Ada kabar gembira baru-baru ini. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (permendikbudristek) 30/2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Ini adalah langkah maju dalam mewujudkan komitmen antikekerasan seksual pada ranah pendidikan tinggi, seiring dengan pernyataan Mas Menteri Nadiem Makarim yang menyebut kekerasan seksual merupakan salah satu dari tiga dosa yang harus dihapuskan dari dunia pendidikan.
Tentu saya mengapresiasi apa yang telah Kemdikbudristek upayakan di dunia perguruan tinggi mengingat kasus kekerasan seksual ini bisa saja terjadi di lingkungan tersebut. Tidak pandang perguruan tinggi negeri maupun swasta, di semua perguruan tinggi rentan terjadi kekerasan seksual. Dengan adanya peraturan ini, jelas sekali perguruan tinggi memiliki dasar hukum jelas untuk menegaskan bahwa di lingkungan mereka, tidak ada toleransi bagi para predator seksual.
Sayangnya, langkah maju ini belum Kemdikbudristek tunjukkan pula pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen). Hingga saat ini, belum ada permendikbudristek mengenai kekerasan seksual di SD hingga SMA seperti pada pendidikan tinggi. Hanya ada permendikbud 82/2015 mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan umum, belum khusus seperti di perguruan tinggi.
Baca juga: Kamu Menstruasi? Sini Cek Dulu
Dalam permendikbud 82/2015 itu, perihal kekerasan seksual hanya disinggung dalam segelintir poin yang menyebut istilah “pemerkosaan” dan “pencabulan”. Ada pun pelecehan didefinisikan sebagai “tindakan kekerasan secara fisik, psikis, atau daring”. Sedangkan, dalam permendikbudristek 30/2021, tercakup 21 jenis kekerasan seksual. Tentu definisi sempit di permendikbud 82/2015 tadi kurang membantu dalam hal kejelasan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan seksual terhadap peserta didik atau tenaga pendidik.
Peserta didik jenjang dikdasmen juga bagian dari anak-anak generasi penerus yang harus kita lindungi. Saat ini kekerasan seksual sudah menjadi salah satu bentuk kekerasan yang menurut saya rentan dialami anak-anak didik, baik mereka menjadi korban maupun pelaku.
Bagi korban, dampak yang dialami bisa berupa perasaan inferior atau merasa harga dirinya dirampas. Ia berpotensi mengalami trauma yang mengganggu kenyamanannya dalam belajar. Trauma tersebut sewaktu-waktu bisa meledak menjadi ekspresi emosi yang membahayakan dirinya dan orang lain. Di samping itu, ada potensi anak yang menjadi korban akan menarik diri dari lingkungan pertemanannya dengan cenderung bersikap lebih tertutup. Beban lebih berat juga sangat mungkin korban rasakan ketika orang-orang di sekitarnya abai terhadap pemulihan psikisnya.
Ketiadaan aturan khusus soal kekerasan seksual di level dikdasmen bisa membuat peserta didik yang menjadi pelaku merasa memiliki keleluasan dalam melaksanakan aksinya. Hal itu juga membuat ia tak mesti menjalani pemulihan atau rehabilitasi atas tindakan tercelanya, sehingga tumbuh potensi dia menjadi predator seksual yang menjerat lebih banyak korban lagi.
Baca juga: ‘Moxie’ dan Andai Saya Berani Melawan Sejak Dulu
Oleh karenanya, sebelum terlambat, ketika seseorang kedapatan melakukan kekerasan seksual, sebaiknya saat itu pula ia mendapat treatment dari profesional. Seiring dengan itu, ia perlu juga mendapat perhatian dari orang-orang terdekat agar dia mampu pulih dan menjadi orang yang bermanfaat bagi diri dan lingkungannya, tanpa menyakiti orang lain.
Ketika berbicara soal tenaga pendidik atau tenaga kependidikan yang menjadi pelaku kekerasan seksual, seringkali korban semakin sulit bersuara. Pasalnya, ada relasi kuasa dalam kekerasan seksual yang dilakukan oleh tenaga pendidik. Mereka dipandang memiliki kharisma dan wewenang yang berpotensi mereka salah gunakan untuk melakukan kekerasan seksual. Dengan adanya permendikbudristek antikekerasan seksual di lingkup dikdasmen, diharapkan ruang gerak pelaku dari kalangan tenaga pendidik ini mampu dipersempit. Peraturan macam ini bisa memperkuat perlindungan anak terhadap kekerasan seksual, selain dari Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Saya berharap Kemdikbudristek juga mulai melakukan pembahasan dan nantinya aturan khusus mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada satuan pendidikan baik dasar maupun menengah diterbitkan. Tentu harapannya aturan itu tidak berupa surat edaran semata, tetapi permendikbudristek sebagaimana yang baru-baru ini diluncurkan untuk konteks pendidikan tinggi. Dengan demikian, peserta didik dan warga sekolah lainnya bisa bersama-sama menciptakan lingkungan pendidikan bebas dari kekerasan seksual demi masa depan anak-anak kita.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments