Mainkan newsgame selengkapnya di sini, dan selami langsung pengalaman menarik mereka yang nikah muda.
Di usia pernikahannya yang keenam, Viony telah memiliki dua anak laki-laki berusia lima dan tiga tahun. Anak pertamanya lahir setahun setelah ia menikah pada 2015 lalu. Saat ini ia juga tengah tujuh bulan mengandung anak ketiganya yang juga menurutnya adalah laki-laki. Viony mengatakan, dalam upaya pengasuhan anak dia dan suaminya tidak pernah mengalami cekcok tentang itu. Pasalnya, mereka membuka usaha pakaian muslim syari yang membuat Viony dan suaminya tidak pusing soal pembagian tugas menjaga anak. Sementara itu, usaha pakaian sedang dialihfungsikan sebagai toko barang-barang sembako karena pandemi.
“Karena kami tidak terikat dengan instansi soal pekerjaan, jadi kami barengan saja. Kalau bisa sama-sama (mengurus anak). Kami tidak ada masalah karena kami jualan di rumah otomatis bisa kerja sama,” ujar Viony kepada Magdalene
“Di rumah juga ada nenek, jadi ada kami bertiga dan dua anak. Misalnya saya dan suami harus pergi dan tidak bisa bawa anak ada nenek di rumah,” imbuhnya.
Viony mengatakan, hal paling utama yang ia ingin ajarkan untuk anak-anaknya adalah ilmu agama. Di usia empat tahun, Viony telah mendaftarkan anaknya ke sekolah tahfidz Al-Qur’an. Dia juga ingin anaknya menempuh pendidikan di pondok pesantren daripada sekolah umum. Menurutnya, anak yang bisa menjadi penghafal Al-Qur’an jauh lebih membanggakan dibanding menjadi dokter.
“Itu vis dan misi kami. Tidak perlu jago matematika, IPA, atau IPS. Saya ingin dia jadi penghafal Al-Qur’an. Kami kenalkan agama dulu (untuk nak-anak), kami tidak muluk-muluk karena menjadi penghafal Al-Qur’an sangat dahsyat,” ujarnya.
Berbeda dengan Viony, Dinar memilih untuk belum memiliki anak karena sampai saat ini masih mencari jawaban dari pertanyaan: Kenapa seseorang harus memiliki anak?
“Menurutku ini krusial. Apalagi ada diskusi soal childfree. Ini semacam mengangkat bebanku sebagai perempuan yang diminta lekas beranak. Terlebih lagi ada anggapan perempuan punya tanggal kadaluarsa,” ujar Dinar.
Menurutnya, diskusi antarpasangan tentang memiliki atau tidak memiliki anak serta pilihan menggunakan KB menjadi krusial. Karenanya, beban reproduksi antara suami dan istri pun akan berkurang. Namun, pilihan Dinar untuk belum memiliki anak menimbulkan keresahan dari ibunya.
“Ibuku sempat kepikiran karena saya anak tunggal dan diharapkan segera memberikan cucu,” ujarnya.
Namun, ia memberikan pemahaman kepada ibunya sengaja menunda karena memang belum ingin memiliki anak dan situasi pandemi saat ini juga sulit untuk ibu hamil. Namun, jika nanti Dinar dan suaminya memutuskan untuk memiliki anak, ia mengatakan akan mengajarkan tentang inklusifitas, terutama persoalan gender, agama, dan kelompok minoritas.
“Ajarkan sifat inklusif itu pasti karena saya dan suami adalah anak dari keluarga yang patriarkal. Kami sudah banyak zalim ke orang lain, saya ingin anakku tumbuh di ruang inklusif. Selain itu, juga untuk bersikap jujur,” tandasnya.
Pilihan soal memiliki anak atau tidak bagi pasangan menikah memang menjadi topik yang hangat karena ada pemahaman semua pasangan menikah harus bereproduksi. Belum lama ini, akademisi Tafsir Nur Rofiah mengatakan, pilihan seseorang untuk memiliki anak atau tidak harus dipusatkan pada pemikiran apakah nantinya hal itu membawa kemaslahatan atau tidak. Dalam Islam pilihan yang membawa kebaikan tentu saja menjadi hal yang dituju karena manusia bertugas sebagai khalifah yang membawa rahmat di dunia. Hal itu disampaikannya dalam satu sesi Ngaji KGI (Keadilan Gender Islam) perihal childfree.
Senada dengan itu, feminis muslim dan pendiri Cherbon Feminist, Nurul Bahrul Ulum mengatakan, dalam pernikahan semua pilihan memang harus berpusat pada apakah membawa kemaslahatan atau kemudaratan. Bahkan pilihan untuk menikah atau tidak juga harus dilakukan dengan pertimbangan tersebut. Parameter untuk kemaslahatan dalam pernikahan tersebut berupa kesiapan mental, finansal, dan fisik, ujarnya.
“Dalam pernikahan banyak yang harus dipertimbangkan. Dalam membangun rumah tangga sakinah adalah bagaimana bisa maslahat untuk keduanya, suam serta istri. Dan juga bagi anak,” kata Nurul kepada Magdalene.
Selain itu, tambahnya, ikatan pernikahan akan sempurna jika pernikahan dilakukan atas dasar kesalingan dan kerjasama, alih-alih atas hegemoni patriarkal dan kekerasan. Dengan praktik yang saling menghormati tersebut ikatan pernikahan niscaya menjadi lebih baik.
“Jadi anggapan kalau sudah menikah agama sempurna mungkin karena dalam relasi pernikahan akan bertemu dengan relasi baru, suami dan anak. Berarti akan saling melayani dan di situ lah pahala yang lebih besar. Maka, dikatakan agama menjadi sempurna,” tandasnya.
Proyek jurnalistik ini didukung oleh International Media Support.
Comments