Perjalanan panjang saya dari Jakarta ke Banyuwangi melalui jalur darat diselingi dengan beberapa kali beristirahat di rest area untuk mengisi perut dan salat di masjid. Yang saya temukan, baik di tempat peristirahatan atau di masjid di luar itu, banyak di antaranya yang diprioritaskan untuk laki-laki. Hal ini menguatkan pandangan bahwa perempuan adalah kaum yang termarginalkah bahkan ketika beribadah.
Fakta pertama saya temukan di masjid besar nan megah di sebuah rest area yang sangat terawat di daerah Jawa Tengah. Masjid yang kelihatan baru dibangun itu begitu besar sehingga jelas mampu menampung banyak jemaat. Namun ketika saya menuju tempat yang tersedia bagi perempuan, saya tertegun.
Perempuan hanya mendapat tiga saf paling belakang di dekat pintu, dan hanya dua saf di antaranya yang dilapisi karpet. Itu pun tidak penuh satu baris dari sayap kanan ke kiri, melainkan hanya setengahnya. Ketika saya datang untuk salat magrib, sudah tidak ada lagi saf yang dilapisi karpet, jadi saya salat di bagian saf yang hanya beralaskan lantai.
Saat itu banyak perempuan yang ingin salat tapi safnya sudah penuh. Rak mukena yang berada di pojok kanan kini juga tak bisa dijangkau lagi karena tertutup jemaat yang sedang salat. Akhirnya banyak perempuan yang menunggu giliran sampai salat di teras masjid yang ubinnya basah karena pijakan kaki setelah berwudu.
Baca juga: Mengkritik Agama Sendiri, Berani?
Sebenarnya saf antara laki-laki dan perempuan tidak dibatasi tirai atau pembatas tertentu, dan masih banyak saf kosong yang bisa diisi, namun tak satu pun perempuan yang mengisi bagian depan tersebut. Menyadari hal ini, saya sendiri yang pindah ke saf depan yang tak dilapisi karpet tersebut supaya yang lain mengikuti. Namun masalah karpet ini membuat perempuan bingung harus salat di mana karena beberapa saf terakhir di bagian laki-laki juga beralaskan lantai. Mereka berpikir harus salat di batasan karpet saja, tidak boleh di depan batas karpet meskipun tempat salat masih luas.
Masalah kedua yang saya temukan di perjalanan adalah bagaimana sebuah masjid di daerah Jawa Timur menyediakan ruang salat perempuan di luar pintu masjid, atau di bagian ekstensi gedung.
Tidak hanya di masjid rest area saja, persoalan dengan saf perempuan ini bisa ditemukan di tempat salat mana pun di tempat umum: lembaga pendidikan, perkantoran, dan pusat perbelanjaan. Saya mengalami sendiri ketika laki-laki sudah selesai salat, banyak perempuan masih menunggu giliran salat karena saf yang sedikit.
Sepertinya situasi ini bermula dari hadis, salah satunya riwayat HR. Abu Daud, yang berbunyi, “Salat seorang perempuan di rumahnya lebih utama baginya daripada salatnya di pintu-pintu rumahnya, dan salat seorang perempuan di ruang kecil khusus untuknya lebih utama baginya daripada di bagian lain di rumahnya.”
Tentu pandangan ini tidak bisa dijadikan landasan pada permasalahan di atas. Di rest area, semua yang melewati jalur tersebut sedang berada dalam perjalanan, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi meski dikatakan pada perempuan lebih baik salat dalam rumah, dalam kondisi perjalanan jauh, perempuan tidak punya pilihan selain salat di masjid terdekat. Karenanya, masjid telah memberikan perlakuan seksis terhadap perempuan.
Baca juga: Kelompok Pengajian 'Salam' Kaji Islam dari Perspektif Kemanusiaan
Perlakuan seksis pada masjid atau musala ini tak susah dijumpai; hal ini sering dialami perempuan dan bahkan saya sendiri terbiasa menerima meskipun merasa tidak nyaman. Wawancara dengan beberapa perempuan menunjukkan bahwa mereka tidak nyaman dengan hal ini, namun lagi-lagi mereka tak pernah mempertanyakan atau membicarakan keluh kesah tersebut, dan mensyukuri apa yang tersedia saja.
Padahal Masjidil Haram sendiri memberikan perlakuan yang setara pada perempuan dan laki-laki. Sejatinya laki-laki akan salat di barisan depan yakni di lingkaran terdekat dengan Kabah, barulah setelahnya perempuan salat di bagian masjid setelahnya. Pada lantai dua masjid pembagian tersebut bahkan diposisikan menjadi kanan dan kiri dengan pembagian saf yang sama luasnya. Kemudian di jam-jam lenggang selain salat lima waktu, para jamaah perempuan sendiri bisa menikmati melakukan ibadah di saf laki-laki yang berada di dekat Kabah.
Kesetaraan dalam beribadah di lokasi istimewa tersebut didukung oleh hadis riwayat Muslim yang berbunyi, “Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.”
Oleh sebab itu, hak istimewa laki-laki dalam mengakses tempat ibadah yang merugikan perempuan saya rasa patut dikritik. Perempuan memiliki hak untuk mendapatkan akses beribadah yang lebih baik dari yang ada saat ini.
Comments