Women Lead Pendidikan Seks
February 17, 2020

Klausul Pelecehan Seksual dalam Kontrak Kerja Diharapkan Lindungi Pekerja Film

Maraknya kasus pelecehan seksual di industri film mendorong sejumlah rumah produksi membuat aturan dan sanksi khusus terkait pelecehan seksual.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Issues // Politics and Society
Perempuan_Industri_Film_SarahArifin
Share:

“Mulai sekarang, saya mau di setiap kontrak kerja saya, ada klausul tentang pelecehan seksual,” dengan lirih namun tegas, Mian Tiara menyatakan dalam sebuah diskusi pada 30 Januari lalu.

Aktris dan musisi ini baru menceritakan pengalamannya dilecehkan oleh seorang aktor senior dalam sebuah diskusi terbatas yang digelar Yayasan Bersama Project. Menanggapi pernyataan Tiara tersebut, aktris Hannah Al Rashid serta editor Aline Jusria yang juga hadir dalam diskusi mengaku pernah mengalami pengalaman serupa dari pelaku yang sama. Lebih lanjut Aline bercerita, sebagian temannya sesama pekerja film juga menceritakan pengalaman dilecehkan baik oleh pelaku yang sama maupun orang berbeda. Pengakuan-pengakuan tersebut, kata Aline, datang tidak lama setelah Tiara menguak cerita dilecehkan si aktor senior di lokasi syuting dalam sebuah utas di Twitter.

Kasus pelecehan seksual di industri film jamak, tetapi sedikit sekali pekerja di sana yang mau bersuara soal hal itu, baik itu mengadu ke atasan atau produser, kepada sanak keluarga atau teman, maupun pihak berwajib dan publik lebih luas.

Dalam wawancara dengan Magdalene Mei tahun lalu, Nia Dinata sempat menyinggung soal kerawanan tindak pelecehan seksual di industri film bagi pekerja perempuan.

“Waktu itu misalnya, asisten make up digoda-godain. Tapi pada saat aku lewat, semua diam,” ujarnya.

“Nah, mereka sebenarnya tahu bahwa that’s not the right thing to do. Kebiasaan ini memang susah untuk diputuskan rantainya.”

Baca juga: Pelecehan Seksual di Industri Film dan Pentingnya Ruang Aman untuk Penyintas

Kondisi rawan pelecehan seksual di lokasi syuting diafirmasi pula oleh Lisabona Rahman, kritikus film dan perwakilan kolektif #SinematikGakHarusToxic—yang membuka saluran aduan kasus pelecehan di industri film. Berdasarkan pengalamannya menerima cerita penyintas, Lisa mengatakan dalam diskusi dengan Tiara, bahwa kebanyakan dari mereka enggan bercerita pada mulanya karena merasa diri mereka bukanlah siapa-siapa dan sulit untuk percaya pada orang lain jika mereka ingin mulai bicara. Ini yang membuat pelecehan seksual di industri film menjadi fenomena yang terus berlangsung dalam kesunyian.

Produser Mira Lesmana mengatakan ia mendapat pengaduan kasus pelecehan seksual dari salah seorang pekerja di rumah produksinya, Miles, pada tahun 2008. Ketika itu, seorang kru perempuan mengaku dilecehkan saat syuting di luar kota.

“Setelah mendengar cerita dia, saya bilang, ‘Kamu udah cerita ke saya, what can I do?’. Waktu itu dia cuma bisa menangis dan minta tolong untuk tidak membesar-besarkan ceritanya, tidak menceritakan lagi ke siapa-siapa,” ujar Mira.

Ia melanjutkan, kru tersebut khawatir dia tidak akan dipekerjakan lagi atau si pelaku akan menjelek-jelekkan reputasinya.

“Saya kenal orang yang melecehkan dia. Mendengar cerita ini, saya jadi merasa useless, tapi saya tahu saya harus melakukan sesuatu.”

Alih-alih membiarkan penyintas mundur dari industri ini karena lingkungan kerjanya terlalu beracun, semestinya pelaku yang disoroti dan diberi hukuman seberat mungkin berupa blacklist dari rumah produksi.

Hitam di atas putih soal pelecehan seksual

Laporan pelecehan seksual yang Mira terima tadi membuatnya memutuskan untuk tidak lagi mempekerjakan si pelaku dalam produksi-produksi berikutnya, serta memperingatkan orang-orang yang berinteraksi dengan si pelaku untuk berhati-hati. Tidak berhenti sampai di situ, beberapa kasus serupa di industri film yang sampai ke telinga Mira mendorongnya untuk merevisi kontrak kerja rumah produksinya.

“Saya berpikir, the only thing I can do is prevention. Saya membuat klausul pelecehan seksual (dalam kontrak). Itu juga sulit sekali merumuskannya karena pelecehan juga bisa berbentuk atau colek-colek, dan ini membuat banyak perempuan tidak nyaman,” ujar produser film Bebas (2019) ini.  

Dalam rilis Organisasi Buruh Internasional (ILO) seputar pelecehan seksual di tempat kerja, pelecehan seksual mencakup sentuhan, tatapan, ajakan berhubungan seks atau kencan yang tidak diinginkan, komentar dan lelucon sugestif, serta kiriman gambar dan pesan bermuatan seksual yang tak dikehendaki.

Walaupun ada daftar semacam ini, perkara pelecehan seksual menitikberatkan pada bagaimana perasaan seseorang ketika hal-hal tadi dilakukan terhadapnya: Apakah ia nyaman atau tidak. Ketika ia sudah mulai merasa tidak nyaman, ia perlu mengakui keadaan tersebut dan melakukan sesuatu.

“Kita semua pasti punya sensitivitas ketika mengalami sesuatu dan merasa, ‘enggak gitu sih’. Kita cewek-cewek mesti percaya kalau saat lu udah mulai ngerasa enggak nyaman, elu harus yakin kalau ini memang enggak nyaman. Jangan bertanya dua kali, ini nyaman enggak sih, boleh atau enggak?” ujar Meiske Taurisia, produser Palari Film yang juga hadir dalam diskusi bersama Tiara. Seperti halnya Mira, Meiske juga menerapkan aturan soal pelecehan seksual dalam kontrak rumah produksinya. 

Baca juga: ‘Perempuan Tanah Jahanam’: Kemiskinan sebagai Sumber Horor

Dalam kontrak kerja Miles, dinyatakan bahwa pekerjanya harus menjamin dirinya tidak akan melakukan tindak kekerasan seksual secara verbal maupun fisik kepada sesama pekerja. Pelanggaran terkait hal ini diganjar sanksi laporan dari pihak rumah produksi ke pihak berwajib, asosiasi film dan institusi terkait lainnya, pencopotan nama yang bersangkutan dari kredit film, tuntutan pengembalian seluruh honorarium yang telah diberikan, dan penggantian kerugian lainnya. Di samping itu, pekerja di Miles juga berhak untuk menceritakan kejadian kekerasan seksual yang ia alami, serta berkewajiban untuk melaporkan tindakan tersebut jika dilakukan oleh pekerja lain. Klausul ini berlaku untuk pemain dan kru serta seluruh gender.

“Saya bilang, kalau laki-laki di-harass pun, of course you can tell me,” ujar Mira.

Klausul pelecehan seksual yang telah Mira cantumkan dalam kontrak bisa saja terlewat oleh para pekerja yang hendak menandatanganinya. Karena itu, pada hari pertama syuting, di hadapan kru dan pemain, Mira kembali mengingatkan soal adanya klausul tersebut. Ia juga berpesan kepada orang-orang dalam produksi filmnya untuk saling menjaga, terutama untuk para perempuan.

“Penting untuk menyatakan lingkungan kerja ini aman, sehat, dan tidak boleh dikotori perbuatan seperti itu (melecehkan secara seksual),” ujar Mira.

Baca juga: Saatnya Tokoh Perempuan di Film Punya Stereotipe Baru

Pencantuman klausul pelecehan seksual dalam kontrak kerja diharapkan mampu mengubah budaya kerja dalam industri perfilman. Alih-alih membiarkan penyintas mundur dari industri ini karena lingkungan kerjanya terlalu beracun, semestinya pelaku yang disoroti dan diberi hukuman seberat mungkin berupa blacklist dari rumah produksi. Jika pelaku masih belum dapat dijerat pidana karena undang-undang yang menyinggung pelecehan seksual belum disahkan, setidaknya ada sanksi profesional yang dijatuhkan kepadanya untuk membuat jera.

Selain membuat klausul pelecehan seksual dalam kontrak kerja, Mira juga berupaya menyebarkan poin tersebut kepada produser-produser lain lewat Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI). Sayangnya, banyak produser di sana—yang mayoritas laki-laki—yang masih memandang sebelah mata. Biasanya yang memberikan tanggapan lebih serius adalah produser perempuan.

“Seharusnya ini lebih banyak direspons produser laki-laki yang sangat banyak. Saya akhirnya share secara pribadi ke produser laki-laki dan kebanyakan cuma bilang ‘Okay, thanks,” kata Mira.

Pekerjaan rumahnya adalah mencari laki-laki di dunia film yang mau berbicara soal pelecehan seksual untuk mencegah kasus ini terus berlanjut, dan untuk memperlebar ruang aman bagi para pekerja film. 

“Ruang aman itu kita perlebar supaya orang jadi aware dan para pelaku mulai sadar bahwa aturan (soal pelecehan seksual) ini semakin merata (dan mencegah mereka berbuat),” ujar Mira.

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop