Women Lead Pendidikan Seks
September 02, 2022

‘Ojo Dibandingke’, Farel Prayoga, dan Indonesia yang Krisis Lagu Anak

Mengapa saat ini lagu anak Indonesia tidak populer seperti era 1990-an? Padahal ada dampak buruk buat anak kecil yang bernyanyi lagu orang dewasa.

by Theresia Amadea, Reporter
Issues // Politics and Society
Share:

Pada perayaan kemerdekaan Indonesia kemarin, penyanyi cilik Farel Prayoga sempat viral. Dengan suara merdunya, Farel mampu membuat para pejabat Indonesia serta Presiden Indonesia berjoget. Berkat kejadian ini, Farel makin sukses dan dikenal banyak orang.

Di tengah semarak itu, ada permasalahan yang saking biasanya, gampang sekali terlewatkan. Farel, yang masih berusia 12 tahun menyanyikan Oro Dibandingke, sebuah lagu berbahasa Jawa yang liriknya menceritakan percintaan orang dewasa. Lagu itu berkisah tentang seseorang yang patah hati, karena cintanya terus-terusan dibanding-bandingkan dengan orang lain—pengalaman yang tentu saja harusnya belum dimiliki anak berusia 12 tahun.

Krisis lagu anak memang sudah lama diributkan, terutama sejak masa kejayaan lagu-lagu anak berbahasa Indonesia perlahan tenggelam, dua dekade lalu.

Masalahnya, apakah pilihan itu betul-betul terbatas, sampai tidak ada lagu anak yang bisa dinyanyikan Farel? Atau presiden dan protokol Istana Negara betul-betul merasa tidak ada yang salah dari anak-anak yang menyanyikan lagu orang dewasa?

Baca juga: Pola Pengasuhan Ganda dan Beban Ibu yang Dibagi Rata

Krisis Sejak 2000-an

Krisis itu dimulai sejak era 2000-an. Sebagai anak-anak era itu, saya masih sering mendengar lagu anak-anak, meski ketika dewasa diberi tahu bahwa lagu-lagu itu adalah peninggalan dari dekade sebelumnya. Rata-rata lagu pada era tersebut adalah lagu yang diproduksi pada tahun 1990-an.

Waktu itu, muncul banyak anak kecil yang mempopulerkan lagu mereka sendiri. Bukan lagu cover-an yang sudah ada, ataupun yang dinyanyikan penyanyi dewasa. Nama-nama populer di antaranya adalah Trio Kwek-Kwek, Joshua Suherman, Sherina, Dea Imut, dan Tasya Kamila.

Untungnya, lagu seperti Naik-Naik ke Puncak Gunung, Dua Mata Saya, Abang Tukang Bakso, Bintang Kecil, Balonku, Cicak di DindingTopi Saya Bundar, masih diajarkan kepada anak-anak. Baik orang tua dan sekolah masih mendorong anak-anak untuk bernyanyi lagu anak.

Dalam jurnal Representasi Keterkaitan Lagu Anak Jaman Dahulu dengan Kehidupan Jaman Sekarang, Umi Novitasari dan Nadia Amalia menjelaskan peran lagu anak di kehidupan anak. Lagu 1990-an mengisahkan aktivitas sehari-hari anak pada zaman tersebut. Keseharian yang digambarkan lagu dari anak itu bangun tidur, pergi ke sekolah, bermain dan berulang seperti itu setiap hari. 

Selain itu, lagu anak 1990-an menceritakan kegiatan bersama antar anak-anak. Seperti membuat layangan dengan lagu Layang-layang, bermain bersama Lingkaran Kecil Lingkaran Besar, dan masih banyak lagu bermain lainnya. Lagu anak saat itu banyak diciptakan oleh Ibu Sud, Pak Kasur, MT Mahmud, dan SM Mochtar. Sehingga era 1990-an dianggap masa keemasan lagu anak Indonesia.

Namun, waktu terus berjalan dan lagu anak mulai dilupakan. Anak-anak yang menyanyikan lagu-lagu orang dewasa mulai wajar ditonton. Pada ujung 2000-an, mulai muncul acara pencarian bakat anak yang tayang di stasiun TV swasta nasional. Mereka memang beberapa kali masih membawakan lagu anak-anak, yang populer di 90-an. Namun, acara-acara tersebut turun berperan menormalisasi anak-anak membawakan lagu orang dewasa, meski beberapa kali liriknya diganti jadi kisah tentang menyayangi Ibu atau sahabat.

Padahal, seperti yang ditulis Novitasari dan Amalia, mereka belum mengerti mengenai masalah orang dewasa seperti percintaan. Anak kecil belum paham makna lagu yang anak nyanyikan.

Baca juga: 4 Catatan Penting RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak yang Harus Kamu Tahu

Dampak Buruk Krisis Lagu Anak Indonesia

Ardipal dalam jurnal Kembalikan Lagu Anak-anak Indonesia: Sebuah Analisis Struktur Musik menerangkan bahwa jika anak terlalu sering bernyanyi lagu dewasa membawa pengaruh negatif pada anak.

Dari sampel data berupa lagu anak dan pop orang dewasa terlihat perbedaan yang mencolok. Perbedaan itu terdapat pada pola ritmis, melodis, interval, tempo, hingga range nada. Elemen-elemen pada lagu dewasa belum cocok untuk dinyanyikan anak kecil. Jika anak-anak meniru cara orang dewasa bernyanyi berakibat fatal seperti kerusakan pita suara, kram otot rahang.

Dalam artikel di laman resmi Universitas Sebelas Maret, Berliana Widi Scarvanovi, Dosen Psikologi Perkembangan FK UNS menjelaskan ketidakpahaman anak akan makna lagu orang dewasa berdampak dalam perkembangan psikologi. Pada umumnya, anak usia balita hingga kelas satu Sekolah Dasar masih dalam tahap meniru ataupun menyerap informasi di lingkungan sekitarnya.

Perkembangan kognitif membuat anak mulai penasaran dengan diksi yang terdapat pada lagu yang sering didengarkan atau dinyanyikan. Contoh, anak bertanya tentang makna kata cinta atau pacaran.

Anak yang tidak mendapat jawaban tepat dan memuaskan rasa ingin tahunya, akan bertanya pada orang lain. Hal yang khawatirkan adalah anak mendapatkan informasi dan stimulasi yang tidak sesuai dengan umurnya.

“Dampak lanjutannya macam-macam. Saya rasa salah satunya adalah pacaran dini. Dapat stimulasi dari lagu dan film percintaan yang tulisannya bimbingan orang tua, tapi anak menonton dan mendengarkan dengan bebas,” ujar Berliana.

Berliana menambahkan, berdasarkan tahap perkembangan anak, lagu dengan tema percintaan dapat didengarkan pada usia remaja (tiga belas hingga delapan belas tahun). Hal ini karena anak mulai masuk usia pubertas dan mulai ketertarikan romantis. Namun, tetap perlu pemilihan tergantung pada isi konten lagu tersebut.

Baca juga: Ibu Bekerja di Indonesia Butuh Subsidi Penitipan Anak

Peran Media dan Rumah Produksi Musik Indonesia

Lalu apa alasan lagu anak meredup di industri musik Indonesia? Padahal menurut Badan Pusat Statistik jumlah anak berusia 0-9 tahun di Indonesia pada 2021 mencapai 44 juta jiwa.[1]  Dari angka tersebut bisa disimpulkan bahwa konsumen lagu anak Indonesia masih banyak. Terlebih agar anak mendapatkan informasi yang sesuai dengan tahap perkembangannya.

Ardipal dalam jurnalnya juga menuliskan bahwa faktor utama dari hilangnya popularitas lagu anak terletak pada media massa dan produsen musik. Masalah dari media massa dan produsen musik berkaitan. Jika media massa tidak memberi lampu sorot pada perilisan lagu anak, produsen musik akan berkurang.

Karina Adistiana pendiri Yayasan Peduli Musik Anak dalam artikel Mengapa Kini Lagu Anak Makin Langka? mengatakan, sebetulnya masih banyak orang yang peduli untuk membuat lagu anak yang memiliki manfaat baik untuk tumbuh kembang anak. Namun, masyarakat masih kurang memberi ruang buat musik anak di dalam industri musik Indonesia.

Terlebih TV saat ini jarang punya acara musik yang menampilkan penyanyi cilik bernyanyi lagu anak-anak. Malah memberi menormalisasi fenomena ini, seperti yang terjadi pada Farel yang bernyanyi lagu orang dewasa.

Pengamat musik Adib Hidayat dalam artikel Lagu Anak-Anak Hilang di Telan Zaman, Apa yang Salah? mengungkap, berkurangnya pemberitaan musik anak membuat produser musik memilih membuat lagu yang sesuai dengan tren yang berkembang.

Namun, keberadaan musik anak mulai hilang, perkembangan teknologi bisa menjadi solusi krisis ini. Orang bisa mengunggah musik anak pada platform media sosial seperti Tik Tok, Instagram, dan Youtube.

Kemudahan teknologi internet bisa menaikan pamor lagu anak, dan bisa menjadi populer di masyarakat. Seperti yang sudah terjadi, jika seseorang menjadi viral di media sosial maka besar kemungkinan dipanggil tampil di televisi. Masyarakat kembali menjadi sadar akan kehadiran lagu anak dan mempunyai pilihan lagu yang lebih sesuai untuk anak-anak. Sehingga harapan masa jaya lagu anak tahun 1990-an dapat kembali lagi di industri musik Indonesia.

Theresia Amadea, reporter yang bermimpi hidup dengan tulisannya dan hidup sederhana dengan circle pilihannya. Menyukai budaya Korea dan Jepang dan bermimpi kuliah lanjut ke Eropa.