Disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada 2020 sempat mengundang banyak kritik dari publik. Para pakar dan organisasi pekerja menilai, undang-undang ini dikhawatirkan akan menambah kerentanan pekerja, terutama mereka yang berada pada sistem kerja tidak tetap/non-standar, dan pekerja kecil lainnya.
Setahun berlalu setelah pengesahannya, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) Rizki Yudha menilai, hal itu terbukti tak sekadar jadi kekhawatiran. Sudah ada banyak kasus-kasus nyata nan aktual yang ia dampingi berkaitan dengan pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan dan kesejahteraan buruh. Ditambah lagi, situasi pandemi yang membuat perekonomian mengalami kemunduran membuat banyak pekerja mengalami PHK dan tak mendapatkan perlakuan yang adil dari perusahaan, tambah Rizki.
“LBH Pers bersama Aliansi Jurnalis Independen Jakarta (AJI Jakarta) membuka posko pengaduan hak-hak ketenagakerjaan selama pandemi, dari tahun 2020 sampai hari ini. Ada banyak kasus aktual yang kami terima akibat perubahan hukum akibat adanya UU Cipta Kerja ini. Kami menemukan beberapa pola yang berkaitan dengan penurunan jaminan hukum terhadap kesejahteraan pekerja,” kata Rizki dalam diskusi hukum ‘Dampak UU Cipta Kerja kepada Pekerja Media’ yang dilaksanakan AJI Jakarta dan LBH Pers, (21/8).
Pola pertama yang Rizki temui berkaitan dengan kerentanan pekerja untuk diputus hubungan kerjanya (mengalami PHK) dengan alasan efisiensi perusahaan. Menurut Rizki, UU Cipta Kerja lewat pasal 154a memuat ketentuan bahwa perusahaan bisa melakukan PHK karyawan dengan alasan efisiensi, baik dengan kondisi yang mengharuskan perusahaan menutup usaha ataupun tidak. Ada perubahan dari Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mana mengatur PHK dengan alasan efisiensi baru bisa dilakukan bila perusahaan harus mengalami penutupan. Padahal, terminologi efisiensi ini sebenarnya cukup bermasalah, lantaran terbukti sering dijadikan dasar hukum bagi perusahaan yang mem-PHK pekerjanya untuk mencegah terjadinya kerugian, ujar Rizki.
Baca juga: Omnibus Law, RUU Halu, UU ITE: Demokrasi Sedang di Bawah Ancaman
“Turunannya, dimuat juga keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendefinisikan penutupan kerja sebagai syarat adalah penutupan permanen. Artinya, perusahaan tidak bisa menjadikan efisiensi sebagai alasan melakukan PHK. Sementara itu, di UU Cipta Kerja jelas, pasal ini memudahkan perusahaan melakukan PHK sepihak. Kami menemukan beberapa perusahaan yang menggunakan alasan itu,” kata Rizki.
Selain itu, Rizki juga menyoroti, UU Cipta Kerja memuat ketentuan mengurangi kompensasi karyawan yang mengalami PHK. Menurut Rizki, dalam UU Cipta Kerja pasal yang sama, ada ketentuan bahwa pekerja yang di-PHK karena perusahaan mengalami kerugian itu mendapatkan 0,5 kali pesangon. Sementara itu, pekerja yang di-PHK karena perusahaan berusaha mencegah kerugian akan mendapatkan kompensasi sebesar satu kali pesangon.
Nominal ini berkurang dari nominal yang ditetapkan dalam UU No. 13 tahun 2003, yang mengatur bahwa pekerja punya hak untuk mendapatkan dua kali pesangon dan penggantian hak, ujar Rizki.
“Banyak sekali pekerja yang terdampak dari peraturan ini. Seharusnya, dulu, kalau mau mem-PHK dengan alasan perusahaan mengalami penurunan produktivitas kan dikaji lebih jauh, penurunan labanya sebesar apa? Dampaknya sebesar apa sampai unsur ini terpenuhi dan melakukan PHK?”
“Selain itu, hak pekerja yang di-PHK sebelumnya, selain uang pesangon, ada uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. UU Cipta Kerja menghapus satu ketentuan dalam uang penggantian hak itu. Sebelumnya, ada kewajiban penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan sebesar 15% dari uang pesangon oleh persahaan. Sekarang, itu tidak ada. Kompensasi pekerja jadi semakin berkurang,” kata Rizki.
Dalam kesempatan yang sama, Dosen hukum ketenagakerjaan di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa menilai, UU Cipta Kerja membuat hukum ketenagakerjaan Indonesia jadi kurang protektif terhadap pekerja, karena berkurangnya pesangon, kemudahan untuk melakukan PHK, serta diperparah dengan kebijakan-kebijakan terkait pandemi COVID-19 yang tidak memberi perlindungan lebih terhadap pekerja.
Baca juga: 4 Dampak UU Cipta Kerja dan PP Turunannya Bagi Buruh Perempuan
Ditambah lagi, Nabiyla menilai, UU Cipta Kerja ini tidak berhasil menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang dinilai tak cukup memberikan proteksi pada pekerja non-standar. Alih-alih begitu, UU Cipta Kerja malah menciptakan permasalahan baru.
“Misalnya, dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang sebelumnya dibatasi dua tahun, kalaupun ada tambahan yaitu dua tahun plus satu atau dua tahun plus dua, di UU Ciptaker tidak dibatasi, meski akhirnya dibatasi jadi lima tahun dalam peraturan turunanya,” kata Nabiyla.
“UU Cipta Kerja juga merupakan ketentuan hukum pertama yang tidak secara eksplisit memperhitungkan untuk menggunakan frasa “kebutuhan hidup layak” dalam menentukan upah minimum, karena semua dikembalikan pada mekanisme perhitungan inflasi kondisi ketenagakerjaan. Padahal, ini tidak representatif terhadap kebutuhan hidup layak masyarakat.”
Gado-gado Perspektif Bisnis dan Perlindungan Pekerja
Nabiyla juga menyoroti adanya ketentuan yang berpotensi melahirkan penafsiran ganda, seperti ketentuan jenis-jenis pekerjaan yang boleh dialih daya (outsourcing), itu dihapuskan dari yang sebelumnya UU Ketenagakerjaan hanya memperbolehkan alihdaya dilakukan pada pekerjaan-pekerjaan non-inti. Ini berpotensi menimbulkan penafsiran bahwa semua pekerjaan bisa dialih daya, dan ini lagi-lagi membuat kondisi pekerja non-standar semakin rentan.
Nabiyla menilai, secara umum, problem-problem konseptual ini berawal dari satu masalah utama, yaitu UU Cipta Kerja yang berperspektif bisnis dan ditujukan untuk kepentingan investasi. Bukan hal yang buruk memang, karena bagaimanapun, negara membutuhkan investasi untuk membuat lapangan pekerjaan baru. Tapi, permasalahannya, UU Cipta Kerja mencampuradukkan perspektif perlindungan ketenagakerjaan ke dalam undang-undang yang perspektifnya bisnis ini, ujarnya.
Baca juga: Masyarakat Adat Kian Rentan Akibat Omnibus Law UU Cipta Kerja
“Padahal, secara hakikat, perlindungan pekerja itu lahir karena pekerja punya bargaining position yang rendah. Mereka tak punya posisi yang sama untuk bernegosiasi dengan perusahaan. Masalahnya, UU Cipta Kerja ini melakukan yang namanya deregulasi, melepas tanggung jawab negara terhadap pekerja dan mengembalikannya pada kesepakatan para pihak (pengusaha dan perusahaan).”
“Ini terlihat ideal di kertas, tapi kenyataannya tidak. Itu karena UU Cipta Kerja dibangun dari konsepsi yang terlalu positive thinking kalau pekerja dan pengusaha bisa bersepakat dengan seimbang, mengabaikan fakta-fakta sosiologis, kedudukan mereka tidak setara. Sehingga, ketika ada kertas kosong (celah hukum) yang dikembalikan negara kepada pengusaha, ini hanya akan menguntungkan pengusaha,” tambahnya.
Comments