Women Lead Pendidikan Seks
September 10, 2022

Kematian Ratu Elizabeth II dan Berakhirnya Era Elizabethan Baru

Monarki paling lama menjabat meninggal di usia 96 tahun. Kematiannya jadi penanda rekam jejak kolonialisme Inggris yang meninggalkan jejak di banyak tanah.

by Laura Clancy
Issues // Politics and Society
Share:

Ratu Elizabeth II naik takhta pada tahun 1952, tujuh tahun setelah Inggris lepas dari perang dunia ke-2 (PD II). Saat itu, Inggris sedang dalam tahap pembangunan kembali pasca perang, termasuk dalam hal memilah produk-produk utama mereka: gula, telur, keju, dan daging. Tahap ini tentunya berlangsung selama satu tahun lebih pasca penobatan Ratu.

Namun, penghematan dan pembatasan yang terjadi selama tahun 1940-an justru membuat Inggris menjadi lebih makmur ketika memasuki tahun 1950-an. Maka, tidak heran jika Elizabeth II dianggap sukses memimpin, sampai masa-masa pemerintahannya pun dipuji sebagai “era Elizabeth baru”. Di saat kehidupan sosial masyarakat Inggris sedang berubah, Elizabeth II hadir sebagai ratu muda yang cantik, duduk di pucuk pimpinan Kerajaan Inggris.

Tujuh puluh tahun kemudian, Inggris terlihat sangat berbeda. Elizabeth II menjadi pemimpin yang paling cepat menguasai ekspansi teknologi dan perubahan sosiopolitik dalam sejarah pemerintahan monarki manapun.

Mengenang kembali masa kehidupan dan kepemimpinan Elizabeth II menimbulkan rasa penasaran, tidak hanya tentang bagaimana citra monarki telah diubahnya, tetapi juga bagaimana perjalanan transformasi Inggris sepanjang abad ke-20 dan ke-21.

Baca juga: ‘The Crown’ dan Serangan terhadap Menantu Perempuan Keluarga Kerajaan Inggris

Inggris Raya

Jika pemerintahan Elizabeth I adalah periode ekspansi wilayah jajahan, penaklukan, dan dominasi kolonial, maka “era Elizabeth baru” ditandai dengan dekolonisasi dan hilangnya era imperium.

Ketika Elizabeth II naik tahta, sisa-sisa wilayah Imperium Inggris masih utuh. India telah diberikan kemerdekaan pada tahun 1947, kemudian negara-negara lain menyusul sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an. Meskipun sudah ada sejak tahun 1926, aturan mengenai Persemakmuran (Commonwealth) Inggris resmi tercantum dalam Deklarasi London 1949, yang memberikan negara-negara Persemakmuran itu “kebebasan dan kesetaraan”.

Prinsip Persemakmuran Inggris menekankan pada kesamaan sejarah kolonialisme Imperium Inggris, saat ketika para pemimpin monarki Inggris menjadi simbol kekuasaan.

Keberadaan negara-negara Persemakmuran sangat ditampilkan dalam upacara penobatan Elizabeth II tahun 1953, mulai dari program televisi yang menampilkan perayaan-perayaan di negara-negara tersebut, hingga pakaian penobatan Ratu yang dihiasi dengan lambang bunga dari negara-negara Persemakmuran. Sepanjang masa pemerintahannya, Elizabeth II terus merangkul dan merayakan keberadaan Persemakmuran.

Sejarah kolonial Persemakmuran Inggris direproduksi dalam nilai-nilai Brexit, dan proyek-proyek nasional Inggris yang muncul dari apa yang disebut oleh Paul Gilroy sebagai “melankoli pascakolonial”.

Ratu adalah perwujudan hidup dari kesabaran Inggris, “semangat Blitz” (sikap tenang dan ‘normal’ masyarakat Inggris ketika negara tersebut dihantam bom terus-menerus oleh Nazi pada masa PD II), dan kekuatan imperialisme global. Nostalgia apa yang bisa kita kenang dari masa kejayaan Ratu Elizbeth II, ratu yang paling lama berkuasa di Inggris ini?

Media dan Monarki

Pada penobatan Elizabeth II, Perdana Menteri (PM) Inggris kala itu, Winston Churchill, mengkritik usulan untuk menyiarkan secara langsung upacara tersebut di televisi. Menurutnya, “mekanisme modern” akan merusak kesakralan penobatan dan “aspek agama dan spiritual tidak harus dipertontonkan seolah seperti pertunjukan teater”.

Pada masa itu, televisi adalah teknologi yang masih baru. Sehingga, muncul kekhawatiran bahwa menyiarkan upacara penobatan akan terlalu mengekspos internal Istana.

Namun, nyatanya penyiaran penobatan melalui televisi itu sukses besar. Penelitian tentang “Media dan Memori di Wales” menemukan bahwa acara penobatan tersebut telah membentuk ingatan pertama masyarakat tentang televisi yang kemudian membuat teknologi ini berperan besar dalam kehidupan mereka.

Citra kerajaan memang selalu dipertontonkan, dari gambar para raja yang dipampang di koin hingga potret mereka. Bagi Elizabeth II, masa pemerintahannya melalui masa perubahan radikal: dari kemunculan televisi, tabloid, surat kabar dan paparazzi, hingga media sosial dan jurnalisme warga – segala proses yang berkaitan erat dengan demokrasi dan partisipasi. Inilah mengapa masyarakat Inggris masa kini memiliki akses yang lebih luas terhadap informasi dari dan tentang kerajaan daripada masa-masa sebelumnya.

Dalam buku saya yang berjudul “Running The Family Firm: Bagaimana Kerajaan Mengelola Citra Mereka dan Uang Kita”, saya berpendapat bahwa Kerajaan Inggris dapat mempertahankan kekuatannya karena mereka sangat berhati-hati dalam menyeimbangkan apa yang boleh terlihat dan apa yang tidak perlu terlihat oleh publik. Kegiatan anggota kerajaan dapat tampak oleh publik dalam hal seremonial, seperti upacara kenegaraan, atau momen kekeluargaan, misalnya pernikahan anggota kerajaan dan kelahiran bayi (royal babies). Namun, cara kerja internal institusi tidak boleh terlihat publik dan harus tetap dirahasiakan.

Upaya Kerajaan untuk menjaga keseimbangan ini dapat dilihat sepanjang masa pemerintahan Elizabeth II. Salah satu contohnya adalah film dokumenter berjudul “Keluarga Kerajaan” (Royal Family) yang disiarkan oleh BBC-ITV tahun 1969. Film ini menggunakan teknik “cinema verite”, lebih seperti tayangan reality show yang direkam secara candid, dengan menayangkan kegiatan keluarga kerajaan sehari-hari selama satu tahun. Ini termasuk kegiatan domestik seperti acara barbekyu keluarga dan momen saat Elizabeth II membawa Pangeran Edward yang masih bayi ke toko kue.

Terlepas dari popularitasnya, banyak yang khawatir bahwa dokumenter tersebut dapat mengekspos urusan internal Kerajaan terlalu jauh. Istana Buckingham juga ikut menyunting film dokumenter berdurasi 90 menit itu, dan ada total 43 jam durasi rekaman yang tidak digunakan.

“Pengakuan Kerajaan”, dilandasi gagasan keterbukaan, telah menjadi ancaman bagi monarki selama beberapa dekade terakhir.

Salah satu yang paling kontroversial adalah wawancara mendiang Putri Diana Spencer, mantan isri Pangeran Charles III, dalam program Panorama naungan BBC pada tahun 1995. Diana mengungkapkan kepada pewawancara Martin Bashir tentang perzinaan yang terjadi di Istana, ketidakberpihakan Istana kepadanya, serta kesehatan mental dan fisiknya yang memburuk.

Baca juga: ‘Spencer’, Biopik Menyentuh Seorang Putri Diana

Ada lagi yang terbaru, yakni wawancara Pangeran Harry dan istrinya, Meghan Markle, oleh Oprah Winfrey. Dalam wawancara tersebut, Harry dan Markle mengungkap adanya rasisme struktural di lingkungan kerajaan, kurangnya akuntabilitas, dan acuhnya Istana terhadap kesehatan mental Markle. Wawancara-wawancara semacam ini benar-benar mengekspos apa yang terjadi di Istana secara internal. Dan ini telah merusak keseimbangan Kerajaan.

Seperti pemerintahan di negara lainnya, Kerajaan Inggris sekarang memiliki akun di sebagian besar platform media sosial. Akun Instagram Duke dan Duchess of Cambridge, yang menjadi representasi Pangeran William, Kate Middleton dan anak-anak mereka, mungkin adalah contoh ideal citra keluarga kerajaan di zaman sekarang.

Foto-foto yang diunggah di akun tersebut tampak alami dan informal. Akun Instagram itu ditampilkan sebagai “album foto keluarga” Cambridge, yang menyodorkan sekilas kehidupan pribadi keluarga Cambridge. Namun, seperti halnya setiap pola dan strategi dalam merepresentasikan kerajaan, foto-foto tersebut pastinya sudah diatur sedemikian rupa.

Media sosial telah memberi target audiens baru bagi kerajaan: generasi muda yang lebih tertarik melihat foto-foto keluarga kerajaan melalui aplikasi sosial media mereka ketimbang membaca koran.

Lalu, bagaimana generasi ini menanggapi kematian Ratu mereka?

Figur-figur Politik

Ratu Elizabeth II memimpin takhta selama periode transformasi politik radikal. Pemimpin Partai Buruh, Clement Atlee, memenangkan pemilihan umum secara mulus dan sensasional pada tahun 1945, menandakan besarnya keinginan pemilih akan perubahan. Pembentukan NHS (sistem layanan kesehatan Inggris) pada tahun 1948 sebagai kebijakan sentral kesejahteraan rakyat pascaperang, memberikan jaminan kesehatan setiap individu sejak dilahirkan sampai meninggal dunia.

Winston Churchill dari Partai Konservatif merebut kembali parlemen pada tahun 1952. Ia memimpin pemerintahan Inggris dengan gaya yang berbeda: lebih tradisional, imperialis, dan sangat kaku terhadap Kerajaan, dapat dilihat dari penolakannya terhadap penyiaran penobatan ratu pada Juni 1953.

Pada tahun 1980-an, pemerintahan Margaret Thatcher, dari Partai Konservatif, mulai membongkar sistem kesejahteraan negara pascaperang dengan mendukung pasar bebas neoliberal, melakukan pemotongan pajak, dan menekankan individualisme.

Ketika Tony Blair menjadi PM Inggris pada 1997, periode milenium baru yang disebut sebagai “Cool Britannia”, usia Elizabeth II sudah semakin tua. Pada masa itu, Putri Diana sangat populer dan dijuluki sebagai “putri rakyat” karena citranya yang dianggap dekat dengan masyarakat dan apa adanya, walaupun Kerajaan khawatir sosok Diana dapat mengekspos urusan internal Istana yang seharusnya “tidak tersentuh”.

Pada tahun 2000, tiga tahun setelah kematian Diana dalam kecelakaan mobil di Paris, dukungan publik untuk monarki turun drastis. Ratu diyakini telah melakukan tindakan yang salah, gagal menanggapi kesedihan publik, dan tidak mampu mewakili rakyatnya. Surat kabar The Express menerbitkan tulisan berjudul “Tunjukkan bahwa Anda peduli: pelayat memanggil Ratu untuk memimpin kesedihan rakyat”.

Akhirnya, Ratu menyampaikan pidato, yang disiarkan di televisi, untuk menjawab asumsi publik tentang ketidakpeduliannya terhadap kematian Diana. Ia menekankan bahwa sebagai nenek, ia sedang sibuk “membantu” William dan Harry melalui masa duka mereka. Publik telah banyak melihat peran Elizabeth II sebagai nenek: dalam foto ulang tahun beliau ke-90 tahun 2016 yang diambil oleh Annie Leibowitz, Elizabeth II duduk di lingkungan rumahnya dikelilingi oleh cucu-cucu dan cicitnya.

Bagaimana selanjutnya?

Citra Ratu Elizabeth II yang akan diingat banyak orang: seorang perempuan paruh baya, berpakaian rapi, menggenggam tas tangan yang khas. Walaupun ia menjadi kepala negara di masa-masa banyak terjadi perubahan politik, sosial dan budaya selama abad ke-20 dan ke-21, fakta bahwa ia jarang sekali memberikan opini politik menunjukkan keberhasilannya dalam menjaga netralitas politik Kerajaan sesuai dengan konstitusi.

Elizabeth II juga berhasil mempertahankan dirinya sebagai ikon. Ia tidak pernah benar-benar diberi “kepribadian” seperti bangsawan lainnya. Citra kepribadian semacam itu justru menimbulkan love-hate relationship bangsawan Kerajaan dengan publik karena publik jadi lebih banyak tahu tentang mereka.

Elizabeth II yang akan terus dikenang sebagai sosok paling mewakili sejarah Inggris. Selama tujuh dekade, masyarakat Inggris bahkan tidak dapat melakukan transaksi tunai tanpa melihat wajahnya.

Kematian Elizabeth II pasti akan mendorong Inggris untuk merefleksi masa lalunya, masa kininya, dan masa depannya. Waktu akan memberi tahu seperti apa pemerintahan Charles III nanti, tetapi satu hal yang pasti: “era Elizabeth baru” sudah berlalu. Inggris sekarang telah berusaha untuk pulih dari berbagai isu, mulai dari Brexit, pandemi COVID-19, hingga seruan untuk kemerdekaan Skotlandia.

Charles III akan memimpin kondisi negara yang sangat berbeda dari ibunya. Apa tujuan berikutnya, jika ada, yang diinginkan oleh Kerajaan untuk masa depan Inggris?The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

 
 
 
Laura Clancy, Pengajar Media di Lancaster University