki-laki lajang yang berselingkuh dengan perempuan yang telah bersuami.
Perempuan di Posisi Lemah dan Bersalah
Dalam novel Onna Zaka (terjemahan langsung: “Jalan menanjak untuk perempuan”) karya pengarang perempuan Jepang, Enchi Fumiko, yang terbit pada tahun 1957, diceritakan bahwa tokoh laki-laki yang adalah seorang pejabat pemerintah daerah di zaman Meiji awal (sekitar tahun 1870-an) memiliki istri muda tidak resmi sebanyak dua orang selain istri sahnya.
Cerita dalam novel ini mengambil perspektif utama dari istri sah, tentang bagaimana ia harus menahan perasaannya melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain, tetapi ia tidak dapat melakukan apa-apa karena posisinya yang lemah di dalam keluarga dan masyarakat. Di dalam novel ini juga digambarkan percakapan-percakapan para bawahan tokoh suami, yang dengan bercanda meminta istri sah mengizinkan si tokoh suami untuk memiliki istri muda. Tokoh istri sah tidak dapat mengungkapkan kemarahannya secara terus terang, hanya dapat memasang senyum saja di wajahnya meskipun batinnya bergejolak.
Sekalipun konteks cerita ini di Jepang sekitar 150 tahun yang lalu, isu yang diangkat dalam Onna Zaka masih tetap relevan, bahkan di tengah masyarakat kita juga. Apa yang dapat kita tangkap dari cerita di atas adalah ada pemikiran yang mewajarkan suami menjalin hubungan dengan perempuan lain. Sementara di satu sisi, perempuan, entah ia sudah menikah atau belum, dituntut untuk setia, patuh, dan selamanya murni dan suci di hadapan laki-laki.
Baca juga: Ketika Perempuan yang Lebih Berdaya Sudutkan Sesama Perempuan
Selain itu, walau cerita dalam novel Onna Zaka ditulis dari perspektif istri sah dan sekilas terlihat tidak ada kaitannya dengan fenomena pelabelan pelakor yang kita temui saat ini, ketika kita mencermati bagaimana hujatan demi hujatan dilontarkan begitu keras kepada Nissa dibanding kepada Ayus, kita dapat menemukan benang merahnya.
Memang ada standar ganda dalam sebuah hubungan perselingkuhan. Laki-laki lebih diwajarkan untuk menjalin hubungan di luar pernikahan dibanding perempuan. Perempuan harus selalu menjaga kesucian, kemurnian, kepolosan, sifat kekanak-kanakan dibanding laki-laki. Perempuan harus bersikap pasif, diam, dan patuh dibanding laki-laki.
Laki-laki dalam poin tertentu, dinormalisasi jika ia tidak dapat menjaga komitmennya di dalam pernikahan. Jikapun terjadi kasus perselingkuhan, pihak perempuan yang disalahkan karena ia dianggap menggoda laki-laki sehingga laki-laki itu bersedia menjalin sebuah hubungan baru.
Comments