Social Justice Warrior (SJW) adalah istilah populer di Twitter. Kurang lebih setahun lalu, saya membaca tulisan apik Nesita Anggraini mengenai kecenderungan beberapa kenalan lawan jenis yang menggunakan SJW sebagai istilah peyoratif untuk melabeli mereka yang berada satu barisan dengan gerakan feminisme.
Tidak hanya dalam tulisan Nesita, beberapa kenalan saya kerap menuliskan istilah SJW untuk menyanggah argumen di laman daring, mengutarakan kepenatan melihat opini-opini yang memperjuangkan, tidak hanya isu feminis, tapi isu-isu politik, sosial, dan ekonomi, bahkan sekadar menertawakan teman yang mulai menaruh perhatian terhadap permasalahan di ranah publik.
Pertanyaan yang bisa jadi penting, bisa jadi tidak adalah: Apakah tepat SJW digunakan untuk “merepresentasikan” kelompok yang memperjuangkan kesetaraan dan meluruskan ketidakadilan sistemis, atau mungkinkah selama ini tidak banyak yang benar-benar paham, termasuk saya, bagaimana istilah ini muncul dan sebaiknya digunakan?
Menurut data Google Trends, pencarian definisi istilah SJW mendominasi tren terkait kata ‘SJW’ dalam setahun ke belakang. Tidak sedikit pengguna Google di Indonesia mengetik kata kunci “kepanjangan sjw”, “arti sjw twitter”, “sjw itu apa”, dan “sjw artinya”. Ini artinya, setidaknya masih banyak dari kita yang baru saja menemukan istilah ini di portal media sosial dan tergerak untuk mencari tahu sebelum menggunakannya.
Baca juga: ‘Call-Out Culture’ di Media Sosial: Berfaedah atau Bikin Lelah?
SJW Punya Denotasi Positif Pada Periode 1990-an
Menilik sejarah interpretasi dalam publikasi media, SJW sesungguhnya memiliki denotasi positif pada periode 1990-an. Misalnya, untuk mengapresiasi Michel Chartrand, pemimpin gerakan asosiasi dagang di Quebec, Kanada, atau memuji mereka yang berprofesi di bidang hukum. Pergeseran maknanya ke arah negatif baru dimulai pada tahun 2014 ketika istilah tersebut di-“berdayakan” untuk mengolok-olok perempuan dalam permainan daring (online gaming).
Ada dua definisi yang, sejujurnya, saya masih belum paham mana yang lebih tepat untuk dijadikan acuan. Oxford Dictionaries mengasosiasikan istilah SJW dengan makna peyorasi untuk mereka yang mempromosikan perspektif progresif. Urban Dictionary, portal yang menghimpun definisi bahasa gaul dari berbagai kontributor, menyajikan definisi serupa namun menambahkan bahwa mereka yang dilabeli SJW tidak hanya mempromosikan perspektif progresif, namun menggunakannya untuk menjadi pusat perhatian dan tidak benar-benar peduli dengan isu yang mereka sampaikan.
Jika definisi tersebut paling mendekati secara praktis, tentu bagaimana istilah ini digunakan dalam pembicaraan media sosial telah bergeser lebih dalam. Dari fungsi mempertanyakan apakah mereka yang berbicara tentang suatu isu sungguh-sungguh memahaminya, istilah itu menjadi alat menertawakan siapa pun yang berupaya peduli pada isu terkini, terlepas dari rasionalitas argumen yang disampaikan.
Istilah SJW Sebagai Pintu untuk Dialog Tertutup
Sesungguhnya, penggunaan istilah SJW agak kurang sesuai untuk dipraktikkan dalam ruang-ruang bebas media sosial. Sebab, siapa pun boleh bersuara mengenai isu-isu publik yang meresahkan. Ketika definisi ini bergeser menjadi alat menertawakan siapa pun yang mulai peduli terhadap isu-isu publik terlepas dari isi pesan yang disampaikan, hal ini meniadakan kesempatan untuk belajar melalui keterlibatan dalam diskusi terbuka di media sosial.
Walaupun seseorang tidak memiliki kaliber yang mumpuni untuk ikut berujar dalam isu progresif menyangkut permasalahan struktural, mengasosiasikannya dengan istilah SJW tidak hanya tak berdasar, namun berpotensi menutup pintu bandwagoning bagi isu-isu yang telah lama dianggap sensitif untuk dibicarakan dan memerlukan dukungan dari berbagai pihak.
Kita tentu masih ingat kasus pelecehan seksual terhadap Agni, mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM), ketika Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kasus ini mengisi ruang media sosial selama beberapa minggu dan memulai percakapan mengenai pentingnya standar penanganan kekerasan seksual di lingkungan akademis.
Memang tidak sedikit yang mempertanyakan mengapa kasus ini berujung damai setelah perdebatan alot di publik. Namun, penyintas kekerasan seksual dan mereka yang sudah khatam membantu perjuangan para penyintas paham betapa sulit membuka percakapan ini di tingkat otoritas kampus. Suara-suara beberapa pengguna media sosial yang dilabeli SJW karena turut mendorong tindak lanjut kasus ini bagai kunci untuk pintu berkarat yang tidak pernah bisa dibuka.
Penggunaan istilah SJW untuk mengakhiri obrolan dengan lawan bicara semata-mata untuk merendahkan keingintahuan personal juga merupakan “penyakit” terbesar. Pendapat sederhana yang tidak menyakiti siapa pun, seperti membantu pramusaji membereskan hidangan sampai diskusi mengenai imbauan #DiRumahSaja bagi mereka yang bukan pekerja esensial di situasi pandemi, saat ini ditepis dengan label peyoratif SJW.
Label SJW dapat menjadi “penyakit” berkepanjangan ketika digunakan secara masif untuk membungkam kampanye dan ajakan-ajakan baik dari dan untuk individu, tanpa berupaya mengutarakan argumen yang mendasari penolakan pesan tersebut.
Karena media sosial merupakan ruang-ruang kedap tanpa sekat, tentu memberi label SJW boleh saja dan tidak akan menggetarkan satu negara. Namun, ia dapat menjadi “penyakit” berkepanjangan ketika label ini digunakan secara masif untuk membungkam kampanye dan ajakan-ajakan baik dari dan untuk individu, tanpa berupaya mengutarakan argumen yang mendasari penolakan pesan tersebut.
Baca juga: Hentikan Debat Kusir dan BuzzeRp: 6 Tips Berargumen di Media Sosial
Alih-alih menjelaskan alasan mengapa kampanye tersebut tidak ia setujui secara konstruktif, kalimat-kalimat seperti, “Banyak protes lo, dasar SJW” atau “Susah jadi pemerintah, banyak SJW”, mencirikan persetujuan absolut terhadap otoritas tanpa mempertanyakan alternatif dari status quo yang mungkin telah dan berpotensi merugikan banyak orang. Ujungnya, setiap orang akan berpikir seribu kali untuk menyuarakan perubahan akan status quo, merenung sebelum berujar hal baik remeh temeh sampai hal-hal besar seperti kesenjangan akses terhadap kesehatan atau pendidikan sebab menghindari label SJW disematkan kepadanya.
Apakah lantas kekurangan SJW itu nihil dan istilah itu sebaiknya diperbaiki maknanya? Ini pertanyaan eksistensialisme yang saya tidak yakin kebenaran tunggal bisa menjawabnya. Mungkin saja arti peyoratif SJW masih cocok untuk segelintir orang, seperti:
- Mereka yang menyebut dirinya memperjuangkan isu pemuda, namun menihilkan fakta di lapangan mengenai susahnya membayar uang sewa atau mencicil tempat tinggal di ibukota dengan pendapatan UMR yang diperoleh pekerja usia muda.
- Mereka yang mengatakan dirinya paham dan peduli akan kesetaraan, namun menyerang korban kekerasan seksual dengan mempertanyakan mengapa kasusnya tidak dibawa ke meja hijau dan dijadikan parade tontonan kanal media sosial.
- Mereka yang paham adanya kesenjangan, mengambil segenggam isu untuk menaikkan citra diri di hadapan mayoritas, lalu memunggungi pekerja-pekerja sosial yang telah aktif di isu tersebut untuk meraih keuntungan pribadi.
- Mereka yang mengincar pihak-pihak yang berusaha mempublikasikan ketidakadilan, namun malah memilih melenggang masuk ke lorong-lorong kekuasaan tanpa menyuarakan tangisan yang di bawah, yang ia letakkan sebagai potret-potret awal monumen kepeduliannya terhadap yang di bawah yang harus bangun pukul 4 subuh dan pulang pukul 2 dini hari demi melihat si kecil bersekolah hingga sarjana.
Baca juga: Tips Kencan Ekonomis Nan Romantis Ala SJW
Saya memilih untuk menyematkan fungsi peyorasi SJW bagi mereka yang benar-benar “butuh untuk diingatkan”. Pun saya akan menghindari menyematkan label SJW hanya karena pendapat yang berseberangan, atau penat membaca konten-konten berat. Untuk menghilangkan kepenatan, saya akan menyesap secangkir teh hangat, tidak menghardik kesadaran awal mereka yang ingin membaca dan bersuara.
Comments