Women Lead Pendidikan Seks
December 07, 2022

Platform Digital Bikin Sadar Kesehatan Mental, Atau Rawan ‘Self-Diagnosis’?

Meskipun salah satu akibatnya mendorong ‘self-diagnosis’, platform digital membantu netizen melek terhadap kesehatan mental. Karena itu, platform digital perlu menyediakan layanan untuk meningkatkan kesejahteraan diri.

by Aurelia Gracia, Reporter
Issues
Platform Digital Bikin Sadar Kesehatan Mental, Atau Rawan ‘Self-Diagnosis’?
Share:

Ketika menelusuri internet, Gilang menemukan keinginan menyakiti diri sendiri sebagai salah satu gejala depresi. Waktu itu, pria yang bekerja sebagai creative director tersebut tengah mencari tahu, apa yang terjadi pada dirinya.

Pasalnya, sudah setahun Gilang merasa stres. Asumsi itu diperkuat dengan gejala lainnya yang mengindikasikan depresi. Misalnya susah tidur, menunda pekerjaan, dan merasa rendah diri.

Semua berawal pada 2020, ketika pandemi COVID-19 mengancam penduduk global. Gilang kewalahan, dengan berita korban COVID-19 yang bertambah setiap harinya. Ditambah situasi itu membawa rentetan masalah dalam hidupnya, yang enggak disangka sebelumnya, yakni masalah finansial dan keluarga. Keadaan tersebut berdampak pada studi sarjana Gilang, dan relasi dengan mantan pacarnya merenggang.

Baca Juga: Pro Kontra Bincangkan Kesehatan Mental di Platform Digital dan Media Sosial

Bahkan, masalah itu berlanjut pada 2021, ketika hubungan romantisnya berakhir. Gilang putus dalam keadaan stres, tidak memiliki uang dan pekerjaan. Membuatnya merasa rendah diri. Makin lama, Gilang punya keinginan untuk mengakhiri hidup.

Beruntungnya, pria 24 tahun itu menceritakan permasalahan pada temannya. Sampai suatu ketika, teman Gilang menyatakan enggak sanggup mendengarkan ceritanya lagi.

“Ceritanya makin disturbing dan triggering buat dia. Akhirnya dia nyaranin untuk konsultasi ke profesional,” kata Gilang. Di saat bersamaan, Gilang pun berhenti mendiagnosis diri sendiri. Alasannya, ia takut memvalidasi kondisi mentalnya secara subjektif.

Pria yang bekerja di rumah produksi itu mengaku pertama kali sadar dengan kesehatan mental pada 2019. Waktu itu, Gilang sedang scrolling lini masa media sosial miliknya, kemudian menemukan istilah burnout.

“Awalnya cuma sekilas baca, ternyata gue lagi ngalamin juga,” cerita Gilang. Namun, ia menunda ke psikolog dengan alasan biaya. Baru pada 2021, Gilang memutuskan berkonsultasi.

Dari pengalaman Gilang, media sosial dapat dijadikan platform untuk memberikan awareness terkait kesehatan mental–sekaligus mendiagnosis kondisi mental sendiri. Pasalnya, sejumlah akun–baik praktisi kesehatan mental ataupun komunitas dan organisasi nonprofit–mengedukasi netizen tentang isu tersebut.

Hasilnya, kepedulian terhadap kesehatan mental meningkat. Terutama di kalangan generasi Z, yang lebih terbuka terhadap informasi. Stigma terhadap kesehatan mental pun berkurang.

Hal itu disepakati oleh psikolog klinis Gisella Tani. Menurutnya, edukasi yang berkembang membahas dinamika emosi yang sebelumnya diabaikan, karena tidak divalidasi generasi sebelumnya. Tak sedikit dewasa muda, serta remaja Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), melek soal kesehatan mental. Mereka berinisiatif untuk mencari layanan psikolog.

“Anak muda jadi lebih reflektif, terbuka dengan emosinya, dan mampu mengidentifikasi kondisi kesehatan mentalnya,” tutur Gisella.

Sebagai praktisi kesehatan mental, Gisella merasa kemampuan itu membantunya dalam proses terapi. Bahkan, juga dibutuhkan dalam proses penyembuhan. Sayangnya, kesadaran itu kerap membuat sebagian orang melakukan self-diagnosis atas kesehatan mentalnya, seperti dilakukan Gilang.

Baca Juga: Kesehatan Mental Mulai Banyak Dibicarakan, tapi Stigma Tetap Ada

Perlunya Menghindari Self-Diagnosis

Internet memudahkan netizen untuk mengakses informasi terkait kesehatan mental. Dari situs yang beredar, praktisi, maupun akun-akun komunitas di media sosial, yang aktif menyerukan isu ini. Pun tak sedikit jumlah kuis atau games untuk mengidentifikasi kondisi mental.

Di satu sisi, keuntungannya netizen akan aware dengan keadaannya. Sayangnya, kemudahan itu kerap berujung pada self-diagnosis. Netizen menyesuaikan gejala dan gangguan yang dialami, dengan yang ditemukan di internet. Gisella mengatakan, self-diagnosis sering dilakukan dengan membangun kepercayaan pada diri sendiri, lalu menciptakan keyakinan yang awalnya tidak sekuat itu.

Namun, tindakan tersebut berbahaya dan perlu dihindari, lantaran dapat menimbulkan kesalahan diagnosis. Ada pedoman dan diperlukan keahlian khusus untuk melakukannya.

“Profesional kesehatan mental aja belajarnya cukup lama, minimal enam tahun dan perlu berhati-hati untuk mendiagnosis,” ungkap Gisella.

Misalnya seseorang yang sering mood swings, akan beranggapan memiliki gangguan bipolar. Kenyataannya, mood swings adalah salah satu gejala yang bisa dimiliki kondisi klinis lainnya. Seperti gangguan kepribadian, atau persistent depressive disorder (PDD).

Contoh lain dari bahayanya self-diagnosis kondisi mental, adalah kesalahan penanganan. Tidak hanya dalam kondisi mental, karena gejala psikologis yang terganggu juga dapat mengindikasikan penyakit fisik.

Dalam tulisannya di Psychology Today, penulis dan psikiater Srini Pillay menyebutkan salah satunya. Yakni gangguan panik, adalah diagnosis dari hipertiroidisme–atau detak jantung yang tidak teratur. Ada juga pengidap tumor otak yang mengalami psikosis, perubahan kepribadian, dan depresi.

Menurut Pillay, mendiagnosis diri sendiri bisa membuat seseorang melewatkan gejala medis yang seharusnya ditangani. Dibutuhkan kejelasan dalam melihat kondisi diri secara objektif. Meskipun tampaknya kita yang paling mengenal diri sendiri.

Sebab, ketika melakukan self-diagnosis, seseorang cenderung melebih-lebihkan keadaannya dan semakin khawatir. Atau tidak menganggap permasalahan sebagai gejala, karena dinilai tidak cukup parah untuk mengindikasikan gangguan. Karena itu, langkah yang tepat adalah pergi ke profesional, untuk mengetahui kondisi mental secara akurat.

Baca Juga: Perjalanan 'Self Healing' Saya dalam Lima Babak

Utamakan Bantuan Profesional

Mengenal kondisi mental diri sendiri merupakan langkah awal, untuk mengetahui apakah seseorang membutuhkan bantuan psikolog ataupun psikiater. Gisella menjelaskan, ada beberapa kondisi lainnya yang mencerminkan seseorang perlu mencari bantuan profesional.

Pertama, sudah mencoba berbagai tips dari platform digital, tetapi kondisinya tak kunjung membaik. Pun masih merasa tidak nyaman dengan situasi yang dihadapi, bahkan mengganggu aktivitas sehari-hari.

“Contohnya semakin susah tidur, emosinya meledak, dan tidak dapat konsentrasi ketika kuliah atau bekerja,” terang Gisella.

Umumnya tanda-tanda itu bersamaan dengan performa kerja yang menurun, dan relasi sosial yang memburuk. Kedua, gejala serius semakin terlihat pada minggu ketiga dan keempat. Kualitas tidur semakin menurun, mengalami gangguan makan, dan sulit merawat diri sendiri secara berlarut-larut.

“Ditambah muncul gejala psikosomatik seperti sakit perut, diare, pusing, mag, atau tidak ada diagnosis yang muncul ketika berobat ke dokter,” tambah Gisella.

Perkara psikosomatik pernah dialami Gilang, yang juga menyadari penyakit fisiknya berkaitan dengan mental. Ketika mengonsultasikan sakit lambungnya ke dokter spesialis penyakit dalam pada 2021, ia diberikan obat antidepresan. Dokter pun menyarankan Gilang untuk pergi ke layanan psikologi. Kondisi itu menguatkannya untuk konsultasi ke psikolog.

Kendati demikian, bukan perkara mudah bagi seseorang untuk memutuskan pergi ke layanan psikologi. Setiap orang memiliki dinamika yang berbeda. Gisella menjelaskan, keputusan itu tidak dapat dipaksakan karena akan memengaruhi proses konseling.

“Proses konseling akan berlangsung efektif kalau ada dorongan dari klien,” tegas Gisella. Karena itu, dibutuhkan kerja sama antara klien dan psikolog agar interaksi juga terbangun dalam proses konseling. Bukan hanya mengandalkan salah satu pihak.

Memberikan saran merupakan upaya yang bisa dilakukan, ketika melihat seseorang yang tampak membutuhkan bantuan profesional. Misalnya dengan mengingatkan untuk tidak menyimpan masalahnya sendiri, dan mengirimkan hotline layanan psikolog.

Sebagai salah satu platform digital, TikTok menyediakan akses informasi seputar kesehatan mental. Tujuannya adalah mendukung kesetaraan akses dalam kesehatan mental. Karena itu, TikTok membangun diskusi sehat yang bersangkutan dengan kesehatan mental, dan mengundang ahli serta komunitas yang memiliki kapabilitas dalam topik tersebut.

Contohnya dengan kolaborasi bersama sejumlah mitra lokal, seperti Yayasan Pulih, Bully.id, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), dan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Hal itu juga dilakukan TikTok untuk memprioritaskan keamanan, kenyamanan, dan kesejahteraan komunitas.

Kemudian, TikTok juga mengembangkan Panduan Kesejahteraan. Panduan itu dikembangkan untuk membantu komunitas TikTok meningkatkan kesejahteraannya. Yakni menghapus konten berbahaya yang berkaitan dengan isu kesehatan mental, dan menghubungkan komunitas dengan sumber daya yang ada.

Dengan demikian, TikTok berharap kesadaran akan kesehatan mental dapat terus ditingkatkan, sekaligus mematahkan stigma yang masih terdengar di masyarakat.

Artikel ini adalah kerja sama Magdalene dengan TikTok untuk #KesehatanMental

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.