Women Lead Pendidikan Seks
December 08, 2021

Menimbang Resolusi Tahun Baru di Tengah Pandemi ‘Season 3’

Tak seperti pra-pandemi, membuat resolusi tahun baru di tengah pagebluk ini bisa jadi hal gampang-gampang susah bagi sebagian orang.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Lifestyle
Share:

Punya badan bak selebgram kece, coret. Bisa punya karier yang lebih menjanjikan dan uang lebih banyak, coret. Pindah ke kota baru, coret. Ketemu pasangan baru atau bisa menggelar pesta pernikahan megah, coret. Travelling ke negara idaman, coret.

“Enggak usah muluk-muluk, tahun depan bisa waras saja udah bagus banget.”

Kata-kata macam ini saya temukan di media sosial pada penghujung tahun lalu, setelah pandemi melanda dan pembatasan sosial diberlakukan di Indonesia sejak awal kuartal kedua 2020. Daftar keinginan seperti yang tertulis di paling atas bisa jadi ada dalam target sebagian orang pada 2019 silam, dan satu per satu mesti dikeluarkan lantaran situasi tak terduga yang entah kapan membaik atau memburuknya ini.

Bicara soal resolusi tahun baru, memang lumrah dilakukan ketika kita menginjak Desember, bahkan sebagian dari kita barangkali sudah lebih dulu mencatatnya. Namun sejak COVID-19 mewabah, hal ini gampang-gampang susah untuk dirumuskan. 

Kita tidak pernah tahu apakah level PPKM akan ditingkatkan lagi, apakah perusahaan cukup sehat untuk mempertahankan karyawannya termasuk kita, apakah keuangan kita akan cukup stabil untuk bisa pelesiran, atau membeli berbagai barang idaman tahun depan, dan sebagainya. Ditambah lagi, kabar terbaru soal penularan virus COVID-19 varian terbaru kembali datang selang beberapa bulan sekali. Berbagai artikel berita juga sempat menyebutkan, sejumlah pakar memprediksi akan datang pandemi lain yang enggak kalah membahayakan jiwa di masa depan. Boro-boro membuat resolusi muluk-muluk, hal seperti itu saja sudah membikin kita ngeri duluan.

Kita seperti terjebak dalam situasi serba tak pasti sekarang ini. Namun, benarkah itu artinya kita sama sekali tak perlu merencanakan suatu hal baik tahun depan?

Baca juga: 3 Cara Hadapi Ketidakpastian di Tengah Pandemi

Membuat Resolusi Oke-oke Saja, tapi Kita Tetap Perlu Injak Rem

Pada penghujung 2020 silam, VeryWell Mind membuat survei menanyakan warga AS apakah mereka berencana membuat resolusi tahun baru di tengah pandemi. Hasilnya, 44 persen responden menyatakan ya, 34 persen menjawab tidak, dan 22 persen masih ragu. 

Lebih lanjut dalam survei mereka, ditemukan 83 persen responden memfokuskan resolusinya pada aspek kesehatan fisik, diikuti 40 persen pada kesehatan mental, kemudian relasi keluarga atau teman, hobi, keuangan, relasi romantis, anak, dan lainnya. 

Banyaknya yang menjawab ya menunjukkan, situasi pandemi tak sepenuhnya menjadi halangan bagi mereka untuk tidak membuat rencana-rencana masa depan. Menurut editor in chief VeryWell Mind, Amy Morin, hal ini bisa didorong oleh adanya kesempatan bagi orang-orang untuk lebih banyak berefleksi tahun lalu seiring lebih lambatnya kegiatan yang biasanya dilakukan, entah bekerja atau studi mengingat situasi kurang kondusif untuk berfungsi seperti pra-pandemi.

“Langkah yang lebih lambat berarti orang-orang bisa mundur sejenak dan menilai apa yang penting bagi mereka. Bagi sebagian dari mereka, itu artinya mewujudkan berbagai perubahan di masa depan,” kata Morin. 

Mungkin ada orang-orang yang berencana meningkatkan skala bisnisnya, menambah penghasilan, atau berencana pindah kerja. Namun seiring terjadinya krisis di berbagai industri, rencana ini bisa saja ditarik kembali. Mereka dituntut untuk menyesuaikan resolusinya dengan keadaan sekarang, terlebih dalam membuat antisipasi ketika sesuatu yang biasanya aman dan nyaman saja tak lagi dirasakan sama sebagai dampak krisis tersebut.

Dalam artikelnya di The Conversation tahun lalu, profesor Psikologi dari University of Regina, Katherine Arbuthnott menyampaikan, banyak pakar menilai “kembali ke normal”, selayaknya sebelum pandemi, sangat mustahil. 

“Masa depan kian sulit diprediksi sehingga membuat rencana jangka panjang jauh lebih susah. Sulit untuk membayangkan diri yang ideal tanpa mengetahui apa yang akan dialami diri itu,” tulis Arbuthnott.

Sebagai psikolog, ia menilai resolusi untuk 2021 sepatutnya lebih ke arah jangka pendek. 

Penilaian Arbuthnott ini disepakati oleh berbagai pihak, salah satunya Christopher Taylor, pendiri Taylor Counseling Group, Texas. Dalam artikel The Washington Post, ia menyatakan, “Tahun ini [2021] mungkin saja tahun untuk [berfokus pada] stabilitas dan berkata, ‘Apa hal yang bisa saya kerjakan sekarang?’”

Ujaran Taylor ini mengingatkan pada konseling dengan psikolog ketika saya tengah dilanda gangguan kecemasan tinggi. Setelah menumpahkan berbagai hal yang menyelimuti kepala, sehingga membuat saya merasa kewalahan, ia senantiasa “menarik” dan mengarahkan saya untuk berpikir, apa yang menurut saya paling penting sekarang, bisa saya kerjakan, dan hal apa yang mengganggu saya dalam mengerjakan hal itu?

Lalu, saya diajak mengidentifikasi suatu masalah atau rencana paling urgen, kemudian menyelesaikannya satu demi satu dibanding ngoyo merampungkan semuanya sekaligus. Saya kira ini memang penting untuk diingat ketika orang diliputi kecemasan tinggi, termasuk di tengah pandemi yang masih berlangsung sampai kini.

Baca juga: Sialnya Lulus Kuliah Saat Pandemi, Nantikan Pekerjaan yang Tak Pasti

Omong-omong soal kecemasan, dalam artikel The Washington Post yang sama, profesor Psikologi dari University of Scranton, John Norcross menyoroti bahwa pandemi kerap memicu stres tersendiri yang meningkatkan kecemasan dan depresi. Ketika orang mengalami stres tinggi, hal ini akan memperburuk kemampuannya dalam membuat dan melaksanakan resolusi.

“Peningkatan stres mengurangi kemungkinan seseorang untuk mulai mengubah perilakunya dan kesuksesan yang terjadi dari perubahan perilaku apa pun,” kata Norcross.

Karenanya, tak bijak rasanya kalau kita buru-buru membuat target-target tertentu untuk tahun depan sementara kita sendiri masih diliputi stres tinggi. Kita perlu berpikir jernih apa yang jadi prioritas. Dan, bisa saja prioritas itu seperti yang disampaikan di awal: kewarasan diri sendiri. Tidakkah percuma bila kita mengeset rencana tertentu yang membutuhkan perjuangan berat, sementara diri kita tak sepenuhnya siap menapaki langkah-langkah untuk mencapainya?

Bagaimanapun, memilih membuat resolusi atau tidak untuk tahun 2022 jelas hal yang bebas kita lakukan. Bila kita memilih membuatnya, ada baiknya bila kita tetap ingat untuk membuat rencana yang menjejak sesuai keadaan kita dan lingkungan kita sekarang, dan mempraktikkan welas asih pada diri sendiri dengan tidak menargetkan sesuatu yang penuh tekanan untuk mengubah diri secara drastis.

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop