Mainkan newsgame selengkapnya di sini, dan selami langsung pengalaman menarik mereka yang nikah muda.
Perkara pernikahan selalu menjadi topik hangat yang tidak ada habisnya di Indonesia. Terutama untuk perempuan yang statusnya kerap diukur dari status pernikahan. Jika seorang dianggap ‘telat’ menikah atau memilih tidak menikah, maka dicap dengan stigma tidak laku atau perawan tua. Tidak jarang alasan, seperti menghindari zina, menikah untuk menyempurnakan agama atau narasi keagamaan lain digunakan untuk mendorong pernikahan tersebut. Dalam skala yang ekstrim melegitimasi pernikahan anak.
Feminis muslim dan penggagas Cherbon Feminist, Nurul Bahrul Ulum mengatakan, memandang pernikahan dari lensa agama perlu mengutamakan apakah hal itu membawa maslahat atau mudarat bagi semua orang yang terlibat. Jangan sampai menggunakan pernikahan sebagai cara untuk menghindari kemudaratan yang juga berujung dengan keburukan. Contohnya, perkawinan anak untuk menghindari zina yang juga menambah dampak buruk secara psikis maupun fisik bagi anak tersebut.
Selain itu, imbuhnya, lima prinsip hak asasi manusia dalam Islam harus menjadi dasar pemahaman seseorang memutuskan suatu hal, termasuk pernikahan. Lima prinsip tersebut berupa: menjaga jiwa (hifdz al-nafs), menjaga agama (hifdz al-din), menjaga akal (hifdz al-aql), menjaga keturunan (hifdz al-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-mal). Kemudaratan akan terjadi jika prinsip tersebut tidak diamalkan, ujarnya.
Baca juga: Hal-hal yang Tak Pernah Dikampanyekan Gerakan Menikah Muda
Ungkapan menikah untuk menyempurnakan agama juga perlu dimaknai ulang. Pasalnya, kesempurnaan agama tidak dilihat dari status orang menikah atau tidak. Pernikahan tersebut tidak akan sempurna jika masih ada kekerasan seksual terhadap istri. Dalam pernikahan harus ada praktik mubadalah atau kesalingan, kerjasama, dan menghormati di ruang publik dan privat. Agama akan menjadi sempurna jika prinsip tersebut diaminkan dalam relasi dengan istri, suami, dan anak.
Dalam wawancaranya dengan Magdalene beberapa waktu lalu, Nurul juga mengaitkan prinsip hak asasi manusia dan pandangan Islam tersebut dengan praktik menikah di usia muda. Berikut kutipan obrolan tersebut.
Magdalene: Bagaimana cara lima prinsip hak asasi manusia dalam Islam tersebut memengaruhi pernikahan di usia muda awal 20-an?
Prinsip hak asasi manusia ini (ad-dlaruriyyat al-khams) menjadi dasar kita beragama dan memang betul dijadikan juga dasar untuk memandang pernikahan. Dalam agama Islam, kehidupan ini berbasis pada cara menerapkan prinsip itu, menjadi fondasi dasar menjalani kehidupan ini.
Prinsip itu berlaku untuk semua orang, apakah orang tersebut menikah usia 30 atau 40 tahun bahkan yang tidak menikah. Tujuan menikah kan untuk memperoleh ketenangan (Sakinah), kenyamanan (rahmah), dan kebahagiaan (sa’adah). Jadi, apakah dia menikah pada usia 20 dan 25 tahun atau yang sudah bukan usia anak lagi, kalau belum siap menikah juga akan membawa mudarat. Sebenarnya batasan usia nikah ini berkaitan dengan kematangan reproduksi, finansial, dan mental. Berapapun usianya, kalau belum siap secara finansial dan mental ya sama saja.
Baca juga: Terima Kasih, Ibu, Karena Tak Wajibkan Saya Nikah
Selain itu, perspektif yang masih sangat patrtiarkal juga berpengaruh. Misalnya, perspektif kita masih patriarkal dan belum sadar dengan nilai keadilan gender pasti akan terjebak pada relasi yang buruk, bukan saling melindungi. Kehidupan rumah tangga penuh dengan hal-hal yang tidak terduga.
Contohnya, ketergantungan pada suami. Karena perspektifnya masih patriarkal, jadi bergantung pada suami berdampak buruk, terutama ketika tidak ada sumber finansial karena suaminya kolaps atau tidak ada penghasilan, selingkuh, atau hal-hal lainnya. Prinsip hak asasi manusia dan perspektif keadilan gender harus dijadikan dasar untuk kehidupan bersama. Jadi, Islam itu terdepan dalam soal perlindungan kemanusiaan.
Apa pendapat soal selebgram atau influencer yang mempromosikan menikah muda di media sosial?
Kata Nyai Nur Rofiah, kita ini adalah anak kandung patriarki. Tetapi kita bisa memilih untuk menjadi anak durhaka. Sistem patriarki itu merasuki semua aspek kehidupan, termasuk proses penafsiran agama. Makanya tidak heran ada tafsiran agama yang sangat patriarkis, memposisikan laki-laki sebagai subjek penuh kehidupan, sementara perempuan dijadikan sebagai objek. Ini terjadi dalam hal apapun, termasuk pernikahan.
Nah, apa sih yang selama ini kita dengar soal Islam dan pernikahan, pasti tentang menghalalkan hubungan seksual. Karenanya, bagi sebagian orang memandang bahwa solusi cepat untuk itu adalah menikah. Namun ingat influencer dan selebgram, mereka punya kehidupan yang aman dan nyaman secara finansial. Jadi, tidak bisa dijadikan acuan. Influencer harus hati-hati dalam mengedukasi, terutama menggunakan narasi Islam di ruang publik karena pengikutnya banyak sekali.
Kalau omongannya mengandung sesuatu yang akan menyebabkan kekerasan berlipat, seperti kawin anak, maka tentu akan berdampak pada banyak korban. Jangan samakan kehidupan masyarakat dengan kehidupan influencer yang punya banyak duit dalam mengampanyekan enaknya menikah muda. Mereka tidak memikirkan biaya popok bayi, persalinan, dan biaya lainnya. Kemudian omongan dia itu diikuti oleh followers yang belum teredukasi kesehatan reproduksi, belum siap secara mental dan finansial, sehingga yang terjadi adalah kemudaratan berlipat.
Menurutku, ini menzalimi dengan cara yang halus. Banyak hal dalam relasi suami dan istri yang harus dinegosiasikan. Jadi, kemewahan dan kemegahan yang dimiliki influencer berbeda dengan keadaan sebenarnya yang ada pada follower-nya. Jangan seenaknya sendiri. Jadi, setop kampanye sesuatu yang banyak mudaratnya, apalagi atas nama Islam. Harus lihat sebesar apa mudaratnya, lalu dikampanyekan ketika hal itu benar-benar maslahat.
Maslahat jangan dilihat hanya dari ukuran mereka sendiri, tetapi seluruh orang. Ukurannya adalah sejauh mana kesiapan mental, finansial, pengetahuan, dan kesehatan reproduksi yang hendak menikah.
Oleh mereka, narasi keagamaan tentang pernikahan hanya dipahami sebagai legalisasi seks saja. Padahal pernikahan tidak hanya itu. Banyak hal yang harus disiapkan. Membangun rumah tangga yang sakinah adalah tujuan utama pernikahan, yakni kemaslahatan untuk suami, istri, dan anak-anak jika memiliki. Keadaan influencer tidak bisa dijadikan standar.
Baca juga: Menikah pada Usia 21: Apakah Saya Masih Bisa Disebut Feminis?
Dalam Islam seperti apa hubungan suami dan istri yang ideal?
Dalam Islam, istri adalah pakaian untuk suami (hunna libasun lakum), dan suami adalah pakaian bagi istri (wa antum libasun lahunna). Jadi, relasi suami dan istri setara, tidak ada yang mendominasi dan hegemoni. Prinsip dasarnya adalah kesalingan dan kerjasama antara suami dan istri karena yang dicapai adalah sakinah untuk semua anggota keluarga. Ini harus diliputi mawaddah dan rahmah. Mawaddah adalah aku mencintaimu karena aku ingin bahagia bersamamu, sedangkan rahmah adalah aku mencintaimu karena aku ingin membahagiakanmu.
Islam itu sangat progresif. Makanya, jangan pernah memaknai Islam dengan perspektif Jahiliyah. Pada masa Jahiliyah, perempuan dinikahkan secara paksa, bahkan sebelum menstruasi. Pemukulan istri juga menjadi budaya, bahkan menjadi jaminan utang. Islam datang membawa ajaran bahwa pernikahan harus dilakukan atas persetujuan keduanya, perempuan mendapat warisan, asas perkawinan adalah keadilan, dan pemukulan dilarang, termasuk kepada perempuan, segala bentuk paksaan pun dilarang termasuk dalam perkawinan.
Jadi linimasanya: zaman Jahiliyah, Islam datang membawa pencerahan yang progresif, dan sekarang tahun 2021. Seharusnya sejak pencerahan Islam, poligami dibatasi. Akan tetapi, sekarang masih ada saja yang berminat untuk poligami. Juga masih masih ada pemukulan terhadap istri. Bahkan dalam data Catatan Tahunan Komnas Perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, termasuk marital rape, menempati angka tertinggi.
Relasi suami istri yang seharusnya terjadi adalah kesetaraan, kesalingan, kesepakatan, dan keridaan. Tapi nyatanya masih ada perempuan yang menjadi objek seksual.
Hubungan seksual dalam ajaran Islam harus didiskusikan bersama. Demikian juga dalam hal nafkah, mengurus anak, dan membangun rumah tangga. Dalam keadilan gender tidak boleh ada satu jenis kelamin pun yang dirugikan. Misalnya istri tinggal di rumah, sementara suami bekerja, tapi pembagian peran ini tidak didiskusikan bersama. Ukuran kesetaraan juga jangan hanya uang, tapi sebesar besar energi yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak.
Saya mau merekomendasikan buku Menyelami Telaga Kebahagiaan yang membahas relasi suami istri yang ditulis oleh 20 ulama perempuan untuk dibaca. Ini sangat cocok untuk anak muda dan bacaan bagus untuk pra-nikah.
Menyebutkan bahwa ada kesulitan dalam kemajuan, apa penyebab dari hal tersebut?
Kemajuan jelas ada. Cuma jika menyangkut isu perempuan, masih tetap stagnan. Penyebabnya jelas adalah sistem patriarki yang masih sangat masif dalam kehidupan sehari-hari. Ideologi patriarki ini masuk ke narasi isu laki-laki dan perempuan yang kemudian mempengaruhi proses penafsiran ajaran agama, yakni, memposisikan laki-laki dalam pusat kuasa. Pengalaman laki-laki sebagai standar bagi perempuan, padahal pengalaman perempuan berbeda dengan laki-laki.
Ketika penafsiran agama menggunakan standar laki-laki dalam urusan perempuan tentu akan mengalami ketidakadilan dan diskriminasi. Kekerasan akan dilegalisasi dan dimaklumi oleh narasi agama. Padahal kita tahu bahwa syariat Islam adalah keadilan Allah bagi seluruh hambanya. Kita harus percaya bahwa Allah dan Rasul-Nya itu adil, maka al-Qur’an, hadist, dan sunnah Rasulullah juga membawa misi keadilan.
Kalau terjadi ketidakadilan terhadap perempuan dan kelompok minoritas tentu kita yakini bukan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Tapi kehendak manusia yang dipengaruhi oleh budaya patriarki. Tugas kita adalah bagaimana menginterpretasikan teks yang ada supaya kehidupan atau narasi agama itu tetap berada dalam jangkar keadilan. Tidak boleh keluar dari keadilan. Teks tidak berubah, tapi cara memaknai teks sangat dinamis.
Cara mengukur keadilan harus dilihat dari pengalaman biologis dan sosial laki-laki dan perempuan. Bukan sama rata, tetapi proporsional sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kata Kiai Faqihuddin Abd Kodir jika ada ayat yang ditujukan untuk perempuan ayo perlakukan juga untuk laki-laki. Kalau ada ayat yang ditujukan bagi laki-laki, mari perlakukan untuk perempuan dalam memaknai teks itu.
Sebagai contoh, ada teks jihad rumah tangga yang ditujukan untuk perempuan. Ayo, kita juga mengajak laki-laki untuk berjihad rumah tangga. Jadi, kita harus melibatkan keduanya dalam pemaknaan teks itu supaya ada kemajuan. Jihad rumah tangga enggak selalu mengurus anak, tetapi juga mencari nafkah dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kemaslahatan, kebaikan, dan kebahagiaan rumah tangga.
Al-Qur’an mengandung visi dan misi keadilan gender juga dalam ajaran tentang pernikahan, bagaimana mengajarkan keadilan atau mubadalah ini pada orang yang belum tahu atau pemahamannya berseberangan dengan kita?
Pertama, bagi mereka yang punya kemampuan dan pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Hadits, maka menginterpretasikan teks dengan perspektif keadilan gender sangat penting. Bisa menggunakan mubadalah atau maqashid syari’ah sebagai cara pandang dalam memahami teks agar hasilnya inklusif untuk semua.
Sekarang sudah banyak kajian dan gerakan yang menulis serta menginterpretasikan dengan perspektif mubadalah. Salah satunya adalah Kiai Faqihuddin Abd Kodir. Ada juga kitab Uqudullujain yang mengizinkan pemukulan terhadap istri, diinterpretasikan oleh Bu Sinta Nuriyah menjadi relasi suami istri yang adil dan setara.
Kedua, bagi yang tidak memiliki kemampuan perlu membekali diri dengan ilmu, baca buku atau ikut ngaji pada pengajian yang adil gender. Jangan malas ngaji, karena kita akan selalu berhadapan dengan orang yang memposisikan perempuan sebagai objek atas nama Islam.
Bagaimana cara menjawab kalau dia tidak punya pengetahuan agama yang ramah perempuan? Caranya ikut ngaji, bisa ngaji KGI dan atau ngaji Mubadalah. Sekarang telah banyak jaringan ulama perempuan Indonesia yang melakukan jihad penafsiran yang fokus membedah ayat-ayat perempuan yang dinilai diskriminatif, seperti poligami, hijab, dan khitan perempuan.
Ketiga, ada hadist yang berbunyi bahwa apabila kita melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan kekuasaannya. Kekuasaan adalah kemampuan kita. Misalnya, desain grafis, jika kemampuan kita di sini. Membuat konten media sosial, video, atau tulisan yang kreatif. Kalau tidak bisa melakukan itu, maka lakukan dengan lisan. Jika tidak bisa dengan lisan, ya dengan hati, meskipun hal itu adalah selemah-lemahnya iman. Selemah-lemahnya iman itu adalah sebarkan atau re-post. Itu salah satu cara untuk mencegah kemungkaran di media sosial agar keadilan gender terwujud.
Proyek jurnalistik ini didukung oleh International Media Support.
Comments