Susi Ferawati dan anaknya D, 10 tahun, sedang mengikuti acara yang diselenggarakan para pendukung salah satu calon presiden di wilayah bebas kendaraan bermotor di Jakarta, suatu Minggu pagi akhir April 2018 lalu.
Ketika mengantar D untuk buang air kecil, mereka terpisah dari rombongan dan melewati acara serupa dari pendukung calon presiden lain. Melihat baju yang dipakai Susi yang memperlihatkan dukungan kepada capres lawan, para pendukung itu merisak Susi dan anaknya. Mereka dikepung, diteriaki, dan bahkan dijejali makanan secara paksa ke dalam mulutnya. Ada juga yang mengibaskan sejumlah uang kertas seperti sedang menyawer topeng monyet.
Aksi tersebut direkam dan diunggah oleh sejumlah orang di berbagai media sosial, dan menjadi viral. Tak sedikit yang kembali menyerang Susi di media sosial sehingga ia melaporkan kasus tersebut ke Kepolisian dan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Perisakan yang dialami Susi merupakan salah satu contoh kekerasan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) yang dihadapi oleh perempuan, yang sering luput dari perhatian media dan masyarakat. Kekerasan ini tidak hanya dialami oleh anggota masyarakat, namun juga para calon anggota badan legislatif (caleg).
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2018 menunjukkan bahwa bentuk kekerasan yang paling banyak diterima oleh caleg perempuan adalah pembunuhan karakter melalui penyerangan bernuansa seksual di media sosial. Pada September 2018, Grace Natalie dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melapor ke Komnas Perempuan bagaimana ia selama setahun telah mengalami pelecehan seksual berbasis daring. Foto-foto Grace disunting sedemikian rupa sehingga mengarah pada pornografi.
Pada Desember 2018, Komnas Perempuan kembali mendapatkan aduan perempuan dari tim sukses kampanye Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Korban melaporkan bahwa nomor teleponnya disebarkan di tiga aplikasi daring beserta foto dan ditandai “BO” alias booking order, istilah yang merujuk pada prostitusi. Foto yang digunakan memang bukan foto korban, namun ia mendapat puluhan panggilan telepon yang mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
Kekerasan dalam pemilu ini, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, adalah akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggara Pemilu. Ia menjelaskan bahwa terlalu intensifnya narasi-narasi yang mendelegitimasi penyelenggara pemilu bisa berkontribusi pada apatisme dan kekerasan dalam Pemilu.
“Pada fase awal Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) langsung, misalnya, banyak sekali kekerasan yang terjadi akibat disebarnya opini ketidakpercayaan terhadap profesionalitas dan integritas KPU (Komisi Pemilihan Umum),” ujar Titi pada diskusi dan peluncuran Alat Pelaporan Kekerasan Pemilu di Media Center Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di Jakarta (13/3).
Kekerasan Pemilu, menurut Perludem, tidak sama dengan pelanggaran Pemilu, sebab yang pertama merupakan kriminalitas yang masuk dalam kategori tindak pidana. Bentuk-bentuk kekerasannya terbagi atas tiga bentuk, yakni fisik atau kekerasan yang mengakibatkan seseorang kehilangan nyawa atau terluka; perusakan, baik terhadap fasilitas publik maupun properti pribadi; dan ancaman, baik ancaman perusakan atau kekerasan.
Pembagian kategori tersebut didasarkan pada Pasal 280 Ayat (1)f dan g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 mengenai Pemilihan Umum. Aturan itu melarang pelaksana, peserta, dan tim kampanye untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta Pemilu yang lain, pun melarang merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye (APK) peserta Pemilu.
Para pelaku dapat dikenakan hukuman penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp36 juta bagi setiap orang yang dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan, atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya, menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih.
Selain itu, ada hukuman penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp24 juta bagi setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan, dan atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara.
Seperti juga Pemilu 2014, Pemilu 2019 merupakan zona kompetisi politik yang sengit. Capres yang bertarung sama dengan pilihan pada Pilpres 2014. Kompetisi sengit ini, di tengah polarisasi politik yang kian menguat dan merebaknya hoaks, disinformasi, misinformasi, dan politik kebencian, dinilai sebagai lahan subur bagi benih-benih kekerasan pemilu. Pemilu 2019 merupakan ujian bagi konsolidasi demokrasi Indonesia.
“Penyebaran hoaks, disinformasi, dan misinformasi bisa memicu kekerasan. Apalagi, dia berkelindan dengan fanatisme politik dan keterbatasan akses pada informasi yang kredibel,” ujar Titi.
Titi mendorong agar semua pihak turut serta dalam kerja-kerja memberantas hoaks, disinformasi, dan misinformasi ini. Penyelenggara Pemilu terutama diharapkan dapat membuat kinerjanya transparan dan menunjukkan diri sebagai lembaga yang independen dan tidak memihak. Publik, menurut Titi, menginginkan penyelenggara pemilu memenuhi ekspektasi mereka akan penyelenggara pemilu yang transparan, akuntabel, profesional, dan berintegritas.
Artikel ini adalah hasil kerja sama Magdalene dengan Perludem.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa
Comments