Dunia kerja kita yang masih dihantui pelecehan dan kekerasan seksual. Dalam survey Never Okay Project yang dilakukan 2018, tercatat 94 persen dari 1.240 responden pernah mengalami pelecehan di tempat kerja.
“Dari BetterWork Project melalui Impact survei kami sendiri, juga mencatat 4 dari 5 orang khawatir dengan isu pelecehan di tempat kerja,” jelas Olivia Krishanty, Executive Director YKK dan Implementing Partner of BetterWork Indonesia dalam sesi webinar bertajuk “Hapus Pelecehan dan Kekerasan di Dunia Kerja #Sahkan C190”.
Olivia mengatakan angka-angka ini jelas menjadi sebuah alarm bahaya tentang bagaimana tempat kerja belum menjadi ruang aman bagi banyak orang, terutama perempuan dan kelompok rentan lain seperti kelompok disabilitas. Memang ada secercah harapan yang dibawa oleh disahkannya UU TPKS ini, tapi pengaplikasiannya sendiri masih butuh waktu.
Dalam UU TPKS sendiri masih ada celah yang perlu dilengkapi dan disempurnakan. Semisal, pengaplikasian aturan-aturan turunannya yang juga perlu dikawal.
Menurut Olivia, selain UU TPKS, kita juga perlu untuk mendorong ratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional atau ILO 190. Di dalamnya, Konvensi ILO 190 akan melengkapi celah UU TPKS dalam menghentikan dan mencegah kekerasan seksual di lingkungan kerja serta mendorong terciptanya budaya tempat kerja yang saling menghormati, bermartabat, dan aman.
Baca Juga: Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
Mengakui KDRT Berdampak Pada Dunia Kerja
“Selama ini kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT kerap kali dilihat sebagai kasus kekerasan tunggal padahal kasus-kasus KDRT itu berkaitan dengan dunia kerja. Kekuasaan dan kontrol saling berkelindan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Sehingga, jelas KDRT yang dialami oleh pekerja perempuan berdampak pada pekerjaannya,” ungkap Tiasri Wiadani, Ketua Tim Perempuan Pekerja dan Komisioner Komnas Perempuan.
Contoh dampak yang dimaksud Tiasri juga direkam laporan UN Women 2019. Merujuk laporan itu angka perempuan yang mengalami KDRT cenderung tinggi dipekerjakan sebagai pekerjaan lepas dan paruh waktu. Penghasilan mereka 60 persen lebih rendah dibandingkan perempuan yang tidak mengalami KDRT.
UN Women juga mengutip penelitian Corporate Alliance to End Partner Violence di Amerika Serikat pada 2005, yang menemukan 64 persen korban KDRT menyatakan kemampuan mereka bekerja sangat terdampak. Termasuk 21 persen yang menyebutkan kehilangan pekerjaan sebagai alasan penurunan produktivitas mereka.
Melihat dampak nyata dalam dunia kerja yang diakibatkan dari KDRT, Joni Simpson, Senior Specialiston Gender Equality, & Non-Discrimination International Labour Organization (ILO) menekankan ratifikasi Konvensi ILO 190 ini menjadi sangat penting. Menurutnya, KDRT yang diakui sebagai kekerasan berbasis gender dalam Konvensi ILO 190 akan berdampak baik bagi para pekerja. Setidaknya, dalam upaya mitigasi.
“Para anggota (PBB) tidak dapat lagi menutup mata pada isu ini dan sejauh yang dapat dilakukan secara wajar, maka anggota didorong untuk mengurangi dampaknya melalui upaya mitigasi,” jelas Simpson.
Upaya mitigasi ini dapat dilakukan sesuai dengan rekomendasi ILO 206, sebuah rekomendasi yang melengkapi Konvensi Kekerasan dan Pelecehan 2019. Kombinasi keduanya, menurut Simon, “tidak hanya eksis untuk melindungi yang korban dan penyintas, tetapi juga melindungi tempat kerja dari segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual.”
Rekomendasi ILO 206 sendiri berisi aturan tentang izin cuti bagi korban, pengaturan jam kerja yang fleksibel, perlindungan sementara terhadap pemecatan saat korban harus izin cuti, penilaian risiko di tempat kerja, dan peningkatan kesadaran serta kapasitas pemahaman terhadap pelecehan dan kekerasan seksual.
Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja
Upaya Mitigasi sebagai Kunci
Saat ini peraturan yang spesifik mengatur isu pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kerja baru berupa Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja.
Surat edaran ini masih bersifat imbauan, tidak mengikat. Akibatnya pelaku usaha tidak diwajibkan membuat peraturan sesuai dengan pedoman tersebut. Padahal dalam ILO 190, peraturan atau kebijakan terkait pencegahan dan peningkatan kesadaran terhadap pelecehan dan kekerasan di dunia kerja menjadi kunci dalam menangani isu ini.
Menolak menjadi pihak pasif yang menunggu adanya peraturan baru terbit dari Kemnaker, PT. Sumber Bintang Rejeki sebuah perusahaan garmen Semarang berusaha untuk menciptakan ruang aman dalam perusahaannya sendiri melalui kebijakan-kebijakan perusahaan yang sensitif gender melalui panduan rekomendasi ILO 206. Seperti yang sudah tertuang dalam Konvensi ILO 190 dan rekomendasi ILO 2016, mereka menyadari bahwa upaya pencegahan sangat penting dilakukan dan tidak boleh ditunda-tunda.
Dalam hal ini misalnya, PT. Sumber Bintang Rejeki melakukan risk assessment mapping. Di manakah kira-kira tempat yang memiliki potensi rendah, menengah, dan tinggi, sehingga mereka juga dapat membuat tindakan pencegahan yang meminimalkan terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual.
Selanjutnya mereka juga melakukan pelatihan kepada manajemen, supervisor, dan karyawan mereka tentang apa itu pelecehan dan kekerasan seksual. Hal ini dilakukan agar kepedulian di lingkungan kerja terhadap isu ini meningkat dan meminimalkan atau mencegah mereka untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan pelecehan dan kekerasan.
Baca Juga:Perjuangan Belum Selesai, Kita Masih Butuh Ratifikasi ILO 190
“Selain itu kami melakukan sosialisasi dengan cara membuat poster-poster yang ditempelkan di setiap itu pintu masuk tempat produksi garmen mengenai pelecehan dan kekerasan di tempat kerja. Kami juga semacam kuis yang dilakukan saat karyawan pulang atau istirahat di mana jika mereka bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar pelecehan dan kekerasan di tempat kerja, akan kami beri reward kecil seperti masker atau coklat,” jelasnya, Rudy Gunawan, Compliance Manager PT. Sumber Bintang Rejeki.
Usaha-usaha yang dilakukan manajemen PT. Sumber Bintang Rejeki membuahkan hasil manis. Tidak hanya mereka bisa meminimalisir pelecehan dan kekerasan seksual di tempat kerja, mereka juga mampu meningkatkan performa perusahaannya.
“Beberapa impact yang sangat terlihat jelas ketika kita membuat tempat kerja aman dan nyaman itu adalah yang pertama perusahaan semakin berkembang karena produktivitas karyawan yang meningkat. Bisa dilihat misalnya dari absenteeism di perusahaan kami tercatat rendah selama 2021, yaitu hanya sebesar 0.9 persen dibawah target kami yang sebesar 1 persen,” ungkap Rudy.
Comments