Women Lead Pendidikan Seks
November 21, 2019

‘Kim Ji-young, Born 1982’ di Tengah Gerakan #MeToo Korea Selatan

Film “Kim Ji-young, Born 1982” memantik diskusi yang begitu relevan di tengah gerakan #MeToo di Korea akhir-akhir ini.

by Permata Adinda
Culture // Korean Wave
Kim Ji-Young Born 1982
Share:

“Untuk apa ya aku belajar tinggi-tinggi?” seorang perempuan lulusan teknik yang kini jadi ibu rumah tangga purnawaktu bertanya-tanya.

“Untuk ngajarin anak kamu menghitung perkalian,” canda perempuan lain sesama ibu rumah tangga.

Obrolan itu terlontar dari teman-teman Kim Ji-young (Jung Yu-mi) dalam Kim Ji-young, Born 1982 (2019), film asal Korea Selatan. Kim dulunya aktif bekerja di luar rumah. Namun setelah punya anak, ia mesti tinggal di rumah mengurus anak dan rumahnya.

Merupakan hasil adaptasi novel berjudul sama, film ini mengisahkan diskriminasi dan kekerasan gender yang dialami Kim Ji-young sebagai perempuan. Film dan novelnya sama-sama mengundang kontroversi. Selebritas perempuan yang ketahuan membaca buku ini mendapatkan banyak komentar kebencian di media sosial mereka. Banyak pula laki-laki yang menolak dan mencoba memboikot film ini.

Terlepas dari itu, Kim Ji-young, Born 1982 tetap jadi box office. Film ini menempati posisi pertama film paling banyak ditonton di bioskop Korea Selatan, mengalahkan Joker (2019), Maleficent: Mistress of Evil (2019), dan film-film Hollywood lain. Jumlah tiket yang terjual pun mencapai lebih dari 2 juta.

Film ini sebenarnya sederhana. Tidak seperti banyak film dan serial Korea yang sengaja menciptakan banyak masalah dan drama untuk membuat air mata pecah, Kim Ji-young, Born 1982 memilih untuk tidak banyak mengumbar tragedi.

Alur cerita mengalir perlahan-lahan, memperlihatkan masa lalu dan masa kini Kim Ji-young. Masalah memang muncul ketika Kim Ji-young sudah dewasa, tetapi sebabnya bukan terjadi tiba-tiba. Kim Ji-young punya pengalaman diperlakukan berbeda dari laki-laki, dilecehkan secara seksual, dikucilkan, dan didomestifikasi sejak dini. Masalah demi masalah serupa terus bertumpuk hingga mencapai puncaknya kini.

Kim Ji-young mewakili para perempuan Korea yang kerap jadi korban patriarki. Ini pulalah yang mungkin membuat film ini terasa dekat dan marak ditonton perempuan Korea. Sebagai negara maju, Korea Selatan masih memperlakukan perempuan sebagai sosok pasif dan patut diobjektifikasi. Kamera tersembunyi diletakkan di ruang-ruang publik untuk merekam bagian-bagian privat tubuh perempuan. Orang yang mengaku feminis akan rentan dirundung orang lain.

Kim Ji-young, Born 1982 memantik diskusi yang begitu relevan di tengah gerakan #MeToo di Korea akhir-akhir ini.

Baca juga: ‘Perempuan Tanah Jahanam’: Kemiskinan sebagai Sumber Horor

Pengalaman beragam perempuan

Kim Ji-young sering “kerasukan”, namun bukan oleh sembarang hantu. Setiap hantu mewakili permasalahan di fase hidup Kim Ji-young yang berbeda. Kerasukan ibunya mewakili kejenuhan Kim Ji-young sebagai ibu rumah tangga yang melayani semua orang di rumah. Ada pula “hantu” sahabat Kim Ji-young yang mewakili pengalaman Kim Ji-young ketika masih remaja dan “hantu” nenek Kim Ji-young.

Lewat hantu sang nenek, Kim Ji-young, Born 1982 mengkritik stereotip karakter ibu dalam banyak film yang biasanya jadi karakter sampingan. Ibu sering kali hadir untuk sekadar mengisi peran-peran maternal: mengurus, menasihati, melayani anak-anaknya atau sekadar jadi pendamping sang suami. Sang nenek, lewat Kim Ji-young, meminta ibunya untuk berhenti berkorban dan mulai melakukan hal untuk dirinya sendiri.

Maka Kim Ji-young bukan hanya sedang meresahkan dirinya. Ia juga diam-diam menjadi saksi bagi ketidakadilan yang dialami oleh perempuan-perempuan sebelum zamannya. Di tengah krisis yang dialami Kim Ji-young, film ini ingin memastikan bahwa perempuan-perempuan lain bisa ikut terwakili.

Kim Ji-young, Born 1982 pun cukup menyadari bahwa setiap perempuan punya latar belakang yang berbeda-beda. Karenanya, keresahan yang mereka alami tak selalu sama persis. Ada karakter bos perempuan yang dicemooh karena melanjutkan karier, ada kakak perempuan yang dicecar karena memilih untuk tidak segera menikah.

Selain itu, karakter-karakter perempuan dalam film ini pun bisa menempati spektrum yang berseberangan dengan sifat yang berbeda-beda. Lewat pembangunan karakter-karakter ini, Kim Ji-young sadar betul bahwa patriarki, di satu sisi, memang paling banyak menyasar perempuan. Tetapi perempuan juga punya pilihan: ikut melanggengkannya atau ikut membongkarnya.

Baca juga: ‘Love for Sale 2’ dan Stereotip Menantu Perempuan Idaman

Bersikap baik saja tak cukup

Kim Ji-young, Born 1982 memperlihatkan hidup seorang perempuan yang tak pernah benar-benar punya kuasa atas dirinya. Raga dan jiwanya selalu berpusat pada orang lain: melayani keluarga, suami, anak, atau bahkan orang-orang tak dikenal yang mengintip bagian privat tubuhnya dari kamera pengintai atau mencolek pahanya di transportasi umum.

Jung Dae-hyun (Gong Yoo) memang diperlihatkan sebagai suami yang baik, manis, dan perhatian pada istrinya. Namun, Kim Ji-young, Born 1982 menunjukkan bahwa hal ini tak cukup. Jung Dae-hyun tak pernah benar-benar membela Kim Ji-young yang sering ditekan oleh ibu mertuanya. Ketika sang istri ingin kembali bekerja, Jung tidak antusias dan tidak membantu perawatan anak.

Bersikap baik bukanlah usaha yang cukup baik untuk membongkar patriarki. Sikap yang diambil film ini jadi semacam refleksi bagi banyak film Korea yang sering memosisikan karakter laki-laki utamanya sebagai love interest yang begitu perhatian dan jadi penyelamat bagi sang perempuan ketika sedang dirundung masalah. Ya, mereka memberikan si perempuan perhatian khusus. Tetapi mereka juga masih melanggengkan patriarki dengan bersikap posesif, melarang si perempuan untuk memakai busana tertentu, hingga memaksa untuk berciuman.

Dengan segala detail tersebut, Kim Ji-young, Born 1982 menarasikan keresahan dan diskriminasi yang dialami perempuan Korea dengan begitu dekat, penuh empati, tanpa didramatisasi berlebihan.

Kisah Kim Ji-young bukan untuk dieksploitasi sebagai bahan tangisan, tetapi untuk menyuarakan kisah perempuan-perempuan pada zamannya. Ia yang punya anak perempuan seolah juga ingin bertanya: akankah anaknya—dan perempuan-perempuan Korea generasi mendatang—bernasib lebih baik dari dirinya, neneknya, teman-teman perempuannya?

Permata Adinda adalah penulis di Asumsi.co. Tulisannya juga bisa ditemukan di Jurnal Ruang dan Cinema Poetica. Pernah jadi partisipan workshop kelas kritik Festival Film Dokumenter dan Yamaga International Film Festival.