Di usia 26 tahun ini, hubungan percintaan sudah mencapai fase khas manusia dewasa. Tidak seperti cinta monyet waktu SMA, kini bahasannya adalah, mau dibawa ke mana masa depan hubungan kita? Bagi saya yang masih memandang cinta dengan cara konservatif, menikahlah jawabannya. Mungkin kalau saya bukan seorang gadis berkerudung dan beragama Islam serta tidak tinggal di Indonesia, cita-cita saya bisa jadi berbeda.
Awalnya saya didoktrin dengan cara yang sama seperti umumnya perempuan lainnya. Bekerja, jatuh cinta, menikah, lalu membesarkan anak-anak. Menua bersama. Saya masih ingat wejangan ibu saya, jadilah perempuan pintar tapi jangan melebihi pintarnya suamimu. Lelaki itu egonya tinggi. Dia tidak suka merasa kalah. Meski sebenarnya ibu saya pintar sekali dan kalian mungkin pernah melihatnya di televisi saat dia menjadi MC acara-acara kenegaraan. Tetapi yang mengkritik kepintarannya bukanlah keluarga kami, melainkan orang lain. Para ibu atau bapak lain yang entah kenapa benci sekali melihat ibu saya begitu cemerlang.
Saya juga diajari agar menjadi perempuan karier. Sekolah tinggi. Pokoknya membuat bangga orang tua. Tetapi sekali lagi saya ditekankan untuk tidak bergaji lebih tinggi daripada suami. Surga saya katanya di telapak kaki suami. Seakan suami itu memiliki takhta di puncak gunung dan saya di bawahnya.
Saya diajari untuk memasak makanan dan menyajikan secara spesial untuk suami. Dia harus punya peralatan makan sendiri. Dia tidak boleh melihat kasur kami tidak rapi. Suami saya nanti haruslah melihat saya cantik, pintar, bersahaja, dan sehat. Lelaki tidak suka perempuan penyakitan, katanya. Lelaki maunya diurusi bukan mengurusi, katanya lagi.
Baca juga: Menikah: Menghidupkan atau Mematikan Diri Perempuan?
Namun saya cukup bengal. Sejak kecil saya selalu menolak petuah-petuah lingkungan tentang bagaimana caranya menjadi perempuan. Saya bertekad memiliki suami yang memahami saya. Itu sudah cita-cita sejak muda belia. Ibu saya bilang, mana ada lelaki seperti itu. Begitu pula orang-orang. Walaupun demikian, dengan berjalannya waktu, doa saya dikabulkan Tuhan. Saya menemukan suami impian saya. Seorang lelaki feminis. Apa kalian percaya?
Dia bilang pada saya, tak masalah siapa yang bergaji lebih tinggi. Dia merawat saya ketika saya sakit. Tak mau dia bila saya melayani makan minumnya. Dia memperlakukan saya selayaknya manusia sekaligus rekan yang setara. Tak ada kata-kata bahwa saya harus bekerja sekaligus membereskan rumah dengan sempurna. Tahu dia bahwa saya menderita skoliosis dan mudah merasa capek sehingga dia yang membawa barang-barang. Bukan karena saya perempuan dan dia laki-laki. Tetapi karena dia memahami kondisi saya.
Sikapnya yang justru memanusiawikan saya itu menjadi pertanyaan bagi lingkungan. Kata mereka, dia tipe suami takut istri. Mereka juga bilang saya terlalu mengontrol lelaki. Ada pula celoteh usil bahwa saya lebih mendominasi, bahkan di atas ranjang. Oh, memangnya ranjang tidak boleh untuk perempuan? Jadi istri hanya ada untuk memuaskan suami? Istri tak boleh punya fantasi? Istri haruslah pasif seperti bantal dan guling, selimut, dan spring bed? Habis kata-kata saya untuk bicara. Bingung saya dengan pola pikir mereka. Bahkan saya diceramahi untuk tidak menunda anak. Memiliki anak adalah hadiah untuk suami, katanya.
Baca juga: Ayah Saya Ternyata Feminis
Mereka kira yang senang punya anak hanya suami? Dikira saya ini tidak suka? Mereka kira saya menikah hanya untuk memberi anak kepada seseorang secara sukarela? Wah, wah... padahal saya bermimpi menjadi seorang ibu. Tetapi hamil dan melahirkannya saya hanya sebatas kewajiban seorang istri pada suami. Padahal saya menunda bukan karena tidak ingin punya anak. Saya hanya ingin menabung agar dapat memberikan yang terbaik untuk sang buah hati kelak.
Tak habis kebingungan saya terhadap apa kata orang tentang hubungan kami. Ada pula kritikan terhadap pihak lelaki. Harus kaya raya agar mampu menghidupi si belahan jiwa. Harus memiliki rumah dan kendaraan agar tak dipandang sebelah mata. Apa menikah selalu soal harta? Justru dengan membebankan kewajiban mencari nafkah sekaligus mencukupi kebutuhan kepada lelaki, bukankah itu sama saja bertolak belakang dengan prinsip kesetaraan? Bagi kami, menikah adalah soal menjalani pahit manis berdua. Harta dunia dikumpulkan berdua. Tetapi budaya kita mendorong lelaki harus berpunya sementara si perempuan dibiarkan tak punya apa-apa.
Tentu saja kami harus menutup kuping rapat-rapat dan tak peduli apa kata orang-orang. Walau kadang lelah dan terpaksa menarik diri dari dunia agar tidak mendengar kata-kata dari antah berantah, kami tetap berusaha memegang apa yang menjadi prinsip kami. Bahwa lelaki tak harus diambilkan nasinya, dipisahkan lauk pauknya, dan masuk kamar tinggal merebahkan diri di kasur. Bahwa perempuan bukan pelayan pribadinya sekaligus pajangan yang harus tunduk patuh manis dalam bertingkah laku.
Kami menjalani hubungan ini sebagaimana kami mau.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments