Women Lead Pendidikan Seks
December 18, 2017

Kultur Misogini dalam Kelompok LGBT

Misogini tidak hanya dilanggengkan oleh laki-laki heteroseksual, tapi juga laki-laki gay.

by Fajar Zakhri
Issues // Gender and Sexuality
Share:

“But honey, you look like a lesbian!”

Dulu saya hobi sekali menonton program yang membahas gaya berpakaian aktor dan aktris Hollywood, dan saya ingat sedang menonton acara semacam itu ketika seorang pengamat mode melontarkan kalimat di atas. Saya tahu bahwa dia adalah seorang laki-laki gay dan di kala itu—saat di mana bisa menemukan secercah bentuk ke-gay-an di televisi terasa seperti sebuah berkah—saya antusias melihat kehadirannya. Namun komentarnya tentang seorang aktris (yang kini saya sudah lupa siapa) membuat saya berpikir: Apa maksudnya dia berbicara seperti itu? Memangnya kenapa kalau si aktris terlihat seperti lesbian?

Di kemudian hari saya belajar bahwa yang ia maksud sebenarnya dengan “terlihat seperti lesbian” adalah “terlihat lusuh” atau “tidak menarik.” Rupanya ini adalah bentuk stereotip terhadap para perempuan lesbian yang acapkali dianggap urakan dan tidak modis, tidak seperti para laki-laki gay yang rela menghabiskan uang banyak atau mengerahkan berbagai cara untuk terlihat menarik. Padahal, pada kenyataannya banyak teman lesbian saya yang suka bersolek dan sangat peduli dengan penampilan mereka. Banyak juga teman gay saya yang cuek dengan penampilannya dan bebas melenggang pakai sandal jepit ke mana-mana.

Bertahun-tahun kemudian, saat saya menginjak usia dewasa dan menemukan identitas saya sebagai laki-laki gay yang feminin, saya datang ke sebuah acara dengan memakai sepotong kain. Di sana, saya diperkenalkan dengan pacar teman saya yang lesbian. Kebetulan si pacar ini berekspresi tomboi. Usut punya usut, si pacar—yang sekarang sudah menjadi mantan—pernah berkomentar tentang saya: “Itu si Fajar cowok atau cewek sih? Kalau cowok kok pakai kain kayak begitu?” begitu kira-kira ucapannya. Saya paham bahwa cara saya mengekspresikan diri aneh untuk kebanyakan orang, namun ucapannya tetap membuat saya kecewa: sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang sama, kenapa dia bisa berpikiran seperti itu? Bukankah sebagai gay dan lesbian kami sudah cukup terdiskriminasi dan teropresi dalam struktur sosial dan budaya? Mengapa malah saling mendiskriminasi dan mengopresi?

Pikiran-pikiran tersebut kerap menghantui saya sejak saat itu. Puncaknya adalah beberapa bulan lalu. Saya naksir seseorang. Pengalaman telah membuktikan bahwa sekedar memiliki ketertarikan bukanlah hal yang cukup di kalangan laki-laki gay. Bibit, bebet dan bobot pun menjadi hal yang sangat penting. Hampir tidak ada bedanya dengan dinamika yang kerap ditemui dalam relasi heteroseksual.

Saya, yang feminin, bertubuh besar dan terbuka sebagai gay, naksir seorang laki-laki maskulin, bertubuh proporsional dan belum sepenuhnya terbuka sebagai gay. Karena sebelumnya saya sudah berkali-kali gagal saat mencoba membangun relasi dengan laki-laki lain karena alasan penampilan dan ekspresi diri saya, saya jadi pesimis akut. Saya jadi misuh-misuh sendiri dan terus menerus berpikir, “Memang kami banyak kecocokan, namun laki-laki seperti dia mana mau dengan yang seperti saya?”.

Di saat yang sama, majalah gay yang berbasis di Inggris, Attitude, mengangkat hasil survei mereka terhadap 5.000 responden selama Oktober 2017 dan menemukan bahwa 71 persen laki-laki gay di Inggris tidak berminat mengencani laki-laki gay lain yang feminin. Sejak kapan menjadi feminin adalah hal yang buruk, negatif dan menghilangkan hasrat?

Tiba-tiba saya teringat kalimat aktris Charlotte Gainsbourg di film The Cement Garden—yang kemudian digunakan di lagu What It Feels Like for a Girl milik Madonna:

“Girls can wear jeans / And cut their hair short / Wear shirts and boots / ‘cause it’s OK to be a boy / But for a boy to look like a girl is degrading / ‘cause you think that being a girl is degrading / But secretly you’d love to know what it’s like, wouldn’t you?”

(“Perempuan boleh memakai celana jins / Memotong rambut jadi pendek / Memakai kaus dan sepatu bot / Karena menjadi laki-laki bukan masalah / Namun laki-laki yang terlihat seperti perempuan itu hina / Karena kamu berpikir menjadi perempuan itu hina / Namun sebenarnya kamu ingin tahu rasanya juga, bukan?”)

Saya teringat kembali betapa seringnya ibu saya menghardik saya dengan kalimat seperti “Mulut kamu seperti perempuan!”, “Kamu jangan seperti perempuan!” bahkan “Mama salah mendidik kamu makanya kamu jadi seperti perempuan!”, yang biasanya saya balas dengan, “Apa salahnya menjadi seperti perempuan? Bukannya Mama juga perempuan?”. Seperti layaknya orang tua, dia menampik pertanyaan-pertanyaan balikan dari saya, dan biasanya menjawab dengan, “Mama memang perempuan, tapi perempuan yang kuat.” Lalu, apa itu artinya perempuan lemah secara lahiriah, maka dari itu menjadi seperti perempuan diartikan sebagai menjadi lemah? Saya selalu dengan keras menampik pemikiran semacam itu. Semua orang bisa dan berhak menjadi kuat atau lemah. Namun, sayangnya pemikiran semacam itu sudah kadung mendarah daging dalam diri banyak orang—dan ironisnya dalam kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), terutama laki-laki gay.

Menjadi gay bukan berarti bebas dari misogini

Kata “misogini” mungkin masih dianggap asing atau “terlalu akademis” bagi masyarakat awam. Namun saya sungguh berharap semakin banyak orang yang mengetahui dan mengerti arti kata tersebut (bersamaan dengan kata-kata seperti “patriarki” atau “heteronormativitas”—namun itu adalah cerita lain untuk waktu lain).

Secara umum, misogini didefinisikan sebagai kebencian atau tidak suka terhadap perempuan, dan dapat diwujudkan dalam berbagai cara: diskriminasi seksual, fitnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual perempuan. Menurut saya pribadi, rasa benci atau tidak suka ini tidak melulu dimanifestasikan terhadap mereka yang secara fisik perempuan, namun juga atribut-atribut yang diasosiasikan dengan perempuan atau keperempuanan, mulai dari gaya berbicara, bentuk dan bahasa tubuh, selera berpakaian hingga cara berjalan. Ini pun juga berimbas ke teman-teman waria atau transpuan.

Seorang teman saya yang crossdresser (laki-laki yang hobi berpenampilan seperti perempuan) pernah bercerita bahwa dia ditolak saat ingin memasuki sebuah klub gay dengan alasan bahwa penampilannya tidak sesuai dengan kode berpakaian di klub tersebut. Dia juga bercerita bahwa para pengunjung klub tersebut dengan santainya kerap memegang bagian-bagian tubuh para penampil drag queen tanpa izin. Saya miris sekaligus geram mendengar ceritanya, karena bagaimana mungkin sebuah klub gay yang seharusnya menjadi tempat aman untuk mengekspresikan diri bisa melanggengkan tindakan diskriminatif dan misoginis seperti itu?

Saat saya membaca hasil survei majalah Attitude tersebut, saya juga miris sekaligus geram membaca komentar-komentar yang muncul di Facebook. Kebanyakan laki-laki gay yang berkomentar malah menunjukkan sikap defensif seraya mengucapkan hal-hal seperti, “Saya gay, itu artinya saya menyukai laki-laki tulen. Kalau saya menyukai laki-laki ngondek (feminin), mendingan sekalian sama perempuan saja!”

Komentar seperti itu tidak muncul sekali atau dua kali, namun puluhan bahkan mungkin ratusan kali. Saya berpikir bahwa jika pandangan seperti itu masih berkembang luas, tidak mengherankan jika dikotomi top versus bottom atau masc versus femme pun masih bercorak biner sekali di kalangan gay. Bagi para laki-laki gay yang melakukan seks anal, mereka yang menerima penetrasi atau istilahnya bottoming pun kerap menjadi bahan olok-olok atau bahkan dipermalukan, apalagi jika penampilan atau ekspresi mereka maskulin. Entah berapa kali saya menemukan komentar seperti, “Badan kotak-kotak kok bottom!” atau “Cakep sih, tapi ngondek!”.

Itu baru dalam dinamika kultur gay. Perlakuan laki-laki gay terhadap para perempuan—baik perempuan heteroseksual, lesbian atau trans—bisa lebih ekstrem lagi. Meskipun banyak laki-laki gay yang mengagungkan para figur publik perempuan atau drag queen, nyatanya saat dihadapkan dengan para perempuan dalam kehidupan sehari-hari, perilaku misoginis tetap saja muncul.

Berapa banyak laki-laki gay yang dengan santai memegang pantat atau payudara teman-teman perempuan mereka dengan dalih “kan gue nggak ngaceng sama lo!? Berapa banyak laki-laki gay yang bersedia membaur dan berteman dengan para perempuan lesbian dan trans? Sepanjang observasi dan pengalaman saya, dalam kelompok payung seperti LGBT, segregasi antara setiap alfabet di situ masih begitu kuat dan mentalitas berkelompok cenderung lebih kuat dan tajam di antara laki-laki gay.

Mengapa begitu? Saya berpendapat bahwa laki-laki secara umum diajarkan—dan didorong—untuk mendominasi, dan secara sadar atau tidak sadar mereka mengambil tempat atau posisi yang memungkinkan munculnya dominasi tersebut. Hasrat ini mungkin bahkan bisa lebih kuat di kalangan laki-laki gay, di mana masih ada pemikiran bahwa menjadi gay adalah hal yang salah, memalukan atau berarti bahwa mereka tidak cukup laki-laki. Ini kemudian mendorong mereka untuk melakukan kompensasi pemikiran bawaan tersebut dalam berbagai cara, mulai dari mengadopsi cara bertingkah laku tertentu atau membentuk tubuh sedemikian rupa, semua demi tujuan agar mereka diterima masyarakat umum dan dianggap cukup laki-laki.

Di sisi lain, hasrat ini pun tetap muncul di kalangan laki-laki gay yang feminin dan bangga akan femininitasnya. Kembali lagi ke contoh pengamat mode di atas, kini saya paham bahwa mungkin saja dia merasa justru karena femininitas itu superior—atas asosiasinya dengan kualitas yang lebih bersih, terpoles dan prestisius—para perempuan yang tidak mampu menampilkan kualitas-kualitas tersebut memalukan atau bahkan dianggap gagal dalam mengasumsikan keperempuanannya.

Sering kali tanpa kita sadari model diskriminasi dan opresi yang kita terima dari kultur umum kemudian direka ulang dan diimplementasikan dalam subkultur kelompok LGBT. Sungguh ironis bahwa kelompok yang logikanya mampu mendobrak lingkaran diskriminasi dan opresi tersebut malah memilih agar semua itu langgeng. Sebagian karena ingin merasa tetap menjadi bagian dari sesuatu yang “normal”, sebagian berpikir bahwa “memang sudah begitu adanya” dan sebagian lain memang tidak tahu caranya.

Tulisan ini bukan tentang kompetisi soal siapa yang lebih teropresi. Contoh-contoh pengalaman saya dan orang-orang lain di atas cukup membuktikan bahwa misogini bukan hanya dilanggengkan oleh laki-laki gay, tapi siapa saja, bahkan perempuan. Namun dalam kaitannya dengan identitas saya pribadi dan lingkaran pergaulan saya, ini adalah wacana yang sangat penting sekali untuk diangkat: sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang mengenali bentuk-bentuk diskriminasi dan wajah-wajah opresi, kita juga harus menjadi bagian dari solusi. Ada begitu banyak cara untuk hidup, namun bahwa rasa saling menghormati perlu berdiri di atas segalanya. Dari situ, baru keadilan bisa muncul.

Fajar Zakhri adalah seorang penulis yang kerap ingin keluar dari berbagai narasi kehidupan yang membelenggu. Ia kerap merasa setidaknya sepuluh tahun lebih muda daripada usia yang sebenarnya, dan bahkan terkadang merasa bahwa dirinya adalah 100 persen hantu.