Film dan buku adalah dua medium yang sangat berbeda. Itu sebabnya, ketika kita mengobrol tentang sebuah film yang diadaptasi dari buku, komentar “Bagusan bukunya!” sering kali terasa kurang valid, karena masing-masing medium punya bahasanya sendiri.
Hubungan timbal balik antara kedua medium ini lantas menjadi menarik. Mengadaptasi buku menjadi film sudah hal biasa di industri film Indonesia, tapi membahasakan film menjadi buku (yang bukan novelisasi film) rasanya masih jarang terdengar di sini.
Baca juga: 8 Buku Fiksi Indonesia Wajib Baca Sebelum Usia 30
Itulah kenapa When Everything Feels Like Romcoms, novel terbaru Candra Aditya, terasa menarik. Seperti yang sudah disebut dalam judul secara gamblang, novel ini adalah semacam surat cinta—bukan, lebih mirip tugu penyembahan sebenarnya—bagi film-film komedi romantis yang sudah ditonton penulisnya.
Novel ini bercerita tentang Reza, seorang sutradara muda berbakat yang tak kunjung mendapat pengakuan karena telanjur terjerumus dalam “lembah sinetron”. Kemudian masuklah Kimmy, seorang penulis naskah film pemula yang nyeleneh. Mereka berdua punya passion yang kuat dan tulus untuk sinema. Sejak awal sekali, kita sudah bisa merasakan bahwa kedua orang ini sempurna untuk satu sama lain. Bahkan dari sebelum mereka bertemu pun, selera mereka yang kompatibel langsung tercium berkat narasi Candra yang bertaburan referensi.
Tapi, layaknya formula film-film komedi romantis terbaik dan paling klasik, ada gunung yang sangat besar di antara mereka, sehingga sulit sekali bagi mereka untuk berakhir bersama.
Oh, jadi ini novel romance berlatar industri film. Begitu pikir saya awalnya.
Itu memang ada betulnya. Membaca novel ini sedikit mengingatkan saya pada e, novel karya Matt Beaumont tentang pontang-panting kehidupan di sebuah biro iklan di London, atau The Devil Wears Prada karya Lauren Weisberger tentang compang-camping dunia fashion di New York. Novel-novel ini jadi begitu mengasyikkan untuk diikuti, karena penuh dengan rahasia dapur yang dituturkan oleh orang dalam yang pernah mengalami langsung dunia yang bersangkutan.
Seperti halnya Beaumont yang mantan copywriter iklan dan Weisberger yang mantan asisten Anna Wintour di majalah Vogue, Candra sendiri adalah seorang pembuat dan pengamat film, yang menjadikan insight-nya di buku ini jadi terasa begitu autentik.
Detail-detail pengalaman saat syuting film, sentilan-sentilan usil, dan lelucon-lelucon orang dalam tentang industri film Indonesia dicemplungkan dengan enak seperti bumbu masak. Mulai dari yang paling jelas, hingga yang tersaru di dalam kalimat sambil lalu; yang mungkin cuma bisa dideteksi oleh orang-orang yang pernah mengenal langsung situasi atau orang yang sedang digunjingkan.
Lebih dari itu, Candra tidak sekadar menjadikan film sebagai latar bagi cerita dan karakternya, tapi juga membuatnya semacam alat untuk bercerita. Di sinilah novel ini menjadi makin menarik. Candra menulis sebuah buku dengan menggunakan formula film komedi romantis. Ia seolah-olah mengaburkan bahasa buku dan bahasa film yang selama ini kita anggap dipisahkan garis tebal.
Candra membingkai tiap babnya dengan judul-judul film komedi romantis. Mulai dari yang jadul (It Happened One Night), yang legendaris Inggris (Four Weddings and a Funeral), yang wajib (When Harry Met Sally), sampai yang lumayan gurem (Stuck in Love—sebagian dari kita yang dulu menontonnya lewat DVD, mungkin mengenalnya dengan judul Writers).
Sebetulnya penggunaan judul bab ini agak hit-and-miss. Ada yang signifikansinya tak lebih dari harfiah saja (Before Sunrise), ada yang memang punya korelasi manis dengan situasi di cerita (High Fidelity), ada juga yang membuat kita harus berpikir lebih lama untuk menarik benang merah dengan isi babnya (Groundhog Day). Tapi paling tidak itu bisa jadi semacam check list untuk pembaca, mana film yang sudah kita tonton, dan mana yang belum.
Baca juga: 5 Novel Indonesia Bertema LGBT yang Wajib Dibaca
Karakter-karakter Candra pun bergerak dengan rumus-rumus film komedi romantis yang sepertinya sudah dipatenkan. Dua protagonis yang jatuh cinta tapi tak bisa bersama karena satu dan lain hal, para tokoh pendamping yang mencuri adegan, dan ansambel screwball characters yang menciptakan kehebohan. Chemistry antara Reza dan Kimmy pada saat mereka bertemu pertama kali pun dibangun hampir sepenuhnya melalui dialog, yang membuat kehadiran bahasa film semakin terasa dalam novel ini.
Di saat yang sama, Candra juga mendapatkan keuntungan dari bahasa buku. Kalau karakter dalam film sering kali terbatas ruang geraknya karena pesan harus disampaikan lewat dialog dan aksi, di medium buku Candra bisa lebih bebas mengelaborasi karakternya dengan narasi. Hasilnya, bahkan karakter-karakter sekali lewat di buku ini terasa kaya dan padat dengan cerita latar belakang yang meyakinkan.
Satu hal lagi yang membuat ceritanya unik, buku ini diramaikan oleh kehadiran sineas-sineas Indonesia yang muncul sebagai cameo dan “memerankan” diri mereka sendiri. Gimmick ini cukup lumrah dalam film. Parade panjang pekerja mode muncul sebagai diri mereka sendiri dalam film komedi Robert Altman, Ready to Wear, sementara separuh penghuni Hollywood turun gunung di film Altman yang lain, The Player. Tapi dalam buku, terutama buku Indonesia, ini terasa sebagai sebuah kedipan mata yang nakal dan jarang. Dalam When Everything Feels Like Romcoms, tokoh-tokoh industri film Indonesia fiktif dan nyata berbaur dan saling menyapa. Sekali lagi, terasa sebuah paralel antara cara bercerita buku ini dengan cara bercerita film yang dicerminkannya.
Awalnya, ini terasa sebagai tak lebih dari aksi name-dropping untuk lucu-lucuan. Tapi ternyata hal ini bukan tanpa tujuan. Candra dengan cerdik sedang menyiapkan pembacanya untuk sebuah adegan epik yang akan membuat semua pencinta film komedi romantis geleng-geleng kepala.
Lantas muncul pertanyaan, apakah buku ini tetap bisa dinikmati oleh orang yang bukan penggemar film komedi romantis, atau orang di luar industri film? Tentu semua diserahkan kembali pada karakter dan cerita, dan ada beberapa observasi menarik di luar latar dan gimmick di buku ini.
Baca juga: Revolusi Sunyi ‘Aruna & Lidahnya’
Penggambaran karakter Reza dan Kimmy, misalnya. Mereka seperti bertukar tempat dan sedikit mengacak rumus film komedi romantis atau novel romansa klasik. Kimmy memiliki sifat-sifat yang cenderung ditempelkan pada protagonis laki-laki—nyeleneh, kurang romantis, dan suka memperlakukan hubungan seenaknya—sementara Reza adalah yang lebih bucin di antara mereka berdua.
Sebagai sidekick, Sarah muncul dan memonopoli baik kualitas protagonis laki-laki dan perempuan, seolah tidak peduli aturan gender mana pun di dunia ini. Sementara itu, Paul mematuhi semua daftar prototipe film komedi romantis sebagai orang ketiga yang memisahkan kedua protagonis, tapi sulit sekali bagi kita untuk membencinya.
Karakter-karakter yang tiga dimensi seperti ini berhasil membuat kita betah menghabiskan waktu berlama-lama dengan mereka. Bila kita kebetulan berada di pekerjaan dan dunia yang sama dengan mereka, sehingga bisa lebih mengerti lelucon dan celetukan mereka, itu jadi bonus saja.
Tak hanya itu, dinamika keempatnya juga membuat benang kusut kompas moral tentang “menginginkan sesuatu yang tidak seharusnya” jadi terasa lebih empatik dan tidak hitam putih, dan Candra pun menyelesaikannya dengan cara yang cukup segar dan tidak klise.
Ada satu lagi rumus film komedi romantis yang jarang dilanggar: Daya tariknya adalah pada prosesnya. Keasyikan novel ini juga ada dalam perjalanannya. Dan, kalau buku seperti Aruna dan Lidahnya membuat kita ingin kabur untuk berburu warung bebek sinjay di Madura, maka When Everything Feels Like Romcoms dijamin akan membuat kita ingin menonton ulang film Ada Apa dengan Cinta?.
Coba saja.
Comments