Women Lead Pendidikan Seks
February 18, 2022

Larangan Berjilbab India, Bukti Tubuh Perempuan Masih Terjajah

Maraknya larangan berjilbab di India memperlihatkan dengan gamblang bagaimana tubuh perempuan direpresi.

by Jasmine Floretta V.D., Reporter
Issues
Larangan Berhijab India, Bukti Tubuh Perempuan Masih Terjajah
Share:

Muskan Khan, mahasiswa India belakangan tengah jadi buah bibir dunia. Sosoknya hilir mudik di media sosial dan berita internasional sebagai simbol perlawanan di negara bagian Karnataka, India. Daerah ini memang diketahui cukup ketat mengatur pelarangan memakai pakaian Islami di sekolah dan perguruan tinggi.

Dilansir dari CNN, perlawanan Khan sendiri dimulai saat ia menyerahkan tugas kuliah di Kota Mandya. Masih di lingkungan kampus, ia justru didatangi sekelompok pria Hindu yang mengenakan syal saffron, warna Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di India.

"Mereka tidak mengizinkan saya masuk ke dalam, hanya karena saya membawa burqa," tuturnya kepada saluran TV lokal NDTV.

Muskan Khan nyatanya tidak sendiri. Dilansir dari Al Jazeera, (15/2) lalu, siswa perempuan Muslim yang mengenakan jilbab mendapat larangan memasuki sekolah dan perguruan tinggi di seluruh negara bagian Karnataka, India."Sekitar 13 orang dari kami dibawa ke ruang terpisah karena kami mengenakan jilbab di atas seragam sekolah," tutur Aliya Meher, siswa di Sekolah Umum Karnataka di Distrik Shivamogga.

"Mereka mengatakan, kami tidak boleh mengerjakan ujian jika kami tidak melepas jilbab yang kami kenakan. Kami lalu menjawab: Kalau begitu, kami tidak akan mengerjakan ujian. Kami tidak dapat berkompromi dengan jilbab kami,' namun setelah menjawab seperti itu mereka tiba-tiba meminta kami melepas jilbab," tambah Meher.

Baca Juga: Tubuhku Bukan Milikku: Perkara Ruwet Dipaksa Berjilbab

Larangan Berjilbab Fenomena Jamak

Larangan memakai pakaian Islami baik jilbab, niqab, atau burqa di India sebenarnya bukanlah kasus unik. Di berbagai belahan dunia, hal serupa juga mudah ditemui.

Pada 2011 misalnya, Prancis menjadi negara pertama yang melarang burqa yang menutupi wajah. Pembatasan pemakaian pakaian Islami di ruang publik sebenarnya sudah dimulai sejak 2004 ketika Parlemen Prancis dengan suara bulat memilih untuk memberlakukan larangan menyeluruh terhadap cadar. Pada 2010, pemerintah Perancis yang saat itu diperintah oleh Presiden Nicolas Sarkozy kemudian memberlakukan larangan publik total terhadap cadar dan penutup kepala karena dinilai “tidak sesuai” dengan nilai sekulerisme Perancis.

Larangan ini tertuang dalam LOI n° 2010-1192: Loi interdisant la dissimulation du visage dans l'espace public atau UU 2010-1192: “Undang-undang yang melarang penyembunyian wajah di ruang publik” dengan orang yang melanggar larangan tersebut dapat didenda €150 dan siapa pun yang memaksa perempuan untuk menutupi wajahnya berisiko didenda €30.000.

Larangan memakai pakaian Islami yang secara khusus mengacu pada niqāb dan burqa juga terjadi di Swiss. Pada Maret 2021, lebih dari 51 persen pemilih Swiss, memberikan suara mereka dalam mendukung larangan pemakaian niqāb dan burqa di ruang publik. Dilansir dari NPR, gagasan larangan pemakaian niqāb dan burqa ini berasal dari gerakan sayap kanan yang menilai arangan ini perlu untuk memerangi apa yang mereka anggap sebagai tanda penindasan terhadap perempuan, dan menegakkan prinsip dasar yang harus ditunjukkan dalam masyarakat bebas.

Tidak hanya di negara Eropa, pelarangan pakaian Islami nyatanya juga terjadi di Indonesia tepatnya pada masa pemerintahan Orde Baru (Orba). Dalam penelitian Menakar Kontekstualisasi Konsep Jilbab dalam Islam (2014), Masnun Tahir dan Zusiana Elly Triantini menjelaskan bagaimana rezim Suharto melihat penggunaan jilbab sebagai gerakan pemberontakan. Pandangan ini dipengaruhi oleh banyaknya konflik di negara Timur Tengah saat itu. Penggunaan jilbab mereka curiga sebagai simbol pengaruh pemberontakan di Timur Tengah yang dapat mengancam kekuasaan rezim Orba.

Baca Juga: Berjilbab atau Tidak Tetap Hadapi Stigma

Pemerintah Soeharto dalam hal ini kemudian mengeluarkan kebijakan pada 17 Maret 1982 melalui Dirjen Pendidikan dan Menengah yakni Prof. Darji Darmodiharjo dengan SK 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional. Kebijakan ini berujung pada pelarangan pemakaian jilbab di segala institusi pendidikan mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga perguruan tinggi memakai Tak hanya di Universitas, keputusan juga diterapkan di sekolah negeri.

Saat kebijakan ini diberlakukan, sanksi yang bisa diterima oleh perempuan pelajar yang mengenakan jilbab beragam. Mulai dari teguran, interogasi di ruang BK, hukuman skors, dijemur di lapangan sambil hormat bendera, bahkan sampai dikeluarkan dari sekolah negeri dan pindah ke sekolah swasta. Inilah mengapa sepanjang tahun 1985 hingga 1989 banyak sekali kasus pelarangan jilbab tidak sedikit perempuan pelajar yang akhirnya memiliki trauma terhadap jilbab sendiri.

Tubuh Perempuan Direpresi, Agensi Dikerdilkan

Larangan pemakaian pakaian Islami bagi perempuan mulai dari jilbab, niqāb, dan burqa adalah ironi. Pasalnya, sampai detik ini perempuan nyatanya tidak diberi kuasa untuk mendefinisikan tubuh dan dirinya sendiri. Dalam arus utama sosial budaya yang masih sangat maskulin, perempuan ajek dilucuti hak-hak dasarnya.

Mereka dicabut kebebasannya dalam berekspresi, berpikir, bahkan untuk berkeyakinan. Perempuan pun dalam hal ini hanya dipandang sebagai tubuh yang ekstensinya ada untuk menjadi medan kontestasi tanpa ujung.

Semua keputusan perempuan didikte, semua pilihan mereka dibatasi, bahkan integritas fisik dan kehidupan mereka terancam oleh tangan-tangan penguasa yang dengan lantangnya berteriak kebebasan, tapi justru memenjarakan perempuan dalam prosesnya.

Praktik pendisiplinan tubuh perempuan juga digambarkan dalam wawasan Foucauldian. Bahwa, pendisiplinan tubuh dalam masyarakat maskulin paling banyak menjerat perempuan. Tubuh perempuan jadi objek yang berdimensi politik. Eksistensinya ada untuk ditundukkan, dikuasai, dikekang, dan tidak diberikan kebebasan atau hak kuasanya dalam mengekspresikan diri.

Mirisnya, hari-hari ini kita melihat perempuan ikut andil dalam represi tersebut. Beberapa perempuan feminis bahkan masih menganggap jilbab, cadar, niqāb, atau burqa adalah simbol kuat dari penindasan dan penaklukan perempuan. Simone de Beauvoir, filsuf dan tokoh feminis yang sangat berpengaruh di abad ke-21 pernah melayangkan kritikan tajamnya soal jilbab dan cadar.

Baca Juga: Kasus SMKN 2 Padang Momentum Hentikan Pemaksaan Jilbab di Sekolah

“Perempuan Muslimah yang bercadar dan tertutup hingga saat ini masih menjadi semacam budak di sebagian besar lapisan masyarakat. Mereka dicabut kuasanya dari keinginan, pikiran, atau kesadarannya sendiri, karena ia dilihat sebagai objek. Mereka menyerah pada subjektivitasnya dalam memilih untuk mengambil keputusan dengan bersembunyi di dalam jilbabnya (dalam terjemahan bahasa Inggris disebut veil),” tulis Beauvoir dalam The Second Sex (1949), sebuah “kitab suci” para feminis modern yang nyatanya masih bias memahami keberagaman.

Kritikan tajamnya soal jilbab dan cadar sebagai bentuk opresi dan penaklukan perempuan pun diperkuat dengan kesaksian Edward Said, pemikir dan akademisi Amerika Serikat berketurunan Palestina. Dalam diarinya berjudul My Encounter with Sartre, Said bercerita tentang pertemuannya dengan Beauvoir pada 1979. Saat itu, ia menyaksikan Beauvoir sedang berceramah tentang yang dikenakan perempuan Iran.

Beauvoir dengan headscarf-nya yang terkenal, menguliahi siapa saja yang mau mendengarkan tentang perjalanannya yang akan datang ke Teheran bersama Kate Millett (tokoh feminis radikal terkenal), di mana mereka berencana untuk berdemonstrasi menentang cadar.

Generalisasi tentang penindasan perempuan Muslim yang memakai pakaian Islaminya dalam ekspresi beragamanya ini merupakan tamparan keras bagi gerakan feminisme. Luputnya beberapa feminis melihat ekspresi beragama perempuan Muslim memperburuk posisi perempuan yang sudah lebih dahulu mengalami pendisiplinan tubuh dalam kuasa laki-laki.

Hal ini karena menurut Cécile Laborde, profesor teori politik dari Universitas Oxford dalam penelitiannya Female Autonomy, Education and the Hijab (2006) keduanya merepresi tubuh perempuan lewat pengerdilan bahkan perampasan agensi perempuan sendiri.

Keduanya tidak melihat perempuan Muslim sebagai individu yang merdeka dan memiliki agensi yang berhak menentukan nasib sendiri dan otonomi tubuhnya tanpa campur tangan dari negara atau orang lain. Pengerdilan atau bahkan perampasan agensi perempuan ini sangat berbanding terbalik dengan realitas. Banyak perempuan Muslim memutuskan memakai jilbab, cadar, niqāb, atau burqa karena keputusan mereka sendiri bukan orang lain.

Bahkan banyak dari perempuan Muslim mendapatkan martabat dan kemandirian pribadi melalui memeluk Islam dengan memakai pakaian Islaminya. Adopsi pakaian Islami dalam hal ini menurut Laborde menunjukkan komitmen dan perlawanan perempuan untuk memajukan peluang mereka dalam pekerjaan, pencapaian profesional, dan hak politik yang setara, bukan sebagai bentuk kepatuhan perempuan pada kuasa laki-laki.

Mereka bukanlah korban pasif dari agama dan budaya mereka, namun mereka adalah perempuan merdeka yang memiliki agensi terhadap otonomi tubuhnya. Dan itu adalah dengan membuat pilihan tentang praktik keagamaan yang mampu memberikan mereka makna hidup. 

Oleh karenanya, kita butuh memahami keberagaman identitas dan pilihan perempuan. Dengannya kita akan lebih bisa menghargai keputusan yang perempuan pilih atas dasar kehendaknya sendiri tanpa berusaha merampas paksa agensinya.

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.