Hubungan Anggi dengan sinetron adalah benci tapi rindu. Mahasiswi berusia 23 tahun itu gemar menonton opera sabun lokal karena senang melihat aktor-aktornya yang ganteng. Setiap hari dia menyempatkan menonton sinetron favoritnya, “Orang Ketiga”, yang telah ditayangkan sejak 2018.
Tapi secinta-cintanya Anggi dengan opera sabun tersebut, ia sering emosi dengan penggambaran karakter-karakter perempuan dalam sinetron yang ia tonton.
“Menurut saya karakter-karakternya membosankan. Kalau jahat ya jahat banget, kalau tertindas ya tertindas banget. Berlebihanlah. Dan karakter perempuan lebih sering diperlihatkan sisi emosionalnya dibanding dengan logikanya, dibikin nangis melulu,” ujarnya pada Magdalene.
Selama menjadi penonton sinetron, dia belum pernah menemukan penggambaran karakter perempuan yang kuat dengan latar belakang yang beragam. Hampir setiap karakter yang ia temui masih memperlihatkan stereotip masyarakat dan cerita yang terlalu nelangsa.
“Misalnya karakter-karakter yang diperankan Naysila Mirdad dari zaman dia main di ‘Liontin’ (2005) sampai ‘Orang Ketiga’, kayaknya susah betul buat bahagia. Bosan juga sih kalau sudah bertele-tele,” kata Anggi.
“Saya terlalu tinggi ekspektasi kali ya, berharap plotnya bakal ada perubahan, jadi tetap ditonton walaupun akhirnya bosan. Alasan gua tetap bertahan nonton sinetron dengan ratusan episode ya karena aktor kesukaan gue sih. Contohnya kayak ‘Ganteng-Ganteng Serigala’, saya suka Ricky Harun jadi agak awet itu nontonnya,” tambahnya.
Di tengah gelombang drama Korea yang melanda Indonesia, tidak beragamnya karakter perempuan dalam sinetron Indonesia semakin terlihat nyata. Ketika semakin banyak drama Korea bisa menampilkan perempuan yang lebih kompleks dan lumayan punya agensi, sinetron Indonesia masih berkutat di karakter-karakter stereotip. Belum lagi adegan-adegan di luar nalar yang kerap mengundang hujat, seperti boneka Hello Kitty yang direbus.
Penulis naskah “Dhira” yang sudah terjun ke dunia penulisan skenario film televisi (FTV) dan sinetron dari tahun 2012 mengakui masalah itu.
“Dari naskah yang aku terima dan kemudian dikembangkan bersama tim, karakter perempuannya memang masih diam saja, enggak mau melawan. Plotnya juga mudah ditebak, dan masih patriarkal,” ujar laki-laki berusia 32 tahun itu pada Magdalene.
Menurut Dhira, salah satu alasan yang membuat cerita-cerita dalam sinetron tidak berkembang dengan plot yang monoton adalah karena sistem stripping atau kejar tayang tiap hari, sehingga penulis tidak maksimal dalam membuat naskah. Hal ini juga dirasakan, “Evie”, 37, seorang penulis naskah sinetron yang terjun sejak 2006.
“Dari pengalaman saya dan teman-teman, kendala kami sebagai penulis naskah itu ya di deadline. Sehari kita setor satu episode bahkan dua kalau episodenya panjang dan besoknya sudah shooting. Dalam waktu yang sempit itu, proses kreatif seperti riset lebih dalam itu jadi kurang maksimal,” ujar Evie kepada Magdalene.
Penonton protes
Produser sinetron Rista Ferina mengatakan, sebetulnya dalam satu dekade terakhir sudah mulai ada perubahan dalam penggambaran karakter perempuan di sinetron.
“Penonton sekarang sudah berubah, kalau dulu mereka senang melihat perempuan semakin tertindas semakin kasihan. Salah satu contohnya dulu ada ‘Cinta Fitri’. Fitri itu kan memang hidup dengan mertua yang jahat dengan segala ketulusan dia bisa memecahkan masalah yang dihadapi,” ujar Rista kepada Magdalene.
Baca juga: Tak Melulu Nestapa: 5 FTV dengan Cerita Perempuan Berdaya
“Untuk sekarang, kalau kita kasih karakter perempuan yang selalu nrimo, pasrah, enggak bisa fight, itu malah disebelin penonton. Jadi sekarang penonton perempuan senang melihat karakter perempuan yang speak up,” tambahnya.
Menurut Rista, cerita dan juga penggambaran karakter perempuan yang saat ini berada di sinetron juga melihat fakta yang berada di lapangan.
“Contohnya ‘Cinta yang Hilang’, protagonis utamanya seorang istri yang ditinggal suaminya kerja ke kota dan tidak pulang selama dua tahun. Dia pun mencari suaminya tersebut. Ini banyak terjadi pada perempuan kan. Kami berusaha membuat cerita yang dekat dengan kehidupan penonton,” ujarnya.
Soal sistem produksi stripping, Rista mengatakan, ia pernah diundang oleh pemerintah Korea Selatan ke sebuah acara pertemuan produser-produser serial drama televisi di negara itu, dan banyak dari mereka yang kagum dengan produksi sinetron stripping di Indonesia.
“Ketika mereka tahu bahwa Tukang Bubur Naik Haji (2012) bisa sampai ribuan episode, mereka itu kagum banget. Cuma ya memang kalau untuk kualitas, pasti berbeda banget dari Korea Selatan. Industri mereka sudah memadai, dan harga jual konten drama mereka itu mungkin bisa sampai Rp4 miliar lebih per episode. Di sini kan tidak seperti itu,” kata Rista.
“Memang dari sisi produksi tidak semua ideal, seperti dari segi waktu. Tetapi saat ini kita memanfaatkan apa yang sudah ada untuk membuat cerita yang menarik. Janganlah memandang sebelah mata sinetron stripping. Justru mereka yang ada di balik layar stripping ini yang usahanya sangat besar,” ujarnya.
Pengamat dan pengajar kajian media, Muhammad Heychael mengatakan, sejak produksi sinetron digarap secara stripping pada 2005, proses kreatif tidak berjalan baik dan ada masalah dalam membangun representasi perempuan.
“Selama satu dekade ini, belum ada sinetron yang secara signifikan memperlihatkan penggambaran perempuan yang lebih beragam. Kita masih sering melihat stereotip masyarakat seperti penggambaran stereotip gender tradisional perempuan,” ujar Heychael kepada Magdalene.
Faktor penghambat lain adalah tidak kondusifnya kondisi persaingan industri pertelevisian di Indonesia.
“Di era pasca reformasi jumlah stasiun televisi hanya 4-5 stasiun televisi. Sekarang lebih dari itu dan tentunya persaingan mendapatkan iklan semakin ketat. Secara tidak langsung model perizinan yang begini membuat persaingan lebih brutal dan akhirnya membunuh industri televisi itu sendiri,” ujar Heychael.
Ia menambahkan, hal ini yang juga membuat harga jual konten sinetron yang rendah, apalagi persaingannya tidak hanya dengan pembuat sinetron dalam negeri saja tetapi juga luar negeri.
“Misalnya India, mereka memang jual konten drama mereka itu Rp100 juta per episode sedangkan sinetron kita paling murah Rp300 juta. Kenapa bisa banting harga? Karena di negara mereka yang memiliki populasi besar, harga tersebut ya balik modal,” kata Heychael.
Baca juga: Saatnya Tokoh Perempuan di Film Punya Stereotip Baru
Selera penonton yang mana?
Lembaga Riset Nielsen, yang melakukan riset pemasaran konsumen televisi, menunjukkan bahwa program serial televisi masih menjadi tontonan favorit masyarakat. Pada Ramadan tahun ini, mungkin juga karena pandemi, jumlah penonton televisi meningkat sampai empat kali lipat (372 persen) dari sahur hingga pagi hari.
Peningkatan jumlah terjadi di segala usia, dan tertinggi sekitar 45 persen pada usia anak dan remaja 10-14 tahun. Selama orang-orang bekerja dari rumah, penonton lebih banyak untuk serial dan berita, sementara di saat Ramadan penonton tidak hanya menonton serial saja, namun juga program hiburan religi dan edukasi.
Hal ini membuat persaingan sinetron semakin ketat. Penulis naskah dari rumah produksi Sinemart, Hilman Hariwijaya mengatakan, rumah-rumah produksi betul-betul menjadikan rating acara televisi sebagai sebuah panduan. Setiap hari sekitar jam 11 siang, biasanya tim produksi sudah mendapatkan hasil rating acara televisi yang tayang kemarin.
“Tim kami benar-benar mempelajari rating yang sinetron kami dapat. Di menit ke berapa penontonnya ramai dan mana yang sepi. Terkadang kami menang, namun pernah juga kalah dari sinetron lain,” kata Hilman, penulis buku Lupus di tahun 1980an.
Biasanya engagement penonton selalu tinggi di adegan-adegan yang buat baper atau bawa perasaan, dengan karakter utama yang dibuat sangat tersiksa, dan antagonis yang super jahat, ujarnya.
“Kami membuat formula naskah selanjutnya sesuai dengan selera pasar yang terlihat dari rating ini. Tapi ya enggak melulu tokoh utama kami bikin tersiksa terus. Penonton juga suka kalau si tokoh utama balas dendam atas siksaan yang didapat,” tambah Hilman.
“Agak sulit kalau mau membuat (cerita) yang berbeda. Karena takutnya rating-nya kecil. Padahal coba deh kasih kesempatan dulu untuk beberapa episode, baru kita lihat hasilnya,” ujarnya.
Heychael mengatakan argumen tersebut sebetulnya memperlihatkan bahwa industri televisi maupun rumah produksi belum memiliki niat untuk membuat konten yang berkualitas.
“Menurut saya selera itu ya dibentuk. Kalau pun berargumen dengan rating dan selera penonton, Nielsen itu membuat rating di 11 kota besar di Indonesia. Totalnya 2.000 keluarga dan 8.000 individu, 50 persennya berada di Jakarta. Belum bisa menjadi representasi seluruh masyarakat,” katanya.
Ia menambahkan, jika ingin memperbaiki kualitas sinetron Indonesia, fondasi utama yang perlu dibenahi adalah mengatur ulang regulasi pemberian izin stasiun televisi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), yang saat ini masih tidak ketat dan tidak terukur. t.
“Kalau mereka memang ingin memperbaiki kualitas konten sinetron, mereka sebagai asosiasi profesi ajak dong ngobrol elemen publik yang memperhatikan isu ini seperti Remotivi, atau Koalisi Penyiaran Publik,” ujar Heychael.
“Dengan ekosistem yang kondusif, pekerja di industri sinetron juga bisa membuat konten yang berkualitas. Agak sulit untuk saya membayangkan representasi yang fair dalam berbagai isu kalau pola produksinya masih seperti ini,” katanya.
Comments