Women Lead Pendidikan Seks
June 21, 2017

'Expecto Patronum', Cahaya dalam Depresi

Gangguan kesehatan jiwa terjadi dalam pikiran si penderita, tapi seperti kata Dumbledore, itu bukan berarti tidak nyata.

by Hetih Rusli
Issues // Politics and Society
Share:
Seorang teman mengirim pesan pendek kepada saya setelah saya sering menulis pengakuan di media sosial soal gangguan kecemasan dan depresi yang saya derita. Dia bilang, “Kamu membuat dirimu terlihat lemah. Kenapa mesti ngaku depresi sih? Nanti kamu kelihatan nggak kompeten dan nggak waras. Mencari perhatian siapa sih?”

Stigma semacam itulah yang membuat mereka yang mengalami depresi makin tertekan. Kita mengalami depresi bukan karena kita lemah, tapi karena kita sudah bertahan begitu lama menanggung beban.

Bagi orang yang tidak pernah mengalami depresi, memang sulit memahami apa yang ada di dalam benak penderitanya. Berusaha menjelaskan depresi kepada orang yang tak pernah mengalaminya, seperti berusaha menjelaskan warna pada orang buta.

Salah satu bacaan untuk memahami seperti apa hantu bernama depresi itu adalah melalui satu seri buku terbaik abad ini: Harry Potter. Penulisnya, J.K. Rowling, yang pernah mengalami depresi, membuat metafora yang sangat baik tentang hal itu, yaitu dementor, makhluk penjaga Penjara Azkaban. Kini, coba bayangkan dementor sebagai depresi. Dia menyedot habis kebahagiaanmu. Sayangnya, dalam dunia nyata kita tidak bisa mengulurkan tongkat sihir, menyerukan “Expecto Patronum!” agar Patronus atau makhluk pelindung datang menjaga kita dari “isapan” dementor.

Harry Potter tidak pernah terang-terang dijelaskan menderita depresi. Namun ada dialog yang amat saya sukai ketika Harry “mati” lalu bertemu kembali dengan Dumbledore dalam film Harry Potter and the Deathly Hallows bagian 2, dan Harry bertanya, apakah dia harus kembali hidup.




Harry Potter: I have to go back, haven’t I?

Albus Dumbledore: Oh, that’s up to you.

Harry Potter: I have a choice?

Albus Dumbledore: Oh, yes. We’re in King’s Cross, you say? I think if you so desired, you’d be able to board a train.

Harry Potter: And where would it take me?

Albus Dumbledore: On.

Harry Potter: Voldemort has the Elder Wand.

Albus Dumbledore: True.

Harry Potter: And the snake’s still alive.

Albus Dumbledore: Yes.

Harry Potter: And I’ve nothing to kill it with.

Albus Dumbledore: “Help would always be given at Hogwarts to those who deserve it.” Do not pity the dead, Harry. Pity the living. And above all, those who live without love.

Harry Potter: Professor? Is this all real? Or is it just happening inside my head?

Albus Dumbledore: Of course it’s happening inside your head, Harry. Why should that mean that it’s not real?

“Tentu saja ini semua terjadi di kepalamu, Harry, tapi ini bukan berarti tidak nyata, kan?”

Gangguan kesehatan jiwa terjadi dalam pikiran si penderita, tapi seperti kata Dumbledore, itu bukan berarti tidak nyata. Penyakit itu nyata. Depresi, gangguan kecemasan, bipolar, PTSD (Kelainan Stres Pasca Trauma), skizofrenia, dan lain-lain itu nyata. Penderita gangguan kesehatan jiwa harus menghadapi “Voldermort” sepanjang penyakitnya.

Bantuan selalu ada di Hogwarts untuk mereka yang mereka mau mencari dan layak mendapatkannya. Itulah yang harus dicari oleh mereka yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Kita harus menemukan Hogwarts kita sendiri. Ada orang yang mendapatkan Hogwarts-nya melalui terapi ke dokter kesehatan jiwa/psikiater, ada yang bisa merasa “dibersihkan” dengan meditasi dan yoga, ada yang cukup dengan konsultasi dengan psikolog. Hogwarts saya adalah psikiater. Patronus saya adalah konsultasi dengan psikiater dibantu obat antidepresan dan anticemas.

Saya berterus terang dan terbuka mengakui bahwa saya menderita gangguan kecemasan dan depresi. Tapi sejujurnya, tidak mudah bagi saya untuk mengakui bahwa saya harus ke dokter kesehatan jiwa. Saya mulai berobat sejak 2012, dan selama bertahun-tahun saya diam dalam penderitaan penyakit saya sendirian.

Dalam dua tahun terakhir saya lebih terbuka berbicara kepada teman-teman dan keluarga tentang bagaimana berkonsultasi dengan psikiater membantu saya. Meskipun saya tahu obat membantu, sesekali saya masih merasa “malu” karena harus minum obat untuk bisa berfungsi normal dalam hidup. Namun, ajaibnya, sejak saya berterus terang, saya malah bisa lebih produktif. Saya bisa bekerja lebih baik dan menjalani hidup yang lebih berkualitas.

Setelah saya membuka diri, beberapa teman juga ikut terbuka dengan menyatakan bahwa dia juga mengalami perjuangan yang sama. Ada pula yang bercerita tentang depresinya, perjuangannya, dan obat-obatan yang harus diminumnya. Kami sakit bukan karena ingin menarik perhatian atau kurang bersyukur, kami sakit karena memang ada yang salah dalam sistem otak dan kejiwaan kami, dan itu bisa disembuhkan.

Hidup dengan penyakit kesehatan jiwa -- depresi, gangguan cemas, dll -- adalah tentang mengatur keseimbangan. Prozac, Zoloft, Cipralex, atau selusin obat antidepresan apa pun tidak akan membuat saya sembuh, jika saya juga tidak mau berusaha menyeimbangkan fisik dan pikiran. Dokter saya pernah bilang begini, “Obat hanya membantu, tapi kamu lah yang membuat dirimu untuk sembuh. Kalau kamu begini terus, kita bisa menghabiskan seumur hidup untuk terapi.”

Ada kalanya hal-hal seperti: “Tidur teratur pada jam normal; makan makanan sehat, sayuran dan buah; bangun pagi dan bergerak; olahraga; keluar ruangan agar kena sinar matahari; dan mandi” adalah tindakan yang sangat sulit buat saya, padahal itu adalah bagian dari keseimbangan fisik. Bernalar dengan otakmu saat dia mulai kehilangan nalarnya. Ketika monster datang ke dalam pikiranmu, tetaplah berani. Dan jika ada yang harus kau benci, bencilah pada depresimu. Bukan benci pada dirimu sendiri.

Depresi adalah perjuangan panjang menghadapi monster yang terpenjara dalam ruangan gelap di sisi terdalam pikiran kita. Berbagi cerita dan pengalaman adalah suatu cara agar kita tahu bahwa kita tidak sendirian di ruangan itu. Dan, dalam ruang gelap depresi itu, saya selalu mengingat kata-kata Albus Dumbledore dari Harry Potter dan Tawanan Azkaban:

“Kebahagiaan dapat ditemukan, bahkan di masa-masa terkelam sekalipun, hanya jika seseorang ingat untuk menyalakan cahaya.”
 
Hetih Rusli adalah editor yang bahagia dengan pekerjaannya sebagai pembaca buku dan penerjemah. Di waktu luangnya menghabiskan waktu menonton serial TV dan film bersama kucing-kucing kesayangannya. Bisa di-follow di Twitter dan Instagram: @hetih.