Women Lead Pendidikan Seks
December 06, 2022

Gaya 'Hardcore' Elon Musk di Twitter: Enggak Perlu, Banyak Ruginya

Elon Musk terlalu buru-buru mengubah Twitter menjadi ladang cuan. Ini beberapa hal yang tak seharusnya ia lakukan di sana.

by Libby (Elizabeth) Sander
Issues
Share:

Sejak membeli Twitter beberapa waktu lalu, sepak terjang Elon Musk disorot. Berbagai perubahan di platform tersebut menjadi pembelajaran penting tentang apa yang tak seharusnya dilakukan saat melakukan perubahan organisasi.

Bukti menunjukkan, perubahan organisasi yang sukses membutuhkan visi yang jelas dan menarik yang dikomunikasikan secara efektif; partisipasi karyawan; dan keadilan dalam menerapkan perubahan tersebut. Kepercayaan terhadap pimpinan pun memegang peran penting.

Musk, orang terkaya di dunia, agaknya terburu-buru untuk menjadikan Twitter sebagai ladang uang. Kenyataanya, butuh waktu untuk memahami betul syarat-syarat perubahan organisasi yang sukses. Dua dari tiga upaya merubah organisasi berujung gagal. Ini mengakibatkan biaya besar, tenaga kerja yang tertekan, dan hilangnya talenta yang berharga.

Manajemen perubahan secara umum saja sering berjalan tak sesuai rencana – tapi saat ini kita bahkan kesulitan menebak apakah Musk sama sekali punya rencana atau tidak.

Baca juga: Ramai-ramai Tinggalkan Twitter Era Elon Musk, Memang Semudah itu?

Gaya Musk yang ‘Sangat Hardcore

Sejak mengambil alih Twitter pada 27 Oktober, Musk memaksa karyawan kembali bekerja di kantor, menghapus makan siang karyawan, dan memberhentikan sekitar 3.700 pegawai –- setengah dari tenaga kerja Twitter. Banyak yang baru menyadari, mereka telah “ditendang” ketika para karyawan ini tak lagi bisa mengakses laptop mereka.

Hanya beberapa hari setelahnya, muncul kabar Musk memiliki tim untuk menyisir pesan pribadi para karyawan di aplikasi Slack dan memecat mereka yang mengritiknya.

Pada Rabu pertengahan bulan lalu, Musk mengirimkan ultimatum yang meminta staf untuk menyatakan komitmennya terhadap gaya bekerja baru Twitter yang “amat sangat hardcore” – yang menurut Musk berarti “menjalani jam kerja panjang yang sangat intens”. Pekerja diberi waktu hingga pukul 5 sore esoknya untuk menerima ultimatum ini, atau mengambil pesangon.

Kabarnya, sekitar 500 karyawan memilih menuliskan pesan selamat tinggal.

Tweet from Twitter employee Leah Culver:
Twitter, CC BY

Musk tampaknya tak mengantisipasi reaksi ini. Mendekati tenggat waktu komitmen “hardcore”-nya, ia mulai mengundang staf yang dianggap penting ke rapat dan berusaha membujuk mereka untuk bertahan.

Ia pun membatalkan larangan kerja dari rumah, dan mengirimkan surel ke staf berisi klarifikasi bahwa “yang Anda butuhkan untuk persetujuan (bekerja dari rumah) hanyalah tanggung jawab manajer Anda agar memastikan bahwa Anda memberikan kontribusi yang sangat baik”.

Upaya ini gagal. Sangat banyak karyawan yang memutuskan hengkang hingga Twitter terpaksa melarang semua staf memasuki kantor selama beberapa hari – karena kebingungan karyawan mana yang masih bekerja di sana dan memiliki akses masuk.

Twitter kehilangan setengah pekerjanya dalam waktu kurang dari sebulan.
Twitter kehilangan setengah pekerjanya dalam waktu kurang dari sebulan. Jeff Chiu/AP

PHK dan restrukturisasi adalah hal lumrah saat terjadi perubahan organisasi. Namun, bagaimana hal ini dikelola memiliki efek yang signifikan, baik terhadap mereka yang pergi maupun yang tinggal. Jika Anda ingin karyawan Anda tetap berkomitmen dan merespon krisis dengan baik, menyebut mereka pemalas dan mengancam mereka jelas tak membantu.

Baca juga: Benarkah Twitter Bikin Kita Lebih Mudah Marah?

Pilihan itu Penting

Tapi bagaimana dengan SpaceX dan Tesla – dua perusahaan yang memberikan Musk ketenaran dan kekayaan? Tidakkah kesuksesan perusahaan-perusahaan tersebut membuktikan bahwa ia pemimpin yang baik?

Tidak semudah itu. Ada perbedaan besar antara perusahaan yang memiliki misi tertentu, seperti SpaceX, dan platform seperti Twitter.

Ketika ada tujuan bersama untuk mencapai sesuatu yang luar biasa atau yang belum pernah dilakukan sebelumnya, karyawan kerap rela bekerja dengan durasi yang lama di tengah situasi sulit.

Mereka akan memilih bekerja habis-habisan dengan jam kerja panjang jika mereka merasa sejalan dengan tujuan organisasi atau ketika mereka merasa pekerjaan mereka penting. Namun, poinnya adalah mereka memilih.

Seperti cuitan salah satu pegawai Twitter setelah Musk mengirimkan surel “hardcore”-nya:

Saya tak mau bekerja untuk seseorang yang mengancam kami berkali-kali melalui email, bahwa hanya ‘orang-orang luar biasa yang seharusnya bekerja di sini’ ketika saya sudah bekerja 60-70 jam tiap minggunya.

Baca Juga:  Kekeyi dan Tajamnya Lidah Warganet di Media Sosial

Musk Abaikan Hal-hal Dasar

Sebenarnya, ada banyak pekerja Tesla maupun SpaceX yang tak bahagia dengan pekerjaannya. Banyak pula yang melayangkan gugatan mengenai kondisi kerja mereka dan gaya manajemen Musk.

Musk dipuji karena pemikirannya soal penyempurnaan desain produk (iterative design) dan pemecahan masalah teknik. Menantang model lama yang tak lagi berguna memang penting. Tapi hal-hal mendasar mengenai kepemimpinan dan perubahan organisasi pun masih tetap esensial –- dan soal ini, Musk gagal total.

Ketika para pegawainya –- orang-orang biasa yang bukan konglomerat dan harus membayar sewa atau cicilan rumah -– berusaha memahami apa sebetulnya makna “hardcore”, dan bagaimana hal tersebut akan memengaruhi kemampuan mereka untuk memiliki kehidupan di luar pekerjaan, Musk justru mencuitkan survei (polling) informal yang menanyakan ke pengikutnya apakah mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebaiknya diizinkan kembali menggunakan Twitter.

Kemudian, ketika Trump menolak untuk kembali ke platform tersebut, Musk mencuit:

Kemungkinan ada pejabat eksekutif selain Musk yang bisa mengirimkan pesan serupa di media sosial hampir-hampir tak bisa dipercaya.

Beberapa menilai bahwa kekacauan ini adalah wujud obsesi Musk untuk menunjukkan betapa pentingnya dirinya (ego trip) – teori yang tampak masuk akal berkaca dari upaya Musk sebelumnya untuk keluar dari kesepakatan akuisisi Twitter. Aksinya membawa risiko besar pada keberlangsungan bisnis, bahkan jika Twitter masih punya cukup karyawan untuk menjalankan platform tersebut.

Yoel Roth, mantan kepala keamanan dan kepercayaan publik Twitter yang mengundurkan diri pada 10 November, menulis seminggu setelah ia hengkang:

Hampir segera setelah proses akuisisi selesai, gelombang trolling rasis dan antisemit bermunculan di Twitter. Pengiklan yang khawatir – termasuk General Mills, Audi, dan Pfizer – memutuskan mengurangi atau menghentikan sementara iklan mereka di platform, dan mengakibatkan krisis di internal Twitter untuk melindungi pemasukan iklan yang berharga.

Tapi lebih kuat lagi daripada para pengiklan, catat Roth, adalah pasar aplikasi digital milik Apple dan Google:

Kegagalan mengikuti pedoman Apple dan Google akan menimbulkan bencana besar – berisiko membuat Twitter dikeluarkan dari app stores dan membuat miliaran calon pengguna kesulitan mengakses layanan Twitter.

Organisasi merupakan sistem interdependen yang rumit, didukung oleh jaringan proses perilaku. Menciptakan perubahan yang sukses membutuhkan penyelarasan tujuan individu, kelompok kerja dan organisasi.

Bahkan jika si “burung biru kecil” – lambang dari platform Twitter – masih bisa tetap “terbang” sekarang, sistem yang dipimpin oleh manusia yang membuatnya bisa terus berjalan tengah berada dalam ancaman besar.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Libby (Elizabeth) Sander, MBA Director & Assistant Professor of Organisational Behaviour, Bond Business School, Bond University.