Sebelum mencari jawaban apa syarat pernikahan beda agama, isu ini menjadi perkara yang tidak ada habisnya. Beberapa hari setelah perayaan Natal setahun lalu, misalnya, Mustofa Nahrawardaya, politisi Partai Ummat lewat akun Twitter pribadinya berkomentar, pernikahan beda agama adalah haram dan terhitung sebagai zina.
Ia juga menuliskan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah tegas melarang pernikahan campur. Ungkapan itu dilontarkan Mustofa sebagai balasan cuitan yang menyorot Menteri Pendidikan Nadiem Makarim yang menikah beda agama dengan istrinya. Warganet kemudian membanjiri cuitan Mustofa karena beberapa tidak setuju menyebut pernikahan beda agama sebagai haram.
Dilarang atau dibolehkannya menikah agama juga menjadi sorotan saat selebritas Happy Salma menjalin relasi dengan laki-laki keturunan Bali. Karenanya, pertanyaan apakah Happy Salma pindah agama, persetujuan keluarga, dan dengan agama apa pernikahan dilakukan menjadi sorotan publik dan acara infotainment. Pasangan beda agama pun tidak dapat menikah tanpa direcoki karena agama dan kepercayaan dijadikan komoditas yang harus selalu jadi bahan perdebatan.
Pandangan Agama Tentang Kawin Campur
Dikutip dari salah satu artikel Magdalene tentang menikah beda agama, Ahmad Nurcholish, konsultan pernikahan yang menyorot isu pernikahan beda agama mengatakan, pandangan agama yang menjadi hambatan pernikahan beda agama, terutama dari pihak keluarga. Dalam Islam, misalnya, ada dua ayat dalam surat Al-Baqarah yang dimaknai jangan menikah dengan orang musyrik sebelum mereka beriman.
Baca juga: Sampai Keyakinan Pisahkan Kita? Tumbuh Besar dengan Orang Tua Beda Agama
Namun, lanjutnya, ada juga mazhab keagamaan yang membolehkan pernikahan beda agama, tetapi dengan syarat laki-laki Muslim hanya boleh menikah dengan perempuan Yahudi atau perempuan Nasrani. Selain itu, ada Mazhab lain menyebutkan laki-laki Muslim boleh menikah dengan perempuan yang menganut kepercayaan lain dan begitu juga sebaliknya.
Dalam agama Katolik pernikahan beda agama diizinkan mengikuti aturan Vatikan yang dikeluarkan 1965 lalu. Selain itu, harus ada dispensasi dari gereja dan surat keterangan menikah tanpa paksaan di catatan sipil. Sedangkan dalam Kristen Protestan dibolehkan merujuk pada keputusan Persekutuan Gereja di Indonesia (PGI) pada 1972. Meski demikian, tidak semua gereja mengikuti keputusan tersebut.
Selain itu, Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) dan Majelis Buddhayana Indonesia tidak mempermasalahkan pernikahan beda agama. Dalam ajaran Konghucu, ia mengatakan: “Ada ayat yang berisi menikahlah dengan orang yang berbeda marga. Oleh para cendikiawan Konghucu, berbeda marg itu juga diartikan sebagai berbeda agama. Jadi tidak ada larangan,”
Situasi yang rumit ada pada agama Hindu, ujarnya, sebab Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) belum mengizinkan pemeluk agama Hindu menikah dengan orang penganut agama atau kepercayaan lain. Karenanya, ada kesulitan mencari pemangku agama yang bisa menikahkan pemeluk Hindu dan non-Hindu.
“Jadi harus melalui Sudi Wadani (pindah agama) terlebih dahulu, baru pemangku bisa melakukan Pawiwahan (pemberkatan nikah,” ujarnya.
Apakah Ada Cara Siasati Syarat Menikah Beda Agama?
Tantangan dari segi agama tersebut bukan satu-satunya tembok yang menghalangi pernikahan beda agama. Wening Udasmoro, antropolog dan dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada mengatakan, ada kecenderungan satu ras dan suku menginginkan keluarganya menikah dari suku dan ras yang sama. Hal itu disebabkan oleh pemikiran feodalistis, semacam strata sosial yang ingin dipertahankan di masyarakat.
“Selain itu, budaya kolektif yang kuat dan masih dipraktikkan oleh generasi sekarang yang cenderung lebih individual dan toleran,” ujarnya kepada Magdalene beberapa waktu lalu.
Tantangan lain ada di jalur hukum. Pada 2015, misalnya, Mahkamah Konstitusi menolak judicial review untuk sahkan pernikahan beda agama. MK menilai aturan yang sudah ada sekarang tidak menyalahi konstitusi dan tidak diperlukannya uji materiil. Namun, Jika merujuk pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 yang mengubah usia minimal menikah, tidak pernah secara eksplisit disebutkan larangan menikah beda agama
Pasal 2 ayat 1 dari aturan tersebut menyebutkan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut Febi Yonesta ahli hukum dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), UU Perkawinan merujuk pada mekanisme atau prosedur pelaksanaan pernikahan. Karenanya, jika ditafsirkan secara luas, selama seseorang melakukan pernikahan menurut cara agama, maka dapat dicatatkan secara hukum.
Baca juga: Menjadi Istri Pria Asing dan Segudang Stereotip Tentangnya
Dengan demikian, salah satu menyiasati syarat pernikahan untuk pasangan beda agama dengan melangsungkan pernikahan dengan dua cara keagamaan atau memilih salah satu dan kedua mempelai tetap menganut kepercayaannya.
Hambatan di Catatan Sipil
Akan tetapi, masalah lain ditemukan pada petugas kantor catatan sipil yang tidak ingin mengakui pernikahan tersebut dalam administrasi. Nurcholis menyebut, hal itu disebabkan karena petugas pencatatan sipil memiliki bias ideologi keagamaan yang dipraktikkan dalam kerjanya. Alasan lain, karena aparat negara tidak paham tentang konstitusi sendiri.
Perihal kebebasan memilih pasangan juga dijamin oleh aturan, seperti putusan Mahkamah Agung Reg.No1400/Pdt/1986 yang membolehkan pernikahan beda agama. Selain itu, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan setiap warga negara memiliki hak yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun, termasuk negara.
Ketika terbentur catatan administrasi, ujar Nurcholis, maka minta surat penolakan karena menikah beda agama dari kantor catatan sipil. Surat tersebut dapat disidangkan ke Pengadilan Negeri. Jalur pengadilan juga bisa menjadi cara untuk menikah beda agama. Pasangan dapat meminta ke pengadilan agar permohonan pencatatan perkawinan di kantor catatan sipil disetujui.
Baca juga: Tips Pengasuhan Anak dalam Pernikahan Campur
Namun, jalur pengadilan dinilai rumit dan dalam catatan Direktori Putusan Mahkamah Agung sejak 2012 sampai 2020 hanya ada 32 putusan tentang pernikahan beda agama. Namun, tidak semua kasus itu dikabulkan hakim. Karenanya, bagi pasangan yang mampu beberapa melangsungkan pernikahan beda agama di luar negeri.
Melihat lika-liku seputar isu pernikahan beda agama, syarat agar perkawinan dapat berlangsung lancar ialah tokoh agama yang dapat menikahkan dan aparat sipil yang tidak diskriminatif dan menerima perbedaan agama. Selain itu, pernikahan tanpa paksaan yang tidak merugikan adalah urusan pribadi setiap orang dan agama bukan satu-satunya masalah dalam hubungan.
Comments