Women Lead Pendidikan Seks
May 30, 2018

Mencari Jodoh 101: Kamu Lahir Hari Apa?

Perjuangan feminisme masih panjang ketika jodoh perempuan Jawa masih harus didasarkan 'weton' dan' neptu'.

by Dewi Susanti
Issues // Politics and Society
Share:

Hari Minggu itu, sepulang dari Galeri Nasional untuk melihat pameran seni, masuk SMS dari Ibu yang berisi pesan untuk mencari pasangan yang hari lahirnya tidak sama dengan saya, yaitu Rabu.

Sekitar satu minggu sebelumnya, saya mendengarkan podcast episode perdana Magdalene’s Mind yang membahas isu feminisme, salah satunya adalah karakteristik feminisme di Indonesia. Feminisme dijelaskan lahir dari pengalaman perempuan di suatu wilayah dengan latar belakang budaya dan sosial di daerah itu, sehingga karakter feminisme di Indonesia pun sangat beragam.

SMS Ibu tadi adalah sebuah pengalaman feminisme saya sebagai perempuan Jawa.

Keluarga saya adalah keluarga Jawa yang tinggal di sebuah kota kabupaten di Jawa Timur. Kakek saya cukup terpandang di kalangan masyarakat sekitar karena dia adalah imam salat di musala. Tapi orang tidak tahu bahwa dia adalah pelaku kekerasan terhadap perempuan, baik kepada anaknya, menantunya, atau bahkan cucunya. Ibu saya harus merantau ke Jakarta setelah tamat sekolah dasar karena keluarganya tidak menganggap pendidikan tinggi itu penting, apalagi untuk perempuan. Lalu setelah berjuang dalam perantauan Ibu menikah dan melahirkan saya. Namun apa yang saya alami sebagai anak perempuannya membuat saya banyak berkaca dan memberontak.

Sejak saya masih anak-anak, Ibu sering melontarkan kritiknya kepada saya. Dimulai dari cara saya berjalan yang katanya menyeret kaki; bagaimana sendok dan garpu di piring saya terlalu banyak menimbulkan bunyi alias kelontangan; cara saya tertawa dengan bunyi “hahaha” yang dianggapnya tidak baik karena seharusnya bunyi tawa perempuan adalah “hehehe” atau “hihihi” (mungkin itulah kenapa Tante K tertawa dengan bunyi “hihihi” karena ingin terdengar elegan); cara saya duduk di lantai, di kursi, di meja; dan lain-lain.

Hal-hal tersebut sering menimbulkan konflik di antara kami. Sejak kecil saya merasa Ibu tidak bisa menerima saya apa adanya. Apa pun yang saya lakukan selalu salah dan ia selalu membanding-bandingkan dengan anak perempuan lain. Itu baru dari sisi perilaku kehidupan sehari-hari.

Dengan latar belakang Jawa yang masih menganut tradisi kejawen seperti kenduri dan pemberian sajen, keluarga saya masih menjadikan primbon layaknya kitab pedoman dalam hidup selain kitab suci agama, meskipun hal itu menimbulkan kerepotan-kerepotan kecil. Ketika ingin memulai usaha misalnya, kami harus mencari hari baik dulu lewat hitungan hari primbon. Ketika ingin pergi jauh dan ternyata hari itu adalah hari meninggal si nenek A, maka rencana perjalanan pun bisa urung. Tak pelak, urusan memilih jodoh juga tidak kalah repotnya.

Lupakan hal mengenai bibit, bebet, bobot, karena yang paling penting dalam memilih jodoh itu adalah jumlah neptu dari weton. Weton adalah hari lahir yang memiliki nilai yang disebut neptu. Misalnya neptu saya adalah 16 dari hari lahir Rabu Pahing (Rabu bernilai tujuh dan Pahing sembilan), maka baiknya saya menikah dengan laki-laki yang ber-neptu delapan, 13, atau 18.

Belum lagi pemilihan hari pernikahan, yang pasti tidak boleh bertepatan dengan hari meninggal mbah-mbah sesepuh. Arah kedatangan pengantin juga bisa jadi pembahasan dilihat dari mana dia berasal. Lalu tradisi tambahan berdasarkan posisinya sebagai anak pertama, tengah, atau bungsu. (Untuk lebih detailnya mungkin kalian bisa tanya ahli primbon terdekat atau ketik REG [spasi] PRIMBON.)

Feminisme di zaman modern ini mungkin bukan lagi menuntut hak pendidikan, hak pilih, atau hak-hak dasar lain yang dulu tidak didapat perempuan sebagai warga negara kelas dua. Namun melihat kembali SMS Ibu, rasanya perjuangan ini masih panjang untuk bahkan bisa memilih pasangan yang ternyata hari lahirnya sama dengan saya.

Dewi Susanti dikenal di keluarga sebagai anak kesayangan Bapak dengan panggilan jibok-jibok ndok nayuku. Sering diprotes kalau balas chat pendek-pendek meski sudah bukan zaman komunikasi dengan tarif per karakter.