Semalam suntuk Alexa tidak bisa tidur nyenyak. Berkali-kali tidurnya diusik oleh sebuah mimpi. Ia terbangun lima kali dalam kurun enam jam yang ia habiskan untuk mencoba terlelap. Berulang kali mimpi tersebut selalu menampilkan potongan adegan yang sama.
Dalam mimpi-mimpi tersebut Alexa seolah mendadak menderita buta warna yang menyeluruh. Semua warna yang ada dalam rentang bauran cahaya yang biasanya mampu ia tangkap menjadi lenyap. Yang tampak hanya warna hitam, putih serta seberkas abu-abu. Ia memasuki sebuah rumah yang sunyi dan dingin. Mengambil bayi berusia setahun dari ranjang kecilnya. Lalu mencekik bayi tersebut hingga si kecil kehilangan napas. Lalu memasukkan mayatnya ke dalam sebuah kantung plastik yang terawang oleh cahaya, mengikatnya dengan seutas tali, memasukkannya ke dalam lemari es.
Tiada seorang pun menyaksikan peristiwa tersebut. Tidak juga Max ataupun istrinya. Mereka berdua sedang sama-sama pergi keluar kota. Bagaimana ia berhasil masuk ke dalam rumah itu, hinggap di kamar jabang bayi tanpa sepengetahuan para penjaga rumah sungguh gagal ia pahami. Juga bagaimana ia dapat menerobos masuk, padahal semua celah menuju rumah tersebut senantiasa dikunci rapat, apalagi ketika tuan dan nyonya rumah sedang tiada. Yang ia ingat hanyalah ia telah membunuh bayi tersebut dan meletakkannya di dalam kulkas. Dalam latar malam hari hitam-putih tersebut, ia berjingkat-jingkat untuk melarikan diri sebelum ketahuan. Namun ia selalu mendengar seruan yang selalu ia kenal tersebut. Seruan dari Max dan istrinya Nancy. Biadab! Kurang ajar! Kata mereka.
Setelah itu, ia selalu terbangun dalam keadaan amat sangat takut. Lantas ia keluar kamar untuk mengambil air putih, menenggaknya pelan-pelan untuk menenangkan diri. Lantas ia pun mulai berdoa lagi. Maka jauhkanlah kami dari yang jahat, tetapi bebaskanlah kami dari cobaan... Saking takutnya ia, berdoa pun sampai salah-salah. Lalu ia mencoba memejamkan mata sekali lagi. Namun, entah karena doanya salah atau bagaimana, mimpi itu selalu datang lagi dan lagi, bagaikan anak keras kepala yang enggan berhenti merengek.
***
Tiba-tiba perasaannya terhadap si teman lama itu bangkit kembali. Bangkit setelah seolah-olah berhasil dikuburkan selama 20 tahun. Namun perasaan itu jangan sampai diberi kesempatan untuk bersemi dalam hati.
Mengapa tidak boleh? Karena lelaki itu Max. Sudah beristri. Sudah punya anak kecil pula. Sudah tahu begitu mengapa masih tetap dilakukan? Alexa bingung sendiri. Inilah bahayanya memelihara api di dalam sekam, kata beberapa orang. Inilah bahayanya terlalu sayang terhadap seseorang, kata orang-orang yang lainnya lagi. Inilah bahayanya jatuh cinta waktu masih muda. Sekali terperosok pastinya susah lupa.
***
Cina kafir! Cina kafir! Cina kafir!
Hinaan teman-temannya satu SMA membuat Alexa menangis. Bulir-bulir air matanya bersekongkol untuk membuat matanya rabun dan pandangannya kabur. Saat ia sedang dijahati seperti ini oleh murid-murid lainnya, ia hanya dapat berdiri sendirian. Tunggu, bukan dapat sendirian, tetapi terpaksa sendirian. Tiada yang mau berteman dengannya. Ketika gerombolan itu bisa asyik dan seru menggojlok anak-anak lain dengan kerumunannya yang riuh rendah, Alexa hanya dapat berdiri sendirian dan menangis.
Sampai suatu hari, ia merasakan genggaman tangan yang membuat telapak tangan kirinya itu terasa sejuk. Diam kalian, jangan ganggu temanku lagi! Cemoohan kemudian bergulir: kafir miskin! Kafir miskin! Hahahahaha! Kafir sama kafir temenan! Yang satu cina yang satu lagi fakir miskin! Kawin aja sekalian! Kawin! Kawin!
Namun, di tengah cemoohan tersebut, Alexa merasakan air matanya tiba-tiba surut. Genggaman sejuk tersebut tidak akan pernah ia lupakan.
Max.
Lelaki pertama yang mengulurkan hangat persahabatan padanya. Lelaki pertama yang melumat bibirnya. Lelaki pertama yang ia gerayangi seluruh bagian tubuhnya ketika sedang sama-sama telanjang.
Lelaki pertama yang kemudian menghilang. Kemudian seolah terlupa. Sebelum sebuah perjumpaan kembali membunuh semua kealpaan tentang ingatan yang sesungguhnya masih begitu segar, begitu bergairah.
Begitu hidup.
***
Alexa jarang berminat untuk pergi ke bar. Ia tidak tahan dengan ingar-bingar yang konon meledak-ledak di tempat-tempat semacam itu. Lebih lagi, Alexa benci minuman beralkohol. Baru mengendus baunya saja ia ingin muntah.
Namun, tidak seperti biasanya, malam itu tetiba ia sungguh bersemangat untuk mengunjungi sebuah bar yang terletak di antara remang-remangnya sebuah pusat perbelanjaan terbuka di bagian Barat Jakarta. Mengapa? Bar itu adalah milik Max, yang tiba-tiba menjadi sangat terkenal karena merintis sebuah usaha minuman keras digawangi oleh para ahli campur (mixologist) yang ramuannya paling yahud seantero Jakarta. Baik nama Max, maupun bar tersebut melejit, membuat orang heboh, menjelma buah bibir kalangan jet set Jakarta yang senang terbius oleh ruangan di mana bebauan alkohol yang keras tumpah ruah, yang biasanya membuat Alexa pening dan ingin muntah.
Di pojokan yang sunyi sepi terlindung dari pandangan mata orang lain, ditemukannya Max sedang duduk sendirian di meja bar yang temaram, sibuk mengetak-ngetik ini dan itu dengan komputer pangku miliknya. Lelaki itu tampak begitu jor-joran dengan pekerjaannya, matanya terpaku pada layar si komputer pangku, sampai-sampai ia gagal menyadari bahwa di sebelahnya telah duduk seorang perempuan. Perempuan yang untuk siapa, lelaki itu telah berbagi tubuhnya untuk pertama kali. Puluhan tahun yang lalu.
Dengan wajah usil, Alexa memandangi terus lelaki yang sibuk itu tanpa mengucap sepatah katapun. Setelah lima menit, baru ia berkata: “Sombong amat, mentang-mentang sudah kaya dan berhasil jadi pengusaha nih ya!”
Max menoleh ke arah Alexa. Ingatan itu tidak lekang dimakan dua dasawarsa. “Woi cina kafir!” ujarnya sembari bergurau.
“Woi kafir miskin yang sudah bukan fakir miskin lagi!” Lalu mereka berpelukan.
***
Mereka berdua masuk ke dalam unit apartemen Alexa, melemparkan baju hingga telanjang lalu bercinta dengan rakus. Seolah-olah terjadi pemampatan waktu. Seolah-olah terjadi lompatan zaman. 20 tahun tidak sedikit pun berhasil mengubah perasaan antara Alexa dan Max.
Mereka saling melucuti pakaian satu sama lain. Namun ketika Max melepaskan celananya dan memperlihatkan burung hitamnya, Alexa mengeluarkan sebuah reaksi yang aneh. Ia menjerit ketakutan. Padahal benda itulah yang dulu membuatnya merasakan getaran dahsyat di sekujur tubuhnya untuk pertama kalinya.
Mengamati reaksi tersebut, Alexa dan Max sama-sama bingung. Namun Max paham. Ia mengenakan kembali celana dan pakaiannya. Alexa pun melakukan hal yang sama. Akhirnya mereka memutuskan untuk saling berbincang di balkon apartemen Alexa.
“Maaf ya, Max, entah mengapa tadi aku tidak bisa melakukannya,” ujar Alexa.
“Ya, mungkin karena di alam bawah sadarmu kamu punya perasaan bersalah... Aku kan sudah beristri,” kata Max.
“Basa-basi. Padahal tampangnya sudah mesum begitu tuh. Kamu kasihan sekali sih, punya rumah sebesar istana dengan ratu cantik begitu tapi malah telanjang-telanjangan sama cewek semenjana di apartemen reyot macam begini...”
Alexa terdiam sebentar sebelum melanjutkan: “Istrimu tampangnya seperti apa sih? Pasti cantik ya?”
“Cantik sih iya... tetapi aku tidak bahagia dengannya...” ujar Max.
“Lho kok?”
“Kami menikah terpaksa soalnya...”
“Wah parah kamu, hamilin dia duluan ya? Untung waktu kita begituan dulu, kamu bisa ngecrot di luar ya... Hahaha”
“Bukan! Bukan karena hamil duluan!”
“Terus terpaksa gara-gara apaan dong?”
“Aku butuh duit! Sudah bosan jadi orang miskin, jadi bahan tertawaan orang terus...”
“Memang kerjaanmu sebelum ini apa?”
“Wartawan!”
Alexa tertawa terpingkal-pingkal. “Jan-gan bi-lang war-tawan ti-vi...”
“Hah, kamu ini, orang sial kok malah ditertawakan. Dulu sih aku suka pekerjaan itu, gara-gara idealisme taik kucing aja. Capeknya dapat, uang gak ada, gak ada kehidupan sosial pula... Ternyata dari ratusan orang wartawan tivi hanya segelintir yang bisa jadi terkenal...”
“Hei, berhenti sebentar dong curhatnya. Toh sekarang kamu sudah kaya kan. Coba aku tebak deh. Istrimu orang kaya ya?”
“Anak orang kaya.”
“Kok bisa mau sih, anak gedongan sama kamu? Oya, kamu ganteng sih ya.”
Max tersipu malu.
“Nikah terpaksa, jadinya bukan berdasarkan cinta ya?”
“Cinta sih,” jawab Max.
“Plin-plan ah!”
“Cinta kok aku sama dia. Cuma intercourse tanpa ada rasa,” ujar Max bergurau.
“Anying!”
***
Alexa jatuh cinta lagi. Pada orang yang sama. Pada perasaan yang sesungguhnya tak pernah ada matinya. Lagi-lagi, malam itu mereka tidak bersenggama atau terlibat sentuhan fisik apapun. Hanya berbicara di balkon apartemen Alexa.
“Aku mau menceraikan istriku,” ujar Max.
“Yakin? Nanti kangen duitnya lho...”
“Yakin. Aku sudah tidak tahan lagi. Ayahnya kerap kali menghina-hina diriku. Kamu bukan siapa-siapa kalau bukan karena uang saya. Pasalnya, Nancy mulai sering mengeluh pada ayahnya bahwa aku seringkali gagal memuaskannya di tempat tidur...”
Alexa tertawa. “Cuma intercourse tanpa ada rasa... Terang saja dia tidak puas dong! Mana rasanya! Mana getarannya! Getaran di selangkangan itu! Ngaku deh, jangan-jangan waktu kamu ngewein dia, kamu bayangin bintang bokep ya!”
“Kamu tuh, orang curhat kok enggak ada simpati-simpatinya sama sekali, malah jadi bahan guyonan...”
“Jangan hanya omong kosong, kalau berani tuntut cerai tuh perempuan, kayak kamu berani ninggalin bayimu aja!”
“Sumpah, aku berani kok...” Max bicara, sebelum mulai menggerayangi lengan Alexa. “Sayang, malam ini kasih aku dong... aku kan sudah berniat menceraikan istriku, masak sih kamu masih takut melihat burungku dan ngeri kena hukum karma karena tidur sama suami orang?”
“Huh! Dasar, sok-sok alim padahal kepingin! Ceraikan dulu istrimu, baru aku kasih! Aku memang lajang, tetapi aku bukan perempuan murahan!”
***
Banyak peristiwa bergulir di luar dugaan Alexa. Suatu hari, ia mendapatkan panggilan telepon dari nomor yang tidak ia kenal. Tanpa curiga, ia mengangkat panggilan tersebut.
“Hei sundal! Jangan berani-berani ya kamu rebut suami saya! Harus kamu ketahui, dia itu hanya lelaki bajingan yang bermanis-manis mulut sama kamu supaya bisa dapat kesempatan ngentot gratis di luar rumah! Dia bilang mau ceraikan aku untuk menikahi kamu kan? Bohong! Kemarin dia ketangkap basah sedang bergurau dengan temannya lewat telepon, bilang bahwa dia tidak akan sudi menikahi perempuan frigid yang bahkan melihat burung lelaki saya takut!”
Sebelum Alexa sempat membalas sumpah serapah perempuan tersebut, teleponnya sudah terlanjur dibanting dari ujung sana.
Dua pekan kemudian, Max menelepon Alexa. Suaranya bergetar. Alexa dapat membayangkan air mata tumpah ruah menyusuri pipi lelaki tersebut. Si ayah mertua mengancam akan membunuhnya kalau berani menorehkan skandal pada nama besar keluarga mereka yang konon bangsawan tersebut.
Mendengar pengakuan tersebut, juga caci maki yang dilancarkan oleh istri Max melalui telepon sepekan sebelumnya, sebuah gejolak yang sudah lama asing bagi Alexa tiba-tiba mencuat lagi dari dalam benaknya. Gejolak kemarahan terpendam.
Cina kafir! Cina kafir! Cina kafir!
SENDIRIAN, ALEXA SENDIRIAN. SENDIRIAN TERUS SELAMANYA. DARI MASA REMAJA HINGGA BERANJAK DEWASA.
Semua orang mengkhianatiku. Dulu, semua teman-temanku di sekolah menghina diriku. Ketika ada satu lelaki yang menenangkan demam batinku dengan genggamannya yang sejuk, satu-satunya andalanku dan sahabatku itu pun pada akhirnya kabur demi perempuan yang lebih kaya.
Dia enak-enak di rumahnya yang besar itu. Bersama istri yang kendatipun hanya dientot setiap hari di ranjang namun dapat memberikannya keamanan dan jaminan kesejahteraan hidup. Yang mampu membuahkannya seorang anak. Sementara aku?
SENDIRIAN, ALEXA SENDIRIAN. SENDIRIAN TERUS SELAMANYA. DARI MASA REMAJA HINGGA BERANJAK DEWASA.
Aku sudah letih dengan pekerjaan keparatku sebagai sales marketing. Tidak ada pergaulan, tidak ada kehidupan. Sehari-hari hanya bertemu klien, berjualan, menghabiskan waktu di jalan, sendirian di kantor tempat semua orang saling sikut-sikutan, ketika pulang pun disambut oleh apartemen yang kosong melompong. Tiada keluarga. Tiada saudara. Mereka semua musnah dalam api.
Api yang melalap rumahku dalam kerusuhan itu.
Tombak jahanam yang merobek kelaminku dalam kerusuhan itu.
Tiada suami. Semua lelaki pergi setelah tahu apa yang pernah terjadi pada diriku. Menganggapku sebagai perempuan nista. Alih-alih menyalahkan para lelaki biadab yang asyik mengumbar naluri binatang mereka. Naluri untuk menghancurkan.
Selalu perempuan yang jadi korban.
Selalu cina kafir.
ANJIIIIIING!!!
Aku berharap aku punya pistol revolver yang seluruh magasinnya terisi peluru. Serta sepasang sarung tangan. Serta plastik bening juga seutas tali.
Malam itu Alexa bermimpi membeli pistol revolver yang seluruh magasinnya terisi peluru, sepasang sarung tangan, plastik bening juga seutas tali. Memasuki rumah Max secara diam-diam. Membunuh bayi. Loncat ke beberapa hari berikutnya. Max membuka pintu selepas pulang dari perjalanan dinas ke luar kota. Alexa menembak kepala lelaki tersebut.
Alexa bangun dengan wajah pucat pasi.
***
Keesokan harinya, rumah keluarga Nancy dihebohkan oleh penemuan dua mayat. Mayat bayi di kulkas serta mayat Max dengan pelipis bolong.
Benak Alexa terus berkecamuk oleh mimpi-mimpi mengerikan bahwa ialah yang sesungguhnya bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Ia terus-terusan berdoa. Upayanya untuk bisa tidur nyenyak selama enam jam sebelum besok bekerja sebagai tenaga sales keparat pun selalu sia-sia.
Sudah lima bulan berlalu. Namun penderitaan itu tak kunjung enyah juga... Bahkan setelah ayah mertua Max resmi ditangkap oleh polisi beberapa hari setelah kejadian tersebut. Mengaku emosi, lelaki itu kalap dan menghabisi menantunya karena pengaduan si anak perempuan manja tentang lelakinya yang tidak memuaskan di ranjang dan senang ke sana-ke mari mencari perempuan lajang atau jalang. Lalu mencekik cucunya hingga mati dalam sebuah ketegangan jiwa yang sulit dijelaskan.
Kisah sukses miskin-jadi-kaya serta bar yang pernah dimiliki Max ternista selamanya. Orang jadi enggan mengunjungi bar tersebut karena kisah mengerikan yang terpaut dengannya. Kini sang ayah mertua dipenjara dan anaknya berakhir di rumah sakit jiwa.
Dan Alexa tetap bergulat dengan sederetan mimpi buruk yang seolah enggan meninggalkan alam bawah sadarnya.
Comments