Aktivis Rahmi Meri Yenti dari Nurani Perempuan, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada kekerasan terhadap perempuan di Padang, Sumatra Barat, mengisahkan bagaimana NN, pekerja seks yang ada dalam pusat skandal politisi Gerindra, masih sangat terguncang jiwanya.
Rahmi, yang merupakan anggota tim advokasi pendamping NN, mengatakan saat pertama kali ditemui Nurani Perempuan pada 4 Februari, NN terlihat masih sangat trauma dan selalu tersedu ketika mengingat peristiwa penggerebekan yang dilakukan politisi Andre Rosiade 26 Januari lalu.
“NN kelihatannya sudah semakin membaik sekarang, tapi ia masih belum mau keluar rumah. Hingga saat ini NN masih belum berani untuk hadir di depan publik. Ia merasa tidak percaya diri, takut diamuk masyarakat, apalagi kejadian ini viral dan diberitakan hampir di semua media,” ujar Rahmi pada Magdalene dalam wawancara lewat telepon.
Melihat kondisi tersebut, Nurani Perempuan memusatkan perhatian pada penguatan mental korban lewat terapi dengan psikolog.
“Selain itu, kami juga menginformasikan kepada NN terkait hak-haknya, karena sebagai warga negara, NN berhak untuk mendapat keadilan, perlindungan, pemulihan, dan tidak berulangnya kekerasan,” ujar Rahmi.
Seperti yang ramai diberitakan, pada 26 Januari lalu, NN mendapat “order” dari Andre lewat aplikasi online untuk janji bertemu di sebuah kamar hotel, yang juga dipesan atas nama Andre. Saat sudah menanggalkan pakaiannya, tiba-tiba ada gerombolan orang masuk yang ternyata adalah polisi. Menurut pengakuan NN, ia sudah “dipakai” tapi tidak jelas oleh siapa. Sejumlah pemberitaan mengatakan Andre yang berhubungan seks dengan NN, sebagian lagi mengatakan ajudannya. Yang jelas, NN telah dijebak dan ditahan untuk beberapa lama.
Andre kemudian berkelit dalam akun Twitternya @andre_rosiade, mengatakan bahwa penggerebekan itu dilakukan untuk membuktikan maraknya prostitusi daring di Padang. Ia tidak ingin kota tempat kelahirannya itu terkena azab karena maraknya prostitusi, tambahnya.
Alih-alih mendapat pujian atas apa yang dilakukannya, Andre justru dikecam banyak pihak. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan, dalam siaran pers yang dikeluarkan 6 Februari, mengatakan bahwa penggerebekan itu merupakan bentuk feminisasi moral yang berakibat kriminalisasi perempuan yang dilacurkan (pedila). Dalam feminisasi moral, perempuan dijadikan tonggak moral masyarakat sehingga cara berpakaian perempuan, pedila, tempat karaoke dan penjualan minuman keras, disasar sebagai ruang-ruang maksiat yang harus “dibersihkan”.
Pada Kamis (13/2), Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK) Indonesia, yang mewadahi 16 kantor cabang di 16 provinsi, mengadukan Andre ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Dewan Permusyawaratan Rakyat. Andre diduga memfasilitasi terjadinya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa penggerebekan yang dilakukannya. Dalam siaran persnya, LBH APIK menyatakan, aksi Andre dapat mendorong situasi penegakan hukum yang di luar prosedur dan menyakiti harkat martabat perempuan.
LBH APIK menuntut MKD untuk memeriksa Andre dan memberikan sanksi tegas. LBH APIK juga meminta Kepolisian untuk membebaskan NN dan memeriksa Andre atas dugaan pelanggaran sejumlah aturan perundangan.
Baca juga: Prostitusi dan Hak Seksual
Jalan pintas politisi
Politisasi para pekerja seks yang rentan terkena perlakuan diskriminatif bukan kali pertama terjadi. Mereka seolah menjadi sasaran empuk para politikus, organisasi masyarakat, hingga pejabat pemerintah yang ingin menarik simpati kelompok-kelompok agama.
Arina, salah seorang pengurus Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI), lembaga yang mengadvokasi hak-hak pekerja seks, mengatakan pekerja seks lebih sering dipolitisasi karena menyangkut banyak hal, mulai isu agama, masalah sosial, sampai dengan ketimpangan ekonomi. Pekerja seks seolah menjadi paket lengkap permasalahan yang ada di masyarakat, ujarnya.
“Pekerja seks ini adalah isu sensitif dan paling seksi untuk digoreng. Ini menjadikan pekerja seks jadi sasaran empuk untuk dipolitisasi,” katanya kepada Magdalene.
Padahal tanpa dipolitisasi oleh politikus pun dalam kesehariannya mereka sudah sangat sering mendapatkan diskriminasi, tambahnya.
“Dari mulai pengusiran oleh ormas secara paksa, pengusiran saat lagi mangkal, dicari tahu tempat tinggal mereka, sehingga mereka dihasut pindah,” kata Arina.
OPSI sendiri sering terkena getahnya, mendapatkan persekusi dan diusir dari kantornya di Jakarta secara sepihak tanpa bukti yang jelas. Pihak yang mengusir menuduh kantor OPSI sebagai sarang lesbian, gay, biseksual, transgender (LGBT), dan juga tempat transaksi seks.
“Padahal OPSI sendiri berusaha untuk memberdayakan teman-teman pekerja seks. Mereka dikasih tahu hak-hak mereka. Kebanyakan teman-teman pekerja seks itu termakan stigma yang diciptakan orang, bahwa mereka itu hina, atau sampah masyarakat. OPSI berusaha mengadvokasi bahwa mereka punya hak yang sama dengan manusia lain,” ujar Arina.
Cara berpikir moralis yang menyesatkan
Roy Murthado, aktivis dan pengajar Pesantren Misykat Al-Anwar di Bogor, Jawa Barat, mengatakan, apa yang dilakukan Andre merupakan bentuk kekerasan yang menggunakan pendekatan moralis berbalut agama, dan ini berbahaya.
“Ini sebenarnya kekerasan yang berangkat dari cara pikir yang salah dan terus dianggap lumrah. Pendekatan moralis dalam percakapan politik kita itu memang berbahaya,” ujarnya.
Roy mengatakan logika berpikir Andre dan kebanyakan politikus menanggapi masalah prostitusi itu sudah salah dari awal, karena tidak ada kaitannya sama sekali antara bencana alam yang terjadi di Sumatra Barat, khususnya di Padang, dengan maraknya prostitusi.
Baca juga: Prostitusi Bisa Jadi Pilihan yang Berdaulat
“Itu ‘kan isu lingkungan dan itu tidak bisa dijawab dengan kita menggerebek para pekerja seksual. Pejabat publik atau aparatur negara mestinya menjelaskan mengapa pekerja seks itu ada, karena kalau kita runut secara historis, pekerja seks sudah setua dengan peradaban manusia itu sendiri. Dia ada karena ada konsumennya,” ujarnya kepada Magdalene.
Alih-alih menjalankan perintah agama, menurut Roy, Andre justru bersikap zalim karena merendahkan perempuan.
“Andre memosisikan perempuan sebagai permasalahan yang ada dalam dirinya. Dia sudah tidak adil sejak dalam pikiran. Padahal permasalahannya struktural, secara personal NN ini kan korban dari keadaan tertentu, menjadi pekerja seks karena kebutuhan untuk bertahan hidup,” ucapnya.
Mengangkat isu agama ke pusaran politik yang melibatkan komunitas marginal seperti pekerja seks menjadi jalan pintas politisi untuk mendapat panggung, ujar Roy.
“Politisi tahu masyarakat kita menempatkan agama jadi aturan paling tinggi. Itu merupakan sebuah tendensi umum, menjadikan agama sebagai alat politik tertentu untuk meraup perhatian masyarakat,” katanya.
Menurut Arina, jika para politisi sebagai wakil rakyat hendak mengatasi masalah prostitusi, seharusnya mereka melihat isu ini secara fundamental. Menggerebek satu orang dengan membawa polisi dan media selain menimbulkan trauma mental juga tidak akan menjamin kasus prostitusi hilang begitu saja, ujarnya.
“Pemerintah maupun politikus ingin semua pekerja seks beralih profesi. Mereka siap enggak sih menanggung pekerja seks dengan jumlah estimasi di Indonesia ada 195.810 orang? Itu baru yang perempuan, belum yang waria atau laki-laki,” kata Arina.
“Mereka juga menghidupi beberapa orang dalam satu keluarga, menghidupi anaknya, ibunya, adiknya, suaminya yang menganggur. Sanggup enggak mereka berpikir sampai ke arah sana?”
Klaim pemerintah mengenai pemberdayaan pekerja seks hanya formalitas dan gimmick semata, ujar Arina. Program-program serupa tidak berkelanjutan sehingga para pekerja seks yang harus bertahan hidup kembali lagi kepada pekerjaannya itu, tambahnya.
“Pelatihan satu kali bikin kerupuk, terus dikasih duit tiga juta atau lima juta, tapi sayangnya sampai sekarang belum ada monitoring terhadap keberhasilan yang mereka sebut pemberdayaan itu. Padahal pemberdayaan harus bersifat jangka panjang, perlu dilihat programnya berhasil atau tidak,” ujar Arina.
Comments