Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dari 2020 yang cukup signifikan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2022.
“Dalam data umum Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan naik sebesar 1933 kasus (81 persen), atau setara dengan 16 kasus per hari, hampir double dari tahun 2020,” ujar Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan dalam pemaparannya, Senin (07/03).
Dari data umum yang diberikan, Komnas Perempuan juga melaporkan adanya kenaikan laporan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 50 persen dari 2020, bahkan jumlahnya lebih tinggi dari sebelum masa pandemi di 2019. Dalam hal ini CATAHU 2022 menunjukkan terdapat 338.496 laporan kasus pada 2021, naik dari 226.062 kasus pada 2020. Lonjakan ini bersumber pada data Komnas Perempuan, 129 lembaga layanan, dan Badan Peradilan Agama (Badilag).
Menilai dari kenaikan kasus ini, menurut Alimatul menunjukkan bahwa masa pandemi di tahun kedua, perangkat akses laporan online sudah mulai dikenal oleh masyarakat, korban sudah mulai beradaptasi dengan teknologi yang disertai oleh mulai adanya kesadaran publik untuk melakukan pengaduan kasus kekerasan.
Peningkatan laporan kasus pun tidak terlepas dari peningkatan pengembalian formulir pengaduan. Untuk CATAHU 2022, tercatat ada 129 lembaga layanan yang mengumpulkan kuesioner, dengan peningkatan sebanyak 7,5 persen dari tahun lalu yang hanya tercatat dari 120 lembaga layanan.
Baca Juga: Seks Bebas dan LGBT: Lagu Lama Para Penentang RUU TPKS
Kendati demikian, adanya peningkatan pengembalian formulir dari Lembaga layanan, Komnas Perempuan menyatakan data dari hotline turun 15 persen dari tahun lalu. Menurut Alimatul hal ini terjadi karena selama pandemi COVID-19, beberapa hotline sudah tidak beroperasi dan adanya keterbatasan SDM.
Alimatul juga menggarisbawahi Komnas Perempuan tidak menerima informasi kekerasan terhadap perempuan dari Sulawesi Barat dan Kalimantan Tengah. Situasi tersebut mencerminkan adanya ketimpangan dengan Pulau Jawa sebagai pemberi data terbanyak karena memiliki infrastruktur, teknologi dan informasi yang lebih memadai.
“Pendataan kasus kekerasan yang maksimal perlu infrastruktur dengan hotline, teknologi, akses informasi yang lebih merata di Indonesia. Hanya jika teknologinya tersedia, perempuan dapat melaporkan kasus mereka sehingga kami bisa mendapatkan lebih banyak data,” ujarnya.
Kasus Kekerasan Personal Masih Menonjol
Dari jumlah data yang dihimpun, Komnas Perempuan mencatat terdapat tiga jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling dominan. Jenis kekerasan pertama yaitu kekerasan fisik sebanyak 4.814 kasus (30 persen), yang disusul oleh kekerasan psikis sebanyak 4.754 (29 persen), dan kekerasan seksual sebanyak 4.660 (29 persen).
Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, banyak terjadi di ranah pribadi atau personal, masyarakat, dan negara, namun polanya masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Kasus kekerasan terhadap perempuan paling menonjol terjadi di ranah personal, sebanyak 7.770 kasus dengan kasus yang mengemuka terbagi dalam empat isu utama, yaitu Kekerasan Terhadap Istri (KTI), Kekerasan Mantan Suami (KMS) atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Berlanjut, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), dan Kekerasan Terhadap Anak Perempuan (KTAP).
Dari keempat isu utama, jenis kekerasan seksual dalam ranah personal masih didominasi oleh perkosaan dan marital rape dengan masing-masing berjumlah sebanyak 597 kasus (25 persen) dan 591 kasus (25 persen). Merujuk pada data dari lembaga layanan misalnya tercatat KTI menduduki peringkat satu sebanyak 2.633 kasus yang kemudian disusul oleh KDP sebanyak 1.222 kasus.
Untuk KTI sendiri, masih terdapat kriminalisasi terhadap istri dengan menggunakan sangkaan tindak pidana di antaranya aborsi tanpa izin suami, penggelapan, pemalsuan surat, memberikan keterangan palsu, perbuatan tidak menyenangkan, KDRT psikis, penelantaran rumah tangga dan penelantaran anak.
Hal yang kemudian menjadi catatan bersama dalam CATAHU tahun ini adalah adanya perubahan dalam jenis kekerasan dalam ranah personal.
“Di ranah personal jenis kekerasan yang terjadi paling banyak di Komnas Perempuan tahun ini itu KMP, Kekerasan Mantan Pacar baru disusul KTI atau Kekerasan Terhadap Istri. Pada tahun-tahun sebelumnya paling banyak itu KTI, baru di tahun ini ada perubahan,” tambahnya.
Baca Juga: Permendikbud Kekerasan Seksual yang Penuh ‘Catatan Kaki’
Untuk itu Komnas Perempuan mengidentifikasi hubungan pelaku dan korban di ranah personal dan menemukan bagaimana suami, pacar, dan ayah adalah tiga besar individu pelaku kekerasan yang seharusnya memberikan perlindungan kepada korban. Komnas perempuan bahkan mengelaborasi lebih lanjut bagaimana dari hasil pemantauan mereka pada 2021, femisida intim merupakan kasus terbanyak dengan relasi perempuan korban adalah suami (34 orang) dan pacar (21 orang) serta motifnya yang didominasi oleh dendam atau sakit hati (30.4 persen), pemerkosaan (14.9 persen), dan cemburu (14.3 persen).
Kemudian, dalam elaborasi terhadap karakteristik korban dan pelaku, Alimatul menyampaikan bagaimana korban dan pelaku ada di semua level usia, namun sebaran usia korban dan pelakunya berbeda.
“Kalau kita lihat sebarannya sebenarnya korban itu karakteristiknya mereka semakin banyak yang berusia muda. Sedangkan pelaku karakteristiknya banyak yang berusia dewasa dan lansia. Pun, korban lebih banyak yang berpendidikan rendah daripada pelaku yang mengindikasikan adanya relasi kuasa yang kuat antara keduanya,” ungkap Alimatul.
Dampak dan Hambatan Keadilan Pada Korban
Kekerasan yang dialami perempuan tentunya berdampak besar pada pelaku. Rainy Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan melalui CATAHU, misalnya mengungkapkan bagaimana seluruh jenis kekerasan berbasis gender terhadap perempuan berdampak psikis, memengaruhi kesehatan mental, dan kualitas SDM perempuan.
Dalam hal ini, Hutabarat lebih lanjut menyampaikan dampak psikologis yang dialami korban bisa berupa depresi ringan sampai berat, post-traumatic stress disorder (PTSD), hingga keinginan menyakiti diri sendiri bahkan bunuh diri.
Karenanya, ia mengungkapkan bagaimana pertolongan pertama dan pemulihan selanjutnya diperlukan ketersediaan psikolog klinis dan atau psikiater. Namun sayangnya, sampai saat ini jumlah psikolog klinis yang terverifikasi sebanyak 3.119 orang dan psikiater hanya 1.212 orang sementara kemampuan masyarakat termasuk lembaga layanan untuk mengenali gejala depresi ringan masih rendah.
“Korban tidak segera mendapat pertolongan. Pemulihan terhadap korban masih belum mendapatkan perhatian serius, padahal pemantauan Komnas Perempuan misalnya di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Abepura 50 persen perempuan menjadi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) akibat mengalami KDRT,” tegasnya.
Baca Juga: Cinta dan Kekerasan, Pentingnya Mengenal Batasan di Antara Keduanya
Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan lebih jauh memaparkan secara umum hambatan keadilan yang dialami korban masih sama, yaitu penundaan berlarut dan kesulitan dalam sistem pembuktian. Siti bahkan mengungkapkan penundaan berlarut mengakibatkan satu kasus di Bengkulu menjadi kedaluwarsa, sehingga penyidikannya tidak dapat diproses lebih lanjut.
Selain itu, hambatan dalam mengakses keadilan dan pemulihan juga terjadi saat korban tidak mendapatkan dukungan dari keluarga. Hal inilah yang kemudian mendorong korban meninggalkan rumah dan kehilangan hak tumbuh kembang sebagai anak, hak atas pendidikan, serta hak dasarnya ketika tidak memiliki dokumen kependudukan.
Dalam pemantauan Komnas Perempuan, terdapat korban yang meninggalkan rumah keluarga karena mengalami kekerasan seksual tanpa membawa dokumen atau identitas apa pun. Korban bertahan dan bekerja semampunya, namun ketika akan membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), ia mengalami kesulitan, karena namanya sudah tidak tercantum lagi dalam Kartu Keluarga (KK).
“Akibat tidak memiliki KTP inilah, korban akhirnya tidak bisa membuka rekening bank, mendapat vaksinasi Covid-19 atau mengakses layanan negara lainnya. Hal ini menunjukkan korban kekerasan berbasis gender kehilangan akses terhadap dokumen kependudukan.”
Ilsutrasi oleh Karina Tungari
Comments