Women Lead Pendidikan Seks
March 11, 2022

Kita Tak Dilahirkan untuk Bahagia, Kenapa Masih Terobsesi?

Selama ini bahagia telah menjadi tujuan hidup banyak orang, sehingga mereka berusaha keras untuk menggapainya.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Lifestyle
Happy Twosday! Why Numbers like 2/22/22 Have Been Too Fascinating
Share:

Dari dulu aku selalu berpikir, hidup manusia sesederhana mengejar kebahagiaan. Anggapanku tidak datang dari ruang hampa karena buku bacaan, ucapan orang-orang sekitar, ajaran agama selalu mendikte hal serupa: Ayo, dong kejar kebahagiaan.

Celakanya, anggapanku tersebut berubah menjadi mindset yang berbahaya. Aku menjadi terobsesi pada kebahagiaan. Aku menghiasi kamarku dengan kutipan tentang kebahagiaan agar aku bisa terus mengingat tentang tujuan hidupku ini. Tak hanya itu, aku juga rajin beribadah agar bisa terus dalam kondisi mental yang stabil.

Aku juga sebisa mungkin mengingatkan diri untuk tidak boleh bersedih dan terus berpikir positif dalam segala situasi. Sesuatu yang belakangan terasa melelahkan. Alasannya sederhana, agar tidak terjebak dalam luapan emosi negatif.

Tidak mengherankan kemudian, ketika sedih dan cenderung depresi, aku merasa menjadi manusia yang gagal mencapai hakikatnya. Bahkan aku terus-menerus menyalahkan diri.

Baca Juga: Benarkah Membayangkan Skenario Terburuk Bikin Hidup Bahagia?

 Manusia Tidak Diciptakan untuk Bahagia

Terlepas dari konsep kebahagiaan dan memenjarakan banyak manusia termasuk saya, nyatanya itu cuma akal-akalan industri saja. Martha Nussbaum, ahli etika kebajikan terkemuka kepada BBC mengklaim, masyarakat modern menganggap kebahagiaan sebagai perasaan puas atau kesenangan. Hal ini membuat kebahagiaan sebagai sesuatu yang memberikan nilai tertinggi kepada keadaan psikologis manusia.

Konsep ini kemudian dijadikan alat mendulang profit. Dilansir dari The Conversation, industri untuk menciptakan kebahagiaan dan pikiran positif misalnya adalah sebuah industri besar yang nilainya diperkirakan mencapai US$11 miliar (Rp153 triliun) per tahun.

Industri ini telah membantu menciptakan khayalan, kebahagiaan adalah tujuan yang dapat dicapai. Padahal kebahagian adalah konsep abstrak yang tidak ada padanannya dalam pengalaman manusia yang sebenarnya. Karenanya, secara hakikat manusia memang tidak diciptakan untuk bahagia. Manusia hanya diciptakan untuk bertahan hidup.

Dalam konteks ini, kebahagiaan tidak sama sekali bisa ditemukan di jaringan otak. Studi aktivitas otak lebih lanjut menunjukkan, otak merespons lebih aktif terhadap gambar negatif daripada gambar positif atau netral.

Lebih lanjut, dalam buku Buddha's Brain: The Practical Neuroscience of Happiness, Love and Wisdom (2009), neuropsikolog Rick Hanson menggambarkan bagaimana otak kita berevolusi dengan cara memfokuskan diri bias negatif atau disebut Velcro. Inilah yang menjadi alasan klasik manusia bertahan hidup dengan memusatkan perhatian pada apa yang mungkin membahayakan mereka, alih-alih hal menyenangkan.

Baca Juga: Ajari Anak-anak Hadapi Kegagalan dan Mereka Akan Lebih Kuat

Lebih lanjut, Steven C. Hayes, pendiri Acceptance and Commitment Therapy dalam artikelnya di Psychology Today menjelaskan lima cara otak kita berevolusi untuk fokus pada hal negatif. Dalam hal ini, otak fokus membayangkan bahaya, merenungkan masa lalu, mengkhawatirkan apa yang dipikirkan orang lain, merasa tidak cukup baik, dan selalu membutuhkan lebih banyak atau tidak pernah merasa puas. Dengan demikian, kita memang memiliki bawaan untuk fokus pada hal-hal negatif.

Jangan Jadikan Bahagia Tujuan Hidup

Seperti semua perasaan, kebahagiaan itu sifatnya sementara. Kita tidak bisa memaksanya, membuatnya menjadi tujuan hidup apalagi berharap itu adalah sebuah kondisi konstan. Pun, kita tidak bisa menempatkan kebahagiaan sebagai sesuatu di masa depan, yang membuat kita berpikir kita hanya bisa bahagia ketika kita menjadi, melakukan, atau memiliki sesuatu.

Pakar perilaku manusia Patrick Wanis, PhD dalam wawancaranya bersama Psycom mengatakan, ketika kebahagiaan dilihat sebagai tujuan, maka kita sebenarnya menghindari kenyataan di hari ini.

“Kita akhirnya menekan, menyangkal, atau mengalihkan diri dari perasaan seperti rasa sedih, kecewa, sakit, dan mara. Sehingga, kita terjebak dalam jenis kebahagiaan palsu. Kita pun pada gilirannya menjadi individu yang mudah kecewa dan mulai mengalami kekosongan batin,” ungkapnya.

Psikolog klinis yang berbasis di Kanada Jennifer Barbera, PhD dalam artikel yang sama, mengungkapkan ketika orang fokus mengejar kebahagiaan dan berasumsi manusia diciptakan untuk bahagia, maka mereka otomatis berpikir dirinya tidak bahagia. Cacat. 

Baca Juga: Berdampak Fatal, Setop Bandingkan Diri dengan Orang Lain

Untuk menghindari siklus berbahaya ini maka kita harus mulai meredefinisi ulang makna kebahagiaan. Hal ini bisa dilakukan dengan tiga hal sederhana:

  1. Jangan takut merangkul emosi negatif

Dr. Barbeda menuturkan, kebahagiaan sejati datang dari usaha kita menerima diri kita sendiri. Menerima perasaan lain memungkinkan perasaan-perasaan itu berlalu lebih cepat dan menyisakan ruang untuk kebahagiaan dan kepuasan.

Rangkul dirimu apa adanya karena manusia hidup melalui kompleksitasnya. Jika kamu merasa sedih, kecewa, dan marah, rangkul perasaan itu. Berikan waktu pada dirimu sendiri untuk hanyut di dalamnya. 

  1. Cobalah untuk benar-benar terlibat dalam sesuatu yang kamu nikmati

Baik itu mengendarai sepeda, melukis, menulis, membaca, apa saja jenis kegiatannya, cobalah untuk melakukan sesuatu yang kamu sukai. Sebab dengan begitu, kamu akan berhenti memikirkan diri sendiri. Kamu akan kehilangan konsep diri yang perlu terus mengejar kebahagiaan dan menjadi sepenuhnya terlibat dalam apa yang kamu lakukan.

Maka dari itu mulailah luangkan waktu untuk dirimu sendiri melakukan hal yang kamu suka. 

  1. Mencari Sesuatu yang Bermakna

Hidup bukan sekadar menjalani hari dengan rutinitas yang itu-itu saja, melainkan memberi makna untuk diri dan sesama. Jadi, tidak usah berpikir yang muluk-muluk soal mengubah dunia. Terkait ini, Dr. Wanis berkata, bahkan hal kecil seperti mendengarkan atau membantu orang tertawa sudah dapat memberikan kita makna yang lebih besar dalam hidup.

Ia percaya, kepuasan terbesar dalam hidup bukan dari bagaimana kita bisa merasakan kebahagiaan secara konstan tapi terlibat dalam sesuatu yang signifikan, lalu membuat perbedaan.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.