Apakah agama memberikan ruang untuk bertanya?
Bagi sebagian kalangan, segala hal terkait agama adalah sesuatu yang tabu untuk didiskusikan. Pertanyaan dibungkam dan pikiran kritis cenderung diharamkan. Padahal dalam membaca kitab suci sebagai pegangan utama agama, beragam tafsir selalu mengemuka. Namun penafsiran yang dominan cenderung diposisikan sebagai satu-satunya kebenaran.
“Tafsir Rupa dan Gerak Bukan Perawan Maria”—berlangsung di Bandung Creative Hub pada 8-16 September 2018--adalah suatu upaya para perempuan seniman untuk mengekspresikan pemikiran, perasaan, dan pengalaman spiritual serta keberagamaan mereka ke dalam karya seni.
Perempuan-perempuan seniman ini memiliki latar belakang agama yang berbeda, tapi seiman dalam keberanian mereka untuk mengajukan pertanyaan terhadap hal-hal yang bagi sebagian orang tabu. Dan kita tahu, perempuan jarang memiliki kesempatan untuk menafsirkan dirinya sendiri di dalam ruang-ruang kehidupan beragama dan spiritualitas. Kita tahu dari waktu ke waktu, nyaris seluruh figur terpenting dalam organisasi keagamaan adalah lelaki. Dan di dalam tradisi yang patriarkal itu, suara perempuan kerap dibungkam. Perempuan lebih sering dianggap tak berhak menafsir ulang narasi-narasi keagamaan karena sulit menandingi capaian intelektualitas dan spiritualitas lelaki.
Bukan Perawan Maria (Pabrikultur 2017) adalah kumpulan 19 cerita yang ditulis Feby Indirani, yang mencoba mendekati persoalan spiritualitas dan keberagamaan di Indonesia—khususnya Islam-- dengan humor dan empati. Cerita-cerita itu berlandaskan pada keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah melarang kita bertanya. Buku ini adalah bagian dari Relaksasi Beragama (Relax, It’s Just Religion), suatu gerakan yang mengajak orang berpikiran terbuka dan bisa menyikapi agama dengan rasa humor dan empati pada orang yang berbeda penafsiran.
Kami, seluruh individu yang terlibat di dalam gerakan ini, percaya sastra dan seni bisa menjadi jalan untuk mendekati persoalan keberagamaan dan bisa melembutkan ketegangan karena berbeda penafsiran. Kita bisa tertawa bersama, menertawakan diri sendiri, karena tak perlu berdebat tentang siapa yang benar dan salah. Karena siapa tahu, kita toh bisa sama-sama benar.
Enam perempuan perupa lintas disiplin--Arum Tresnaningtyas, AY Sekar F, Galuh Pangestri, Maharani Mancanegara, Maradita Sutantio, dan Rega Ayundya Putri--serta sebuah kolektif yang terdiri dari sembilan perempuan, Fat Velvet, diajak menanggapi masing-masing satu cerpen dari buku Feby dalam bentuk karya. Kegiatan ini dapat terselenggara berkat dana hibah Cipta Media Ekspresi dari Ford Foundation dan Wikimedia Indonesia yang dikhususkan untuk perempuan seniman Indonesia. Selain diadakan di Bandung, Jawa Barat, kegiatan serupa juga akan berlangsung di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Dua kota ini pernah masuk ke dalam daftar kota paling intoleran versi Setara Institute.
Para perempuan seniman ini menjadikan cerita-cerita dalam buku Bukan Perawan Maria sebagai titik berangkat bertualang menggali berbagai kemungkinan, kegelisahan, dan gagasan. Sebagai pemantik yang menyalakan api untuk berkarya dengan medium yang mereka geluti.
Sebagai cermin yang memantulkan pertanyaan-pertanyaan mereka sendiri terhadap segalanya, diri, dunia, dan Sang Pencipta. Karya-karya mereka bisa diselami secara utuh dan terpisah sama sekali dari cerita yang mereka respons dan adaptasi, namun tetap dapat juga dinikmati bersama teks cerita sebagai suatu seni kolaborasi yang saling mengayakan satu sama lain.
Beragam tanya dalam karya
Seniman Arum Tresnaningtyas bergerak dengan fotografi mengangkat fenomena swafoto, media sosial, dan kebutuhan untuk eksis di tengah kemungkinan yang paling kecil sekalipun. Menanggapi Perempuan yang Kehilangan Wajahnya--kisah sureal seorang perempuan yang kehilangan hidung lalu bagian-bagian wajah lain secara bertahap--Arum memotret tiga tahap transformasi berhijab yang dicetak dalam lentikular tiga dimensi. Jika foto tersebut dilihat dari sisi-sisi berbeda, kita menemukan gambar yang berbeda-beda pula.
99 After Names adalah judul karya perupa AY Sekar F yang menanggapi Typo, cerita mengenai Aini yang pada satu titik dalam kehidupannya sebagai istri dan ibu, selalu salah dalam menulis namanya sendiri dan hanya bisa benar melakukannya saat menggunakan atribusi sebagai
“Nyonya...” atau “Mamanya...”. Sekar menyebar angket kepada sejumlah responden. Ia mengajak mereka menuliskan nama panggilan serta sifat yang lekat dengan mereka. Nama-nama tersebut kemudian disusun seperti hiasan kaligrafi Arab serupa Asmaul Husna atau 99 nama Tuhan. To know your God, you must know yourself first, tulis Sekar pada angket tersebut.
Cerpen Bukan Perawan Maria ditanggapi oleh penari Galuh Pangestri. Pertanyaan mengenai sosok perempuan ideal yang menjadi acuan, kesucian, Tuhan yang identik dengan laki-laki, pilihan untuk mengandung dan melahirkan, terpapar dalam koreografi yang ditampilkannya. Teks religius yang diproyeksikan ke tubuhnya kontras dengan kalimat-kalimat lugas yang diucapkannya secara verbal. Saat ini Galuh sendiri sedang mengandung. Judul “Maria” menunjukkan benang merah antara dirinya dengan Bunda Maria atau Siti Maryam dan tokoh Maria dalam cerpen.
Perupa Maharani Mancanegara menanggapi Iblis Pensiun Dini. Berkisah tentang Lucifer sang iblis senior yang mengajukan hasrat pensiun karena merasa pekerjaannya sudah jadi membosankan, cerpen itu menarik perhatiannya untuk bermain-main dengan teks. Mengangkat konsep propaganda, di permukaan neon box ala reklame, ia menyusun kata-kata yang membuat pembacanya harus berpikir dua kali. Judul karyanya adalah “Rep.ar.Tee” yang berarti quick speech (pidato cepat).
Pertemuan pengalaman keberagamaan yang berbeda terjadi misalnya pada tafsir cerpen Ruang Tunggu—kisah pengebom bunuh diri yang berharap bertemu bidadari namun terdampar di suatu tempat asing hingga waktu yang tak terbatas. Konsep ruang tunggu dalam karya perupa dan peneliti Maradita Sutantio itu berbeda dengan konsep ruang tunggu dalam cerpen Feby yang hidup dalam tradisi Islam. Bagi Maradita yang tumbuh di tengah keluarga Budha dan Nasrani, ruang tunggu adalah realitas yang dijalaninya sehari-hari sebelum memasuki kehidupan selanjutnya.
“Kalau kita mau tidur dan hampir pulas, yang paling terdengar itu suara detik jam dan detak jantung kita sendiri,” kata Maradita ketika menjelaskan karyanya yang berjudul Selamat Datang di Ruang Tunggu. Di dalam karyanya, ia membangun suasana imaji yang hening dan beku tempat setiap orang seperti hanya berteman dengan detik jam dan detak jantungnya sendiri.
Perupa Rega Ayundya Putri menafsirkan cerpen Ana Al Hubb—kisah perjumpaan spiritual antara tokoh “aku” yang berlatar akademis dan sosok guru karismatik yang membuatnya menanggalkan logika-- sebagai dunia mikrokosmos dan makrokosmos yang selalu ia takjubi. Pada karya bertajuk Dalam Ruang dan Waktunya, Rega mencetak dua jenis motif berbeda pada dua lembar kain, kemudian menumpuknya sebagai serangkai motif baru yang soliter sekaligus bertaut. Ia mengeksplorasi dan mengungkapkan berbagai pertanyaannya mengenai semesta dan penyatuan spiritual di dalam karyanya.
Kolektif perempuan Fat Velvet memilih cerpen Percakapan Sepasang Kawan yang bertutur tentang dilema sang tokoh yang ingin bermasturbasi tapi khawatir berdosa pada Tuhan. Tokoh laki-laki dalam cerpen ini menjelma menjadi sosok perempuan pada pertunjukan bertajuk Manifestasi Senyap yang mereka tampilkan. Dalam karya yang dibawakan sembilan penampil, mereka mengungkapkan gejolak yang dialami perempuan saat menghadapi dorongan birahi.
“Kalau di laki-laki kan ada manifestasi fisiknya melalui mimpi basah. Lalu bagaimana dengan perempuan?” ungkap Ayda Khadiva dari Fat Velvet. Kolektif yang dibentuk pada 2016 itu aktif mengangkat isu-isu kemanusiaan dari sudut pandang perempuan dan menyampaikan pesan-pesannya melalui seni dan karya kreatif.
Para perempuan seniman ini menghadirkan pengalaman spiritualitas dan keberagamaan yang selama ini jarang hadir di panggung wacana publik. Mereka mengungkapkan pertanyaan dan narasi yang berbeda dari narasi arus utama keberagamaan.
“Tafsir Rupa dan Gerak Bukan Perawan Maria” dapat menjadi ruang bagi semua orang--perempuan, laki-laki atau mereka yang tidak mendefinisikan gender mereka--untuk menafsirkan dirinya sendiri di dalam ruang-ruang kehidupan beragama dan spiritualitas. Untuk memeluk kegelisahan akan pertanyaan-pertanyaan yang kerap tanpa jawab. Untuk merangkul perbedaan dan ragam penafsiran ajaran agama tanpa tengkar dan meninggikan suara.
Untuk merayakan keberanian kita bertanya, karena pertanyaan yang jujur akan mengantarkan kita pada kelapangan dan kerendahan hati.
Feby Indirani adalah penulis Bukan Perawan Maria (Pabrikultur 2017), pengagas dan pengarah acara Tafsir Rupa dan Gerak Bukan Perawan Maria 2018.
Sundea adalah penulis lepas yang senang menerjemahkan renjana di mata siapa saja dalam bentuk cerita. Ratusan tulisannya bisa dinikmati di salamatahari.com. Ia adalah kurator ‘Tafsir Rupa dan Gerak Bukan Perawan Maria 2018’.
Comments