Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Internasional ditetapkan pada 16 Juni 2011 bersamaan dengan tanggal adopsi Konvensi 189 dan Rekomendasi 201 tentang Kerja Layak bagi PRT oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Terbitnya Konvensi dan rekomendasi tersebut merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap pekerjaan rumah tangga yang selama ini terpinggirkan dari skema perlindungan pekerja pada umumnya. Indonesia adalah salah negara yang turut bersetuju atas Konvensi 189 dan Rekomendasi 201 tersebut, bahkan Presiden RI pada saat itu dalam pidatonya yang disampaikan pada Konferensi ke 100 ILO di Jenewa (14/6/2011) secara langsung menyampaikan komitmen pengakuan dan perlindungan PRT. Sayangnya, hingga saat ini komitmen pemerintah Indonesia yang telah disaksikan oleh komunitas internasional tersebut belum juga diwujudkan di tingkat nasional. Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT yang telah diusulkan sejak 16 tahun lalu dan beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional selalu “terbengkalai” dan gagal untuk disahkan. Kekosongan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap PRT tidak hanya berdampak terhadap kerentanan PRT namun juga pada ketidakpastian perlindungan atas hak pemberi kerja.
Pekerjaan rumah tangga merupakan salah satu dari jenis pekerjaan sektor informal yang didominasi oleh perempuan. ILO memperkirakan jumlah PRT di seluruh dunia sekitar 67.1 juta orang dan 11.5 juta atau 17,2% di antaranya merupakan PRT migran. Di Indonesia, lebih dari separuh angkatan kerja nasional atau sekitar 70,49 juta orang bekerja pada sektor informal dan 61% di antaranya adalah pekerja perempuan (Sakernas dan BPS,2019). Data terakhir tahun 2015 menunjukkan jumlah PRT di Indonesia diperkirakan 4 juta orang. Sementara itu 60-70% dari total perkiraan 9 juta pekerja migran Indonesia adalah perempuan yang bekerja sebagai PRT di luar negeri.
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa persoalan pekerja rumah tangga di Indonesia telah menjadi sorotan dunia internasional. Komnas Perempuan mencatat setidaknya ada tiga mekanisme internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu Universal Periodic Review (UPR) 2017, Rekomendasi Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB, dan Rekomendasi Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang secara khusus mendorong pemerintah Indonesia untuk mengupayakan adanya standard kerja yang layak bagi PRT sekurang-kurangnya melalui Ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT dan atau pembentukan undang-undang nasional. Dorongan komunitas internasional ini sejalan dengan Sila Kedua dan Kelima Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” serta amanah Konstitusi Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 28D ayat (2) yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Akibat ketiadaan payung hukum tentang PRT, sampai saat ini PRT rentan mendapatkan kekerasan berbasis gender, seperti kekerasan seksual, perdagangan orang, dan kekerasan dalam rumah tangga. Termasuk tidak dipenuhinya hak-haknya sebagai pekerja seperti upah, beban kerja, cuti, waktu istirahat dan peningkatan kapasitas. Disisi lain, pemberi kerja tidak mendapatkan kepastian hukum akan haknya untuk memperkerjakan PRT yang cakap, bekerja sesuai jangka waktu yang diperjanjikan dan kepastian keamanan tempat tinggal dan/atau anak-anak atau manula atau binatang yang dirawat oleh PRT. Hal tersebut menunjukkan besarnya tantangan PRT dan Pemberi Kerja dalam bernegosiasi tanpa perlindungan hukum. Faktanya perempuan yang bekerja sebagai PRT berkontribusi untuk kesejahteraan keluarganya dan pada saat yang sama melapangkan dan menopang perempuan lainnya yaitu Pemberi Kerja untuk dapat bekerja di ruang publik. Relasi kerja yang setara, adil, saling mendukung dan menguntungkan inilah yang semestinya dilindungi secara hukum melalui pengesahan RUU Perlindungan PRT.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan berpandangan bahwa pengakuan dan perlindungan hukum bagi PRT melalui pengesahan RUU Perlindungan PRT merupakan bagian dari pengakuan dan perlindungan kepada pekerja perempuan. Pada peringatan hari PRT Internasional 2020 ini, Komnas Perempuan menyampaikan sikap:
- Meminta DPR RI untuk segera mensahkan RUU Perlindungan PRT untuk menjamin perlindungan dan memberikan kepastian hukum kepada PRT. Adanya UU Perlindungan PRT ini juga akan memberikan perlindungan bagi Pemberi Kerja dan menciptakan situasi kerja yang layak dan menguntungkan bagi PRT dan Pemberi Kerja;
- Pengesahan RUU Perlindungan PRT merupakan perwujudan Sila Kedua dan Kelima Pancasila dan menjalankan amanat Konstitusi RI pasal 28D ayat (2) serta pemenuhan hak asasi manusia utamanya hak asasi perempuan;
- Mendorong Pemerintah RI agar meratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT;
- Mengajak masyarakat yang lebih luas dan media untuk mendukung pengesahan RUU Perlindungan PRT dan mengawasi pembahasan RUU Perlindungan PRT di DPR RI.
Comments