Women Lead Pendidikan Seks
September 17, 2018

Kisah Menstruasi Pertama: Siklus Ketidaktahuan Menahun

Mitos dan ketidaktahuan mengenai menstruasi masih meliputi perempuan, dari anak sampai dewasa.

by Elma Adisya, Reporter
Issues // Gender and Sexuality
Share:
Dita, 22, geli sendiri mengingat pengalaman menstruasi pertamanya saat ia duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Ia bahkan tidak mengira itu darah menstruasi, karena di celananya hanya ada bercak coklat.
 
“Sebelumnya gue berpikir kalau menstruasi itu adalah ketika alat kelamin mengeluarkan darah. Jadi waktu lihat noda coklat, gue pikir gue cepirit (buang air besar di celana),” ujarnya.
 
Ia buru-buru melaporkan hal itu ke ibunya. Setelah memeriksa celana Dita, sang ibu mengatakan bahwa itu bukan kotoran melainkan darah menstruasi. Ibu Dita kemudian menjelaskan apa itu menstruasi, berapa kali ia harus ganti pembalut, dan bagaimana ia harus menyiapkan pembalut untuk dibawa ke sekolah.
 
Tidak semua anak perempuan seberuntung Dita, yang bisa berbagi cerita dengan ibu sendiri. Nabila, 22, mengatakan ia baru memberitahukan ibunya tentang menstruasi pertamanya lima bulan setelah ia mendapatkannya. Saat itu ia di sekolah dasar, dan ia betul-betul ketakutan mendapati ada noda darah di celana dalamnya.
 
“Gue pikir gue penyakitan karena di celana ada darah kering yang terkadang hanya segaris, atau terkadang berbentuk bulat. Tiap dapet gue pakai celana dalam dobel lalu ditambah tisu,” ujarnya.
 



“Dulu waktu SD yang sudah dapet itu sedikit sekali, jadi semacam momok yang menyeramkan gitu. Ketahuannya sama Mama karena dia bingung kenapa celana dalam gue banyak banget, dan setelah selesai mengaji, eh bocor, darah ke mana-mana,” tambahnya.
 
Menstruasi seharusnya merupakan hal yang sangat natural bagi perempuan, namun sejumlah perempuan muda (termasuk anak-anak sekolah dasar) yang diwawancarai Magdalene menunjukkan bahwa menstruasi masih menjadi momok bagi mereka dan begitu banyak ketidaktahuan serta mitos meliputi menstruasi. Hal-hal mendasar menyangkut higiene saja, seperti mengganti pembalut setiap 4-6 jam sekali, masih tidak diketahui. Padahal manajemen kebersihan saat menstruasi yang tidak baik akan mengakibatkan gangguan pada organ reproduksi. 
 
Badan Anak-anak PBB, UNICEF, pada 2015 melakukan penelitian di 16 SMP dan SMA di Papua, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Penelitian tersebut menemukan bahwa edukasi yang didapatkan oleh perempuan-perempuan muda mengenai menstruasi lebih banyak berasal dari ibu, diikuti oleh guru. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan bahwa 67 persen anak perempuan dari area perkotaan mengganti pembalutnya  tiap 4-8 jam sehari, sedangkan di area pedesaan sekitar 41 persen.
 
Dalam penelitian lain terkait kebersihan area organ reproduksi saat menstruasi yang dilakukan oleh Aisya Prihandani dari Universitas Padjadjaran menunjukkan bahwa hanya 21,9 persen yang mengganti pembalut mereka setiap 3-4 jam sekali. Dilakukan pada 37 responden siswi Sekolah Dasar Islam Ummul Mukminin di daerah Bandung, penelitian tersebut juga menemukan bahwa 62,5 persen dari responden tidak mengganti pembalut mereka di sekolah.
 
Kondisi toilet yang kotor membuat banyak siswi enggan mengganti pembalutnya di sekolah.
 
“Di sekolah enggak pernah ganti karena toiletnya jelek. Tapi dulu itu mikirnya, kalau belum banyak banget masih bisa diganti nanti aja pulang sekolah. Jadi baru ganti ketika pembalut sudah penuh atau bahkan bocor waktu itu,” ujar Nabila.
 
Mitos yang diwariskan
 
Meski pengetahuan pertama mengenai menstruasi didapatkan Nabila dari ibunya, informasi selebihnya ia peroleh dari teman-teman, mulai dari cara mengganti pembalut sampai pantangan makanan dan minuman selama menstruasi.
 
“Teman-teman bilang, jangan minum soda nanti mens-nya banyak, jangan keramas, jangan lari-lari. Terus juga gue meyakini kalau pembalut itu harus dicuci sampai bersih, takutnya dijilat sama setan,” katanya.
 

Dari segi kesehatan, banyak hal yang tidak didapatkan anak-anak perempuan sebelum mereka mengalami menstruasi pertama. Jangankan tentang pembalut, menjelaskan tentang menstruasi saja  mereka tidak mengerti.

 
Selain ketiga mitos tersebut ternyata banyak lagi yang lainnya yang muncul di kalangan remaja perempuan Indonesia tentang menstruasi, dan mitos-mitos ini masih langgeng beredar di kalangan anak-anak perempuan yang baru mendapat menstruasi tahun ini. Salah satunya adalah Salsa, 10, yang bersekolah di sebuah sekolah dasar swasta Islam di Tangerang. Ia menceritakan bagaimana perasaannya campur aduk ketika melihat bercak darah di baju dan tempat tidur saat ia terbangun dari tidur siangnya.
 
Sebelumnya, ia sama sekali tidak pernah diberitahu oleh guru di sekolah atau ibunya mengenai apa itu menstruasi. Setelah mendapatkan menstruasi, baru sang ibu mengenalkannya pada pembalut dan memberitahu apa yang tidak boleh dilakukan saat menstruasi.
 
“Mama bilang, enggak boleh duduk sembarangan lagi, nanti bocor. Lalu enggak boleh lari-lari, enggak boleh minum soda, nanti darahnya banyak keluarnya,” ujarnya.
 
Salsa, beserta sahabat-sahabatnya, Moi dan Chika, mengatakan mereka merasa sangat risih saat harus mengganti pembalut di sekolah, apalagi dengan kamar mandi yang kondisinya kurang memadai.
 
“Aku kalau ganti cuma sekali pas istirahat kedua. minta temenin Moi atau gak Chika. Setelah itu gantinya di rumah,” ujar Salsa, diikuti jawaban yang sama dari kedua temannya.
 
Menurut Mitra Kadarsih, bidan yang terlibat dalam lembaga yang berfokus pada isu kesehatan reproduksi dan seksualitas, mitos-mitos ini membatasi gerak-gerik perempuan ketika sedang menstruasi. Sebagian besar mitos yang beredar adalah mengenai pantangan makanan dan minuman, yang menurut Mitra akan menimbulkan masalah serapan nutrisi pada tubuh perempuan saat menstruasi.
 
“Ada yang bilang kalau makan ikan pas mens itu bakal membuat darahnya amis, padahal namanya juga darah, ya amis. Bolehnya minum air putih saja biar bersih, katanya,” ujar Mitra, yang berpraktik di Radio Dalam, Jakarta Selatan.
 
Senada dengan Mitra, Dokter Inlicia Cutami dari Klinik Angsamerah mengatakan bahwa pantangan konsumsi beberapa makanan atau minuman tertentu adalah mitos belaka.
 
“Apa yang kita makan dan minum itu hubungannya sama sistem pencernaan. Minum soda itu sensitifnya di lambung, sebenarnya efeknya itu di lambung. Jadi yang sebelumnya sudah kram perut karena PMS (sindrom sebelum menstruasi) ditambah lagi ada masalah lambung, ya sebaiknya minum soda dikurangi. Tapi kalau enggak ada masalah dengan PMS dan lambung, ya minum soda saja,” ujar Inlicia.
 
Cara-cara membersihkan pembalut juga masih dilingkupi oleh berbagai mitos yang juga dapat mengganggu kesehatan organ reproduksi saat menstruasi. Demi terjaganya kesehatan organ reproduksi ketika sedang menstruasi, Inlicia sangat menyarankan agar mengganti pembalut setiap kurun empat jam.
 
“Jangan ditunggu penuh apalagi sampai bocor dulu, karena kan itu akan mengakibatkan timbulnya jamur, bakteri kalau lama tidak diganti.”
 
Menstruasi semakin muda, kerentanan semakin nyata
 
Sejumlah data menunjukkan bahwa usia perempuan saat mendapatkan menstruasi pertama kali semakin muda, yaitu 10-15 tahun, dengan rata-rata usia 12,4 tahun. Salah satu penelitian terbaru di Indonesia adalah yang dilakukan pada 49 siswi SD Muhammadiyah GKB 1 Gresik pada Maret 2017, yang menunjukkan bahwa rata-rata usia menarche atau menstruasi di sana adalah 10,3 tahun. Usia yang semakin muda dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk genetis, ekonomi, status gizi, dan lemak. Penelitian oleh Makarimah dan Muniroh di Gresik tersebut menemukan bahwa semakin tinggi status gizi pada si perempuan, semakin dini ia mengalami menstruasi pertamanya.
 
Sayangnya, menurut Mitra, dari segi kesehatan, banyak hal yang tidak didapatkan anak-anak perempuan sebelum mereka mengalami menstruasi pertama. Jangankan tentang pembalut, menjelaskan tentang menstruasi saja  mereka tidak mengerti. Siklus ketidaktahuan tentang menstruasi di kalangan anak-anak perempuan  bahkan perempuan dewasa ini sudah darurat tingkat satu, ujar Mitra.
 
“Padahal jika kita memberikan edukasi seksual komprehensif sejak dini, ini akan mengurangi bahaya ketika mereka mengalami menstruasi pertama,” katanya.
 
Hal ini ditunjukkan pada penelitian lain yang dilakukan oleh Anggi Winarti dan rekan dari Universitas Alma Ata Yogyakarta, yang dilakukan di SND Sonosewu dan SD Islam Muhammadiyah Ambarbinangun, Bantul Yogyakarta. Uji eksperimen pada 30 responden di dua sekolah tersebut menunjukkan bahwa edukasi mengenai menstruasi akan mengurangi tingkat kecemasan pada anak dan anak siap menghadapi menstruasi pertamanya.
 

Edukasi seksual yang komprehensif tidak hanya akan membantu para perempuan dalam menghadapi menstruasi pertama mereka tapi bagaimana cara mencintai ketubuhan mereka dan menerima kondisi tubuh mereka.


Mitra mengatakan, dengan semakin belianya usia menstruasi pertama, penjelasan bahwa menstruasi adalah siklus yang biasa dialami oleh perempuan saja tidak cukup.
 
“Banyak kerentanan yang melingkupi usia-usia tersebut. Pertama, jika mereka sudah menstruasi pada usia tersebut, mereka akan mengalami early sexual activity. Dalam sistem masyarakat kita, jika sudah menstruasi maka  mereka sudah menjadi makhluk seksual. Nanti ujung-ujungnya kita berbicara lagi tentang isu ‘pernikahan anak’ karena mereka sudah dianggap akil balig,” kata Mitra.
 
Menstruasi dini juga bisa berdampak pada kerentanan terhadap kekerasan seksual, menurut Mitra, karena bisa saja ketika mereka bertanya tentang menstruasi pada anggota keluarga atau orang yang ia kenal, ini malah menjadi kesempatan untuk pelaku. Di usia tersebut, anak-anak belum memiliki insting untuk menghadapi ancaman-ancaman kekerasan seksual.
 
“Anak-anak ini belum diajarkan tentang bagian tubuh mana saja yang tidak boleh dilihat atau dipegang oleh orang lain selain dia, agar mencegah terjadinya kekerasan seksual. Karenanya sangat perlu sekali pendidikan seksual komprehensif,” kata Mitra.
 
Untuk membantu menghentikan siklus ketidaktahuan ini, Mitra menyarankan agar anak perempuan diajari untuk mengenali organ-organ tubuhnya secara sederhana. Kedua, ketika mereka mengalami menstruasi pertama mereka, tanyakan pada mereka apa yang dirasakan, jadilah sistem pendukung untuk mereka.
 
Support system itu tidak hanya dari rumah tapi dari lingkungan. Yang pasti, pertama itu adalah keluarga dengan edukasi seksual komprehensif secara ilmiah. Jika diajarkan secara ilmiah, mereka akan lebih menghargai tubuh mereka,” ujarnya.
 
Edukasi seksual yang komprehensif tidak hanya akan membantu para perempuan dalam menghadapi menstruasi pertama mereka tapi bagaimana cara mencintai ketubuhan mereka dan menerima kondisi tubuh mereka.
 
“Karena ketika mereka semakin tidak tahu, semakin ditutupi malah semakin berbahaya. Coba di daerah-daerah pelosok-pelosok, sudah dikawinin itu anak-anak. Padahal menstruasi pertama ini itu kan baru memperlihatkan bahwa pertumbuhan organ seksual tahap keduanya itu mulai berkembang dan berfungsi mulai menunjukkan aktivitasnya.”
 
Sebuah program perjalanan ingin memperkenalkan warisan budaya dan agama yang kaya akan nilai-nilai feminisme.

*Ilustrasi oleh Eva Pastora
Elma Adisya adalah reporter Magdalene, lebih sering dipanggil Elam dan Kentang. Hobi baca tulis fanfiction dan mendengarkan musik  genre surf rock.