Dapatkah Anda membayangkan dunia yang hanya dihuni oleh laki-laki? Apakah akan hanya penuh dengan bir, mobil, olahraga, kekerasan, dan di mana tidak ada orang yang akan menurunkan tutup tempat duduk toilet? Dunia ini akan penuh dengan machismo (kejantanan berlebihan), permainan kekuasaan, dan, dalam jangka panjangnya, kepunahan diri, kecuali para lelaki dapat menemukan cara yang asyik untuk berkembang biak di antara mereka sendiri!
Setidaknya tidak akan ada mansplaining atau kecenderungan laki-laki menerangkan sesuatu kepada perempuan dengan penyederhanaan berlebihan, karena beranggapan perempuan lebih bodoh daripada mereka!
Tetapi beberapa orang yang konon pintar—bahkan menyebut diri ”intelektual“—tampaknya berpikir bahwa dunia yang semuanya laki-laki adalah yang ideal. Atau setidaknya diskusi panel yang semuanya laki-laki. Atau buku yang ditulis oleh laki-laki, tentang laki-laki. Atau semua hal ini digabungkan.
Diskusi daring tentang buku berjudul Fragmen Sejarah Intelektual yang memuat profil 17 laki-laki pilihan penulis, Ignas Kleden, berlangsung pada 27 Januari 2021. Pembahasnya adalah laki-laki (Riwanto Tirtosudarmo), juga pembicara utama (Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid) dan bahkan moderatornya pun laki-laki (ignatius Haryanto). Wah, overdosis testosteron ya?
Saya mengirimi penulis buku Fragmen daftar tokoh perempuan yang sezaman dengan laki-laki yang dibahasnya, yang sama berkontribusi bagi bangsa. Dia mengaku bukan feminis. Saya menjawab, Anda tidak harus jadi feminis, Anda hanya perlu sekadar menjadi orang Indonesia, dan manusia.
Sekitar satu setengah bulan kemudian, pada Hari Perempuan Internasional (8 Maret), sebuah inisiatif diluncurkan oleh Cameron MacKay, Duta Besar Kanada, untuk berjanji hanya berpartisipasi dalam panel yang menyertakan perempuan. Tiga puluh sembilan duta besar lainnya di Jakarta dan tiga direktur jenderal dari Kementerian Luar Negeri bergabung dalam janji tersebut.
Baca juga: 'All-Male Panel' alias 'Manel': Mempertanyakan Inklusi di Ruang Diskusi
Di awal tahun, Valerie Julliand, Koordinator Tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), telah mengusulkan “Janji Tanpa Manel” (manel adalah singkatan male panel, panel diskusi di mana semua pembicaranya laki-laki) yang sebenarnya merupakan prakarsa PBB di seluruh dunia.
“Manels tidak mewakili keragaman dunia tempat kita tinggal dan menghilangkan perspektif yang lebih holistik, inovatif, dan berwawasan tentang diskusi atau topik apa pun... Manel adalah manifestasi seksisme dan pengucilan, yang dapat memperkuat stereotip gender laki-laki sebagai otoritas komando atau keahlian superior, bahkan ketika ada perempuan yang setara, jika tidak lebih berkualitas, yang kontribusinya diremehkan atau diabaikan,” kata Julliand dalam sebuah pernyataan pada 14 Januari.
Tidak Ada Perempuan yang Alami Kesetaraan Gender Sepenuhnya
Bisakah Anda bayangkan ketika Swedia, negara yang terkenal dengan kesetaraan gendernya yang tinggi, mengadakan webinar? Jadi ketika pada 4 Maret lalu, Kedutaan Besar Swedia di Jakarta mengadakan webinar tentang kesetaraan gender di tempat kerja sebagai sarana pemulihan ekonomi pasca COVID-19, bisa dipastikan ada keseimbangan gender. Dengan judul yang menggelitik, “Her Rights! Money, Power, Autonomy (Haknya! Uang, Kekuasaan, Otonomi!)”, webinar ini menampilkan lima pembicara: tiga perempuan dan dua laki-laki.
Di dalam pidato pembukaannya, Duta Besar Swedia Marina Berg mengingatkan bagaimana pandemi paling berdampak buruk kepada perempuan dan anak perempuan, memperkuat ketidaksetaraan yang sudah lama berakar. Meski populasi perempuan yang paling terpukul, namun mereka juga memegang kunci untuk solusi pemulihannya secara ekonomi. Lebih lanjut, “kesetaraan gender adalah tentang semua orang, hak asasi manusia, demokrasi, keadilan, peluang, dan tentang tiga R: rights, reproduction dan resources (hak, keterwakilan dan sumber daya),” katanya. Benar sekali!
Baca juga: Kebijakan Pro Kesetaraan Gender Maju di Luar Negeri, Mundur di Dalam Negeri
Lena Ag, Direktur Jenderal Badan Kesetaraan Gender Swedia, berbicara tentang berbagai reformasi terpenting terkait kesetaraan gender di pasar tenaga kerja dan kebijakan sosial di Swedia, juga dalam konteks pandemi. Ternyata, meskipun Swedia adalah salah satu negara terkaya di dunia yang diukur dari produk domestik bruto, perempuan Swedia juga terkena dampak pandemi yang sama merugikannya.
Seperti halnya di Indonesia, perempuan di Swedia memiliki tempat yang kurang aman di pasar kerja, lebih banyak bekerja di sektor informal, memiliki andil yang lebih besar dalam tanggung jawab rumah tangga dan juga mengalami peningkatan kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, selama pandemi.
Pembicara kedua, Rina Zoet, adalah seorang pengusaha perempuan yang sukses di bidang real estate, dengan gelar master di bidang studi gender dari Universitas Indonesia. Dia percaya, untuk pemulihan dan keberlanjutan, fokusnya tidak hanya di tempat kerja, tetapi juga pasar dan komunitas. Terkait gender, dalam mengatasi masalah pandemi dan degradasi lingkungan, harus ada kerja sama di tingkat nasional, regional, dan global.
Faizol Reza, pembicara ketiga, mengetuai Komisi VI DPR yang membidangi perdagangan, industri, investasi, koperasi dan usaha kecil menengah serta badan usaha milik negara. Seorang mantan aktivis 1998 yang diculik dan disiksa, dan kini menjadi pejabat negara, mengakui bahwa berbagai kebijakan pemerintah gagal memasukkan perspektif kesetaraan gender, padahal pengarusutamaan gender telah diterapkan sejak tahun 2000 dan semua institusi negara diwajibkan untuk melaksanakannya. Mentalitas dan kebiasaan praktik patriarkal memang sulit dihilangkan ya?
Baca juga: Perspektif Gender dan Minoritas Masih Jarang Dipakai dalam Riset
Pembicara keempat adalah Diva Yohanna, store manager IKEA, yang memberi kita kesempatan melihat bagaimana kesetaraan gender Swedia dipraktikkan di Indonesia. Dari kisahnya selama tujuh tahun bekerja di IKEA, tampaknya memang demikian.
Terakhir adalah Jamshed Kazi, ketua UN Women, yang presentasinya, “Menutup Kesenjangan Kesetaraan Gender di ASEAN dan Indonesia”, memberikan perspektif regional tentang masalah tersebut. Dia juga menyarankan cara untuk membawa lebih banyak pria ke meja perundingan, yang penting jika ingin ada perubahan nyata. Cara yang sederhana adalah dengan tidak memasukkan kata “gender”, apalagi “feminisme”, dalam judul diskusi, tetapi isu dan perspektif gender diam-diam diselipkan ke dalam diskusi ketika sudah berjalan.
Duta Besar Swedia membuat beberapa poin dalam sambutan penutupannya. Yang mengejutkan saya adalah pernyataannya bahwa "tidak ada perempuan yang hidup di dunia ini yang pernah mengalami kesetaraan gender sepenuhnya". Memang benar, meski Anda mungkin tidak kelaparan, bahkan sebagai orang kaya pun bukanlah jaminan bahwa Anda mengalami keadilan gender.
Jadi, dari tindakan sederhana berjanji untuk menolak “manel”, hingga berkomitmen pada kesetaraan gender di tempat kerja, itu menguntungkan kita semua. Inklusi gender memberikan kekayaan dan keragaman pada diskusi, dan pemberdayaan perempuan di tempat kerja menguntungkan semua orang. Dan jika hal itu membantu kita untuk pulih dari resesi yang dipicu pandemi, mau tunggu apa lagi?
Versi bahasa Inggris artikel ini telah diterbitkan di The Jakarta Post.
Comments