Women Lead Pendidikan Seks
January 06, 2021

Mau Lebih ‘PD’ Sama Tubuhmu? Pilih-pilih Ikuti Akun di Medsos

Banyaknya gambaran tubuh ideal yang tidak realistis di media sosial berdampak buruk terhadap kepuasan dan kepercayaan diri seseorang.

by Rachel Cohen dkk.
Lifestyle // Health and Beauty
Body Positivity_Self Love_KarinaTungari
Share:

Di era digital seperti sekarang, banyak konten yang berseliweran dan mudah sekali memengaruhi cara pandang, emosi, keinginan, hingga tindakan seseorang. Salah satunya terkait citra tubuh. Tidak jarang konten-konten yang menggambarkan tubuh ideal sampai mengganggu kesehatan mental sebagian pengguna media sosial. Tapi, apa semua penggunaan media sosial hanya berujung buruk? 

Penelitian terbaru kami menunjukkan bahwa melihat konten tubuh-positif di Instagram mungkin meningkatkan citra tubuh perempuan, setidaknya dalam jangka pendek.

Dengan kesadaran lebih, pengguna media sosial dapat mengkurasi media sosialnya. Mereka akan cenderung meng-unfollow atau memblokir akun-akun bertubuh ideal serta mengikuti konten-konten yang mempromosikan citra tubuh positif—mungkin seperti Celeste Barber–di Instagram. Celeste Barber memiliki akun Instagram tempat dia memarodikan foto-foto yang diambil oleh selebritas di media sosial mereka. 

Konten Bergambar Tubuh Ideal vs. Body Positivity

Kecemasan akan citra tubuh umum terjadi pada perempuan muda dan hal ini dapat berefek negatif. Kebanyakan perempuan muda menggunakan media sosial tiap hari dan penelitian menunjukkan bahwa melihat konten dengan penampilan yang ideal berhubungan dengan citra tubuh negatif.

Mengikuti akun-akun seperti anggota keluarga Kardashian/Jenner, akun yang berisi motivasi untuk meningkatkan kebugaran, atau influencer dan teman-teman yang memasang foto berbikinya, berhubungan dengan perempuan menjadi khawatir dengan penampilannya dan tidak puas dengan tubuh mereka sendiri. Hasilnya, beberapa perempuan dapat melakukan diet atau strategi berolahraga tidak sehat untuk mencapai tubuh ‘ideal’ yang mereka lihat di media sosial.

Akhir-akhir ini, muncul tren baru di media sosial bernama “body positivity” (“BoPo”) atau sikap positif terhadap tubuh. BoPo bertujuan untuk menantang standar kecantikan yang dangkal dan menganjurkan penerimaan dan apresiasi tubuh dalam segala bentuk, ukuran, dan penampilan.

Baca juga: ‘Imperfect’ Ingin Sebarkan Citra Tubuh Positif

Akun-akun BoPo seperti @bodyposipanda (dengan lebih dari 1 juta pengikut), sudah lumayan populer di Instagram. Pencarian tagar #bodypositive menunjukkan hampir 9 juta konten, dan #effyourbeautystandards (dipopulerkan oleh aktivis positivitas tubuh Tess Holiday) menunjukkan hampir 4 juta konten.

Sebuah analisis isi mengenai konten tubuh-positif di Instagram menunjukkan bahwa konten-konten ini memang menunjukkan berbagai bentuk dan penampilan tubuh. Konten ini meliputi:

  • Swafoto (selfie) perempuan yang bangga menunjukkan lipatan perut dan selulitnya
  • Perbandingan foto tubuh “asli” vs “editan”, mempromosikan kesadaran akan umumnya penggunaan fitur editing di Instagram
  • Kutipan menyayangi diri sendiri
  • Gambar-gambar menunjukkan fungsionalitas tubuh (apa yang dapat tubuh lakukan daripada bagaimana bentuknya)

Namun, Apakah Perempuan Merasa Lebih Baik?

Walau konten tubuh-positif ditujukan agar perempuan merasa lebih baik dengan penampilannya, sepertinya belum ada penelitian yang memastikan hal ini.

Dalam penelitian baru kami, 195 perempuan muda (18-30 tahun) melihat konten tubuh-positif, konten tubuh ideal dengan perempuan kurus, atau konten penampilan netral yang diambil dari Instagram.

Sebelum dan sesudah melihat konten ini kami bertanya pada mereka untuk menilai mood, kepuasan akan tubuh, hingga sampai mana mereka memperhatikan penampilan mereka (biasa disebut objektifikasi diri)

Kami menemukan bahwa pemaparan singkat terhadap konten tubuh positif di Instagram menghasilkan peningkatan citra tubuh dan mood dalam perempuan muda, dibandingkan dengan konten tubuh ideal atau netral.

Perempuan yang melihat konten tubuh positif merasa lebih puas dengan tubuh mereka, lebih mengapresiasi fungsi unik dan kesehatan tubuh mereka, dan memiliki mood lebih positif. Sebaliknya, orang-orang yang melihat konten bertubuh ideal di Instagram memiliki citra tubuh dan mood lebih negatif.

Baca juga: Kritik Polusi Visual, Seluk Beluk ‘Body Positivity’, dan ‘Body Neutrality’

Meski penelitian ini menemukan hasil positif untuk citra tubuh, di dalamnya juga ditemukan bahwa konten positif tubuh dapat membuat perempuan lebih fokus pada penampilan fisik daripada aspek lain dari diri mereka sendiri.

Ini merupakan kritik terhadap akun tubuh-positif pada masa sebelumnya. Para pengkritik menilai bahwa lebih baik akun-akun tersebut berfokus pada aspek diri di luar penampilan fisik untuk meningkatkan kebahagiaan para pengikutnya.

Kita butuh lebih banyak riset untuk menentukan efek dari konten tubuh-positif ke depannya dan mengeksplorasi tipe konten apa yang lebih membantu daripada yang lain.

Cerdas Mengikuti Akun Media Sosial

Melihat popularitas media sosial di antara perempuan muda, kita perlu mengerti tipe penggunaannya yang mungkin membantu atau berbahaya untuk citra tubuh. Tidak seperti konsumen media tradisional (seperti majalah dan televisi), pengguna media sosial sekarang menjadi pembuat konten yang aktif dan bebas mengunggah dan melihat apa pun.

Yang menarik, penelitian baru lain menemukan bahwa menunjukkan konten Instagram parodi lucu (@celestebarber) kepada perempuan lebih mungkin meningkatkan citra tubuh dan mood positif, dibandingkan dengan melihat konten tradisional selebritas kurus.

Jadi, mungkin media sosial tidak sepenuhnya buruk asalkan kita lebih sadar akan konten apa yang kita konsumsi. Pilihan tepat mengenai siapa yang kita ikuti, dan pesan apa yang mereka usung, mungkin dapat membuat kita merasa lebih baik.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.

Rachel Cohen adalah psikolog klinis dan kandidat PhD di University of Technology Sydney. Amy Slater adalah Associate Professor di University of the West of England. Jasmine Fardouly adalah peneliti pascadoktoral di Macquarie University.