Sebagian orang memilih kopi untuk membuka harinya, sementara lainnya lebih memilih teh. Pilihan orang-orang ini bisa jadi dipengaruhi oleh gen-gen mereka terhadap pengalaman akan rasa pahit.
Riset kami menunjukkan bahwa kemungkinan seseorang menjadi pecandu kopi atau pecandu teh dikaitkan dengan ada atau tidaknya gen-gen kunci yang membentuk bagaimana rasa pahit.
Teh dan kopi umumnya terasa pahit karena mereka mengandung zat berasa pahit seperti kafein. Kina adalah zat lain yang berkontribusi terhadap kepahitan kopi, dan juga ditemukan dalam air tonik (minuman ringan berkarbonasi).
Baca juga: Makanan dan Stereotip Gender: Apa Salahnya Laki-laki Tak Minum Kopi?
Sebuah studi tahun 2018 yang saya dan kolega lakukan mengungkapkan gen reseptor rasa pahit yang bertanggung jawab atas persepsi kafein, kina, dan zat pahit propylthiouracil (PROP) buatan manusia. Molekul-molekul terakhir ini memiliki kepahitan yang sama seperti kecambah Brussel (bagi kita yang bisa mencicipinya).
Kami mengetahui dari penelitian sebelumnya bahwa faktor yang diwariskan memainkan peran dalam jumlah kopi dan teh yang seseorang minum sehari, dan kemampuan untuk mencerna kafein memainkan peran penting dalam konsumsi minuman berkafein dalam masyarakat.
Namun, kami tidak tahu apakah gen untuk persepsi rasa pahit terlibat dalam menentukan konsumsi minuman yang rasanya pahit. Penelitian sebelumnya dengan ukuran sampel kecil melaporkan tidak adanya hubungan keduanya atau tidak konsisten.
Dalam studi ini, kami memeriksa konsumsi kopi dan teh dalam kelompok besar Biobank dengan lebih dari 400.000 laki-laki dan perempuan berusia 37 hingga 73 tahun di Inggris. Kami juga memiliki data mengenai gen-gen reseptor pahit mereka.
Kami menggunakan sebuah metode yang biasa digunakan dalam epidemiologi yang disebut “randomisasi Mendelian” untuk membandingkan asupan kopi dan teh antara orang-orang yang memiliki atau tidak membawa gen-gen reseptor rasa pahit.
“Super-taster” Kafein
Dibandingkan dengan rata-rata orang, kami menunjukkan bahwa orang yang memiliki reseptor rasa pahit untuk kafein lebih cenderung menjadi pecandu berat kopi. Artinya, mereka minum lebih dari empat cangkir kopi sehari. Setiap salinan tambahan gen reseptor rasa pahit menyebabkan peluang 20 persen lebih tinggi menjadi peminum kopi berat. Para “super-taster” kafein ini juga minum lebih sedikit teh.
Karena kafein tidak hanya berkontribusi pada kepahitan kopi tapi juga kekuatan dan teksturnya yang dirasakan, orang-orang yang lebih baik dalam mendeteksi kafein bisa menikmati kekayaan rasa kopi lebih baik.
Baca juga: Teh Keju Sampai Boba Obat Batuk: Minuman Kekinian yang Absurd
Sebaliknya, orang yang memiliki reseptor rasa pahit untuk kina atau propylthiouracil (PROP) minum kopi lebih sedikit dan minum teh lebih banyak. Dibandingkan dengan rata-rata orang, setiap salinan tambahan gen reseptor kina atau PROP dikaitkan dengan kemungkinan sembilan persen atau empat persen lebih tinggi untuk menjadi pencandu teh (artinya mereka minum lebih dari lima cangkir teh sehari).
Ketika ada kebutuhan kafein, para “super-taster” kina dan PROP memilih teh daripada kopi karena mereka cenderung menjadi lebih sensitif terhadap kepahitan secara keseluruhan.
Jangan Menyalahkan Gen Anda
Dalam penelitian ini kami menunjukkan bahwa gen-gen untuk persepsi rasa pahit terkait dengan jumlah kopi dan teh yang kita minum.
Kami tertarik untuk melihat apakah temuan ini dapat mengarah pada studi lanjutan yang menyelidiki apakah para “super-taster” molekul-molekul pahit ini cenderung minum kopi atau teh secara berlebihan dalam jumlah yang tidak sehat, atau minum-minuman lainnya yang mengandung molekul-molekul pahit.
Namun, kita tidak bisa menyalahkan semua hal pada gen-gen kita. Bahkan, jika ketika Anda kecil Anda tidak suka rasa pahit kopi atau teh, Anda mungkin menemukan bahwa selera dan pola makan Anda berubah seiring waktu ketika Anda tumbuh.
Jadi, jika Anda membawa gen-gen yang “salah” dalam hal mencicipi rasa pahit, Anda masih bisa belajar untuk menikmati makanan dan minuman lezat yang rasanya pahit.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments