Dari kekhawatiran tumpang tindih dengan produk perundangan lain, sampai soal istilah dan mispersepsi, serta ketakutan menjadi pihak yang dituntut. Tantangan-tantangan ini muncul di dalam internal parlemen dalam proses pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), membuat penggalangan dukungan serta pembuatan strategi yang tepat menjadi krusial saat ini.
Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP RI) adalah salah satu pihak yang mendorong pengesahan RUU PKS ini menjadi UU. Anggota Dewan Pakar KPP RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengatakan, perjuangan untuk mendorong para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari berbagai fraksi tidak mudah. Ia berkaca dari pengalamannya sewaktu menjabat anggota Komisi VIII, yang membidangi isu agama, sosial, dan bencana alam, dari fraksi Partai Gerindra pada periode lalu.
“Hal yang harus dimengerti kawan-kawan yang mau melobi tentang RUU, sangat penting mengerti siapa yang harus ditargetkan karena tidak semua anggota DPR ada di komisi/panja/pansus tersebut. Ini jadi hal yang sangat sulit untuk diidentifikasi,” kata Rahayu, yang biasa dipanggil Sara itu.
Ia berbicara dalam diskusi daring antara KPP RI dan The Body Shop Indonesia, yang bekerja sama dengan Magdalene, Makassar International Writers Festival (MIWF), dan Yayasan Pulih pada Kamis (4/2) lalu. Diskusi ini juga dihadiri anggota Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan beberapa aktivis.
Menurut Sara, penting untuk mencari orang-orang yang benar-benar berdedikasi memperjuangkan RUU PKS di DPR karena keberadaan mereka penting untuk menghadapi anggota DPR di posisi strategis seperti pimpinan Badan Legislasi (Baleg) atau yang terlibat di Komisi VIII di mana RUU PKS dibahas.
Baca juga: Pembaruan Draf RUU PKS: Jangan Ada Lagi Alasan Pembahasan ‘Sulit’
“Di Komisi VIII, tantangannya adalah game of numbers. Ada berapa banyak suara mendukung kita? Memang kelompok kontra kecil, tapi kalau kuat suaranya dan bisa influence orang-orang dan memperbesar suara itu, akhirnya anggota-anggota lain yang di persimpangan terpengaruh,” ujarnya.
Ia mengatakan, di partai mana pun, suara konstituen akan memengaruhi pengambilan keputusan partai karena suara tersebut akan berdampak pada elektabilitas mereka di Pemilu mendatang.
Suara kontra terhadap RUU PKS berasal dari laki-laki yang takut mereka akan dikenakan pasalnya jika RUU ini lolos, ujar Sara, atau takut RUU itu akan digunakan untuk mencemarkan nama baik mereka sebagai pejabat dengan tuduhan yang keliru.
Namun, berdasarkan pengalaman Sara, ada rekan perempuan dari partai lainnya yang juga menolak RUU ini, sehingga pro-kontra RUU PKS bukan perkara gender semata, melainkan ideologi.
“Mereka sangat terancam dengan keyakinan mereka dan mereka merasa apa yang kita perjuangkan sangat bertolak belakang dengan yang diajarkan kepada mereka.
Pada akhirnya, dalam politik, dibutuhkan bargaining chip agar RUU PKS bisa disahkan, ujarnya.
Senada dengan Sara, aktivis perempuan dan pengacara Valentina Sagala menyatakan pentingnya untuk menghimpun dukungan dari para anggota DPR.
“Meskipun pada periode lalu yang menolak secara eksplisit hanya satu fraksi, kenyataannya dari 22 anggota panja (panitia kerja), kita hanya punya segelintir orang untuk mendukung RUU PKS. Selebihnya sangat sulit sekali dipegang janjinya. Jadi, ngomong di depan tapi nanti di rapat tertutup beda lagi,” ujar Valentina, perwakilan Tim Substansi Jaringan Masyarakat Sipil untuk RUU PKS serta pendiri Institut Perempuan.
RUU PKS Tumpang Tindih dengan Produk Perundangan Lain?
Salah satu tantangan yang menghambat pengesahan RUU PKS adalah kekhawatiran bahwa regulasi ini akan tumpang tindih dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih dalam proses pembaruan di DPR, ujar Eva Kusuma Sundari, anggota Dewan Pakar KPP RI.
“Ketika nanti di dalam Baleg itu akan dibenturkan dengan RKUHP yang sudah merangkum beberapa poin dari RUU PKS, membuat seakan-akan RUU PKS tidak perlu ada lagi,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) itu.
Padahal, menurut Lena Mukti, yang juga anggota Dewan Pakar KPP RI, kepidanaan dalam RKUHP tidak cukup untuk mencakup berbagai tindak kekerasan seksual sebagaimana dirumuskan dalam RUU PKS.
“Ini [RUU PKS] adalah undang-undang lex spesialis, jadi bisa mengatur sendiri tentang pidana. Ada kekhawatiran dari kelompok yang tidak setuju, yang sebenarnya kelompoknya kecil, tapi suara mereka sangat kencang dan sangat berkelindan dengan urusan pemilihan presiden,” ujar Lena.
Mantan komisioner Komnas Perempuan, Sri Nur Herawati mengatakan, RUU PKS justru melengkapi UU yang sudah ada sehingga tidak membuat tumpang tindih.
“Dalam regulasi yang sudah ada, penanganan kasus kekerasan seksual tidak memperhatikan akar masalah kekerasan seksual, yakni ketimpangan relasi kuasa dan gender karena tidak diakui di UU. Hal inilah yang membuat banyak kasus yang penanganannya terhenti,” ujarnya.
Masalah Istilah dan Substansi dalam Pembahasan RUU PKS
Isu lain yang memunculkan perdebatan di DPR adalah tentang judul atau istilah yang dipakai dalam RUU PKS serta definisi-definisi di dalamnya. Ada keinginan sebagian fraksi untuk mengubah judul RUU dari “Penghapusan Kekerasan Seksual” menjadi “Perlindungan Korban Kekerasan Seksual”, atau “Penghapusan Kejahatan Seksual”.
Masalah substansi menjadi isu lain yang mesti dipikirkan untuk menghadapi narasi kontra terhadap RUU PKS di DPR, ujar Sri. Ia mengatakan, ada enam elemen kunci yang harus tetap dipertahankan dalam RUU ini: Pencegahan, sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual, pemulihan korban, bentuk pidana termasuk restitusi, pelatihan sumber daya manusia di institusi penegak hukum, serta pemantauan implementasi UU.
Baca juga: Komnas Perempuan Desak DPR Adakan Dialog Soal RUU PKS
“Tentang pidananya, selama ini hanya mengutamakan penjara. Tetapi, kami sekarang juga menerapkan double track system, yaitu pemulihan pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatannya lagi,” jelas Sri.
Valentina Sagala mengatakan, pendukung RUU PKS mesti dapat menjawab kenapa RUU PKS ini penting dalam rapat-rapat pembahasan mendatang, yakni karena ada kekosongan hukum.
“Kita harus sangat strategis untuk memberitahu bahwa kita butuh RUU ini karena terjadi kekosongan hukum di bagian mananya,” ujarnya.
Salah satu strategi penting yang ia usulkan untuk mengegolkan RUU PKS adalah menghadirkan suara penyintas dalam pembahasan di DPR. Valentina mengatakan, pendekatan berbasis bukti berupa testimoni penyintas akan memiliki kekuatan lebih dibandingkan suara akademisi atau naskah lainnya yang diajukan ke para anggota DPR.
“Maka, posisi teman-teman pengada layanan teman-teman crisis center itu very strategic untuk hadir bersama. Media juga biasanya menjelang pembahasan semua akan mencari survivor, jadi pendekatannya storytelling dari penyintas yang menceritakan sebenarnya problemnya apa,” ujar Valentina.
Pada periode lalu, Komnas Perempuan sempat menyiapkan penyintas untuk berbicara. Tetapi Sri mengatakan, pihak Komisi VIII belum juga memberikan jadwal untuk bertemu penyintas.
Kendati demikian, pihak Komnas Perempuan melalui komisioner Veryanto Sitohang menyatakan akan tetap berusaha menjadwalkan audiensi penyintas yang didampingi lembaga layanan dengan anggota Baleg di kemudian hari.
Kolaborasi Tim Substansi, Kampanye, dan Media
Kompleksitas perjuangan untuk mengegolkan RUU PKS menuntut adanya kerja sama dari berbagai pihak, mulai dari tim substansi, tim kampanye, dan juga pihak media.
“Saya pikir, antara tim kampanye dengan kerja-kerja substansi harus ketemu, sinkron. Jangan sampai nanti kampanye yang tinggi banget, sementara kita di sini sudah menyesuaikan substansi, apa ada yang sudah tercakup di undang-undang yang lain,” ujar Valentina.
Veryanto mengatakan, pihaknya sebagai tim kampanye berupaya melakukan pendekatan dengan berbagai kalangan masyarakat, termasuk berdiskusi dengan anak-anak muda dan di daerah-daerah yang mayoritas menolak RUU PKS, untuk menyampaikan substansi sebenarnya dari RUU tersebut. Hal ini dilakukan Komnas Perempuan untuk menangkal banyaknya miskonsepsi yang beredar di masyarakat.
“Tentu kami berdiskusi dengan membawa data-data jumlah korban karena ini cukup efektif untuk menggugah kesadaran mereka. Kami terus berupaya mengajak sebanyak-banyaknya kolaborasi dan juga mendengar pendapat para ahli seperti pada forum ini,” kata Veryanto.
Untuk mendukung pengesahan RUU PKS, The Body Shop Indonesia sebagai salah satu perwakilan sektor swasta, sejak akhir tahun lalu telah aktif memanfaatkan platform-platform mereka untuk mengampanyekan hal ini.
“Kami mengambil peran ikut serta dalam gerakan ini membawa apa yang bisa kami jadikan dukungan yaitu suara The Body Shop, suara saya pribadi, karyawan, customer kami, platform kami online-offline berkolaborasi untuk sama-sama menyuarakan pentingnya disahkan RUU PKS,” ungkap Suzy Hutomo, Owner dan Executive Chairperson The Body Shop Indonesia.
Baca juga: The Body Shop Indonesia Luncurkan Kampanye Dorong Pengesahan RUU PKS
Perusahaannya juga menggandeng MIWF untuk membuat produk-produk edutainment yang menyosialisasikan RUU PKS secara kreatif dan mudah dicerna bagi kalangan awam.
Dari sisi media, mantan pemimpin redaksi harian Kompas sekaligus anggota dewan pakar KPP RI, Ninuk Mardiana Pambudy mengatakan, ideologi konservatif di perusahaan media membuat perempuan kerap kali tidak dilihat sebagai korban.
“Tantangan kedua, tidak semua wartawan sama pemikirannya, bahkan juga yang perempuan. Yang harus dipegang itu pimpinan atau orang kunci di medianya. Mulai dari editor, pemimpin redaksi, sampai wartawan senior harus dipegang kalau mau kampanye media,” ungkap Ninuk.
Ia menyarankan kepada tim kampanye untuk sangat berhati-hati dalam menyampaikan hal substansial mengenai RUU PKS kepada awak media serta memberikannya secara tertulis. Sebaiknya, ada satu juru bicara yang mengikuti perkembangan RUU PKS dari waktu ke waktu. Ninuk menambahkan, para wartawan juga mesti pandai berkawan dengan kelompok konservatif untuk mengikuti perkembangan pembicaraan mereka.
Dukung kampanye “Semua Peduli, Semua Terlindungi #TBSFightForSisterhood” untuk mendesak pengesahan RUU PKS, dengan menandatangani petisi di sini.
Ilustasi oleh Karina Tungari.
Comments