Women Lead Pendidikan Seks
November 02, 2020

Operasi Caesar Naik Setelah Ada JKN, Waspadai Risikonya bagi Ibu Melahirkan

Meskipun risiko kematian ibu yang melahirkan lewat operasi caesar tinggi, metode persalinan macam ini justru makin populer sejak JKN diberlakukan.

by Sofia Al Farizi
Issues
Melahirkan_Hamil_SarahArifin
Share:

Semenjak pemerintah memberlakukan kebijakan asuransi sosial melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), angka persalinan melalui operasi caesar meningkat. Tidak hanya berdampak pada bertambahnya beban yang ditanggung BPJS Kesehatan, meningkatnya tindakan operasi caesar pada ibu melahirkan bisa mendatangkan dampak buruk pada kesehatan ibu jika dijalankan tanpa indikasi medis yang kuat.

Riset yang saya lakukan di empat rumah sakit rujukan di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan ada kenaikan signifikan proporsi persalinan melalui operasi caesar sebelum dan setelah JKN diimplementasikan.

Sebelum JKN (2012-2013), sekitar 45 persen dari 4.435 persalinan di sana dilakukan lewat operasi caesar. Setelah implementasi JKN (2014-2016) proporsi ini meningkat signifikan di atas 10 persen, menjadi 53 persen dari 4.241 persalinan.

Yang mengkhawatirkan, proporsi kematian pada persalinan operasi caesar juga melonjak tinggi di sana. Sebelum JKN, tindakan caesar menyumbang 50 persen (empat dari delapan kematian saat bersalin) dari keseluruhan kasus kematian ibu bersalin di empat rumah sakit rujukan di Banyuwangi. Sedangkan, selama JKN, operasi caesar berkontribusi terhadap 60 persen (enam dari sepuluh kematian) dari keseluruhan kematian ibu bersalin.

Memang, WHO menyatakan peningkatan persalinan caesar secara drastis tidak terbukti menurunkan kematian ibu maupun bayi yang dilahirkan. Komplikasi obstetrik menjadi penyebab yang mendominasi kematian ibu pada tindakan persalinan caesar, seperti perdarahan pascapersalinan, rahim robek, kejang dalam kehamilan (preeklampsia/eklampsia) dan infeksi pasca persalinan.

Agar masalah ini tidak makin membesar, Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan harus mengevaluasi standar operasi caesar dan meningkatkan pengawasan pelaksanaan standar tersebut.

Tren operasi caesar di banyak kota

Lebih dari 222 juta penduduk kini mengikuti program asuransi sosial yang dikelola BPJS Kesehatan ini sehingga JKN menjadi salah satu asuransi sosial terbesar di dunia.

Secara nasional, persalinan caesar sejak implementasi JKN cenderung naik dari tahun ke tahun. Pada 2014, 52 persen dari 673.917 persalinan mendapatkan tindakan caesar. Operasi serupa, berturut-turut menjadi 55 persen tahun berikutnya, 57 persen pada 2016, dan pada 2017 naik jadi 59 persen dari sekitar 1,2 juta persalinan. Padahal, organisasi kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan bahwa persalinan caesar hanya 10-15 persen dari seluruh total persalinan.

Di tengah kondisi BPJS Kesehatan yang selalu defisit setiap tahun, klaim pembayaran persalinan caesar  merupakan salah satu pelayanan yang menyedot anggaran terbesar BPJS dari 2014 sampai 2018. Pada 2018 saja, persalinan caesar menghabiskan biaya Rp 4,7 triliun. Sedangkan biaya total untuk persalinan normal hanya Rp 1,2 triliun. Klaim pembayaran tindakan caesar menempati urutan pertama  dalam INA-CBG (aplikasi yang digunakan rumah sakit untuk mengajukan klaim).

Baca juga: Hamil di Tengah Pandemi, Perempuan Dapat Beban Ekstra

Di level rumah sakit, sejumlah riset menunjukkan lonjakan operasi caesar tidak hanya terjadi di Banyuwangi, tapi juga di daerah lain  seperti Yogyakarta, Semarang, dan Manado.

Secara administratif, peningkatan tindakan caesar menjadi sebuah bukti bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan sudah berjalan lebih baik. Namun, jika peningkatan pemanfaatan pelayanan ini tidak disertai kualitas pelayanan yang baik, maka akan menimbulkan dampak yang buruk pada kesehatan ibu.

Alasan angka operasi caesar melonjak drastis

Dalam riset di Banyuwangi, terungkap ada beberapa penyebab melonjaknya operasi caesar dan kasus kematian ibu terkait persalinan.

Pertama, keterlambatan rujukan. Kurangnya deteksi dini oleh bidan wilayah menyebabkan komplikasi kehamilan tidak dapat diketahui sejak dini, sehingga rujukan berencana tidak dapat dilakukan.

Penyebab lain keterlambatan rujukan adalah permasalahan komunikasi antara Puskesmas dan bidan praktik mandiri mengenai indikasi rujukan. Kondisi ibu yang sudah dalam komplikasi adalah dampak dari keterlambatan rujukan. Parahnya komplikasi menjadi indikasi untuk dilakukan tindakan persalinan caesar.

Kedua, banyaknya riwayat persalinan caesar yang menjadi bom waktu pada persalinan berikutnya. Jika persalinan anak pertama lewat caesar, maka persalinan anak kedua dan seterusnya kemungkinan besar juga lewat caesar karena ibu memiliki indikasi untuk dicaesar. Dampaknya, metode persalinan ini mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tren serupa juga terjadi di sebuah rumah sakit di Aceh.

Ketiga, ada indikasi kecurangan pada fasilitas kesehatan maupun tenaga kesehatan. Tidak sesuainya tarif yang ditetapkan dalam INA-CBGs dengan biaya riil menjadi indikasi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan diduga berbuat curang.

Rumah sakit mengeluhkan beberapa peraturan yang dibuat oleh BPJS Kesehatan. Misalnya, rumah sakit menghindari tindakan induksi persalinan untuk persalinan normal dan sebaliknya mendorong ibu untuk bersalin dengan metode persalinan caesar. Pasalnya, rumah sakit tidak mendapatkan penggantian biaya dari BPJS Kesehatan pada tindakan induksi yang diberikan kepada ibu yang ujungnya dilakukan tindakan caesar.

Padahal, rumah sakit sudah mengeluarkan biaya untuk tindakan induksi. Secara teknis, persalinan caesar cenderung dipilih oleh dokter karena waktunya lebih pasti dibanding persalinan normal yang butuh waktu lebih lama untuk mengobservasi.

Dalam praktiknya, pembayaran uang jasa untuk dokter saat menginduksi untuk persalinan normal lebih kecil dibandingkan dengan persalinan caesar. Jika kondisinya ibu yang sejak awal direncanakan melahirkan normal dan ujungnya bersalin dengan caesar, maka dokter tidak mendapatkan pembayaran jasa saat melakukan observasi persalinan normal. Jadi secara ekonomi, bagi dokter, persalinan caesar lebih menguntungkan dibanding persalinan normal.

Karena itu, Kementerian Kesehatan perlu mengevaluasi tentang sistem reimbursement bagi fasilitas kesehatan dan fee yang diberikan kepada tenaga kesehatan dalam sebuah sistem jaminan kesehatan. Sebab, permasalahan pendanaan memang menjadi indikasi terjadinya pemilihan tindakan yang merugikan pasien dan perilaku tenaga kesehatan yang berpotensi menabrak kode etik.

Dampak ledakan operasi caesar

Dalam konteks asuransi kesehatan, peningkatan persalinan caesar memang menjadi sebuah gambaran bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan semakin baik. Namun, pemanfaatan ini akan memberikan dampak buruk kepada ibu jika dilakukan tanpa indikasi medis.

WHO menyatakan operasi caesar dapat memberikan dampak positif kepada ibu dan bayi, selama tindakan ini dilakukan dengan indikasi medis, seperti ari-ari menutupi jalan lahir, kelainan letak, janin besar, janin dalam posisi sungsang, denyut jantung janin melemah saat proses kelahiran, panggul sempit, dan lainnya.

Sebaliknya, persalinan caesar dapat memberikan dampak komplikasi, kecacatan sampai dengan kematian jika dilakukan tanpa indikasi medis. Diagnosis maupun tindakan yang tidak tepat pada proses pelayanan kebidanan akan menurunkan kualitas pelayanan, dan dampaknya akan meningkatkan risiko kematian ibu.

Sebuah riset di Belanda berkesimpulan persalinan caesar tidak selamanya memberikan dampak positif kepada ibu karena dapat meningkatkan risiko kematian ibu tiga kali lebih besar dibandingkan persalinan normal. Tindakan ini juga dapat menambah risiko infeksi pasca persalinan. Riset lain menyebutkan operasi caesar dapat meningkatkan risiko kematian pascapersalinan akibat perdarahan.

Beban psikologis  juga akan dirasakan ibu ketika mereka dalam proses adaptasi setelah operasi caesar, khususnya pada operasi caesar darurat. Ibu akan mengalami trauma, kecemasan, sampai dengan kendala dalam memberikan air susu eksklusif kepada bayinya.

Baca juga: Matrescence: Apa yang Saya Pelajari Saat Bertransisi Jadi Ibu

Karena itu, BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan perlu kembali mengevaluasi tentang parameter yang lebih jelas mengenai indikasi untuk pengambilan tindakan persalinan caesar.

Jangan sampai kebijakan yang dibuat justru menjadi peluang untuk terjadinya kecurangan di kalangan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan.

Kecurangan ini bukan hanya menjebol anggaran BPJS Kesehatan, tapi juga berpotensi membahayakan nyawa ibu jika operasi caesar dilakukan tanda adanya indikasi yang memadai.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Sofia Al Farizi adalah pengajar bidang Kebidanan di Universitas Airlangga