Di kamar rumah sakit di Jakarta, “Lisa” meringis memegangi perutnya. Nyeri yang sudah dirasakan sejak berusia 12 tahun itu kian menjadi-jadi dan membuatnya harus dirawat inap selama sepekan. Saat siklus menstruasi datang, nyeri ini semakin berlipat-lipat. Pendarahan yang ia alami pun cenderung berlebihan. Imbasnya, semua aktivitas terpaksa ia rem. Ia harus bolos kuliah, ia juga perlu menunda mimpinya menjadi seorang desainer produk.
Penasaran dengan kondisi medisnya, ia menyambangi dokter spesialis penyakit dalam dan menjalani tes darah, CT scan, serta MRI. Anehya, dokter yang bersangkutan tidak menemukan ada keganjilan yang membuat Lisa terus merasakan nyeri perut.
“Kesakitan kamu paling hanya ada di kepala saja,” kata dokter itu lalu memberikan resep penghilang rasa sakit sebagai bagian pengobatan. Begitu mendengarnya, Lisa hanya bisa terdiam dan sedih.
“Bagi saya, nyeri itu pasti ada alasan di baliknya. Saat diberitahu (hanya di kepala saja), saya merasa putus asa dan berpikir apakah memang saya yang lebay atau sakit beneran?” kata Lisa yang kini berusia 26 tahun.
Baca juga: Di Tengah Pandemi, Perempuan Tenaga Medis Masih Dinomorduakan
Setahun berselang, tepatnya akhir 2018, Lisa kembali masuk rumah sakit. Kali ini dia ditangani dokter spesialis penyakit dalam berbeda yang menyarankan untuk melakukan kolonoskopi, pemeriksaan untuk melihat bagian dalam usus. Dokter itu mendiagnosis Lisa dengan infeksi usus lalu menyarankan Lisa untuk memeriksakan kondisinya ke dokter spesialis obstetrician-gynecologist (obgyn).
Pada 2019, Lisa menerima diagnosis endometriosis–jaringan endometrium tumbuh di luar rahim, seperti saluran telur bahkan usus–dan adenomiosis–jaringan tumbuh di dalam rahim dan menembus permukaan ototnya, sehingga dinding rahim semakin tebal. Karenanya, saat menstruasi ada nyeri akut dan pendarahan berlebihan saat maupun sesudah siklus menstruasi.
Walaupun telah mendapatkan diagnosis yang tepat, Lisa dibuat risi ketika dokter kandungan itu menyarankan menikah dan memiliki anak agar gejala nyeri dari dua kondisi itu bisa berkurang. Lisa lalu mengunjungi dokter kandungan berbeda yang membuatnya lebih merasa aman saat pemeriksaan. Dia memberikan Lisa pengobatan terapi hormon yang berjalan sampai saat ini.
“Saya selalu menghormati diagnosis tenaga medis dan tidak bisa dimungkiri juga kalau kadang butuh proses panjang untuk mendapatkan diagnosis tepat. Namun, saya berharap tenaga medis bisa bersabar menghadapi keluhan pasien, jangan sampai ada yang merasa sakitnya terinvalidasi,” ujar Lisa.
Bias Gender, Luput dalam Diagnosis
Endometriosis dan adenomiosis merupakan kondisi yang sulit terdiagnosis. Mengutip laporan Endometriosis Misdiagnosis Report oleh Endometrix, lembaga aplikasi digital untuk mencatat gejala endometriosis, butuh waktu sekitar empat sampai sebelas tahun seseorang terdiagnosis sejak kali pertama mengalami gejalanya.
Pasalnya, ungkap laporan tersebut, butuh pemeriksaan yang cermat dan mendalam karena endometriosis kerap didiagnosis sebagai kondisi lain. Belum lagi, gejalanya dismenore atau nyeri haid berlebihan, membuatnya dinilai sebagai nyeri menstruasi biasa. Begitu pula dengan adenomiosis. Oleh karena nyeri itu, kedua kondisi luput dalam pemeriksaan.
Keluhan perempuan terkait nyeri kronis yang cenderung diabaikan dikemukakan dalam penelitian Brave Men and Emotional Women (2018) oleh Anke Samulowitz dkk dari University of Gothenburg dan Chalmers University of Technology, Swedia. Samulowitz dkk menuliskan, perempuan yang mengeluhkan rasa nyeri cenderung dianggap melebih-lebihkan, memalsukan, dan dianggap hanya ada di kepala saja, seperti Lisa.
Dokter Sandra Suryadana, penggagas Dokter Tanpa Stigma mengatakan, ketika keluhan nyeri yang diabaikan karena dianggap nyeri menstruasi biasa atau faktor hormonal, maka ada kesempatan terjadi luput atau salah diagnosis. Dalam skala lebih besar dapat berakibat fatal, seperti kematian.
“Perempuan mengalami heart burns, misalnya, mengarah pada gejala serangan jantung. Namun, selama ini perempuan yang mengalami sakit jantung dinilai ada permasalahan lambung atau psikis. Sangat berbahaya jika ada salah diagnosis dan disepelekan,” kata Sandra kepada Magdalene.
Perkara salah diagnosis itu dialami “Tia”, mahasiswa di Bandung. Sekitar 2017, perempuan berusia 19 itu merasa ngilu, gatal, dan nyeri di vagina saat buang air kecil atau masturbasi. Selain itu, ada bau asam yang menusuk hidung saat dia keputihan. Ketidaknyamanan itu membuatnya mengunjungi dokter obgyn hingga ia didiagnosis kista.
“Saya selalu menghormati diagnosis tenaga medis dan tidak bisa dimungkiri juga kalau kadang butuh proses panjang untuk mendapatkan diagnosis tepat. Namun, saya berharap tenaga medis bisa bersabar menghadapi keluhan pasien, jangan sampai ada yang merasa sakitnya terinvalidasi,” ujar Lisa.
Baca juga: Impitan Peran Gender Sangat Pengaruhi Karier Tenaga Kesehatan Perempuan
“Saya disarankan operasi, tapi saya sudah sakit hati dimarahin karena mastrubasi. Jadi saya pikir mending cari opini dari dokter lain dan saya juga baru saja operasi usus buntu sama skoliosis,” ujarnya pada Magdalene.
Dia mengunjungi rumah sakit berbeda kemudian ditangani dokter spesialis kulit dan kelamin lalu didiagnosis infeksi saluran kencing akibat air yang tidak bersih. Tia diberi obat oral dan sembuh beberapa hari kemudian.
Merespons misdiagnosis pada perempuan, “Melinda”—dokter umum asal Makassar yang ingin identitasnya dirahasiakan—mengatakan, walaupun seseorang merasakan diagnosis dokter belum tepat, ia tidak dapat langsung menyebutnya sebagai misdiagnosis.
“Mungkin sebutan yang lebih tepat underdiagnosed, selain itu ada etika yang mengatur dan tidak bisa menyebut dokter sebelumnya salah diagnosis. Kode etik itu mengatur bagaimana kita berinteraksi dengan pasien dan sebenarnya kita tidak boleh membeda-bedakan (perilaku) antara pasien laki-laki dan perempuan,” kata Melinda.
Riset yang Belum Inklusif
Secara historis bias gender di medis dapat dilacak dengan histeria atau female hysteria–dari bahasa Yunani untuk rahim, diagnosis medis yang khusus diberikan perempuan ketika dinilai berperilaku di luar ‘norma’ atau maniak. Walaupun, histeria sudah tidak relevan dan terbukti sebagai manifestasi seksisme dalam bidang kesehatan, hal itu menunjukkan perempuan tidak dipertimbangkan dalam kondisi medis yang berkeadilan gender.
Sandra mengatakan, adanya bias gender dalam medis dipengaruhi budaya patriarki yang terinternalisasi. Walaupun berupaya objektif karena berkiblat pada sains, dalam praktiknya dunia kedokteran dipengaruhi norma budaya, agama, dan gender. Salah satu contoh bias nyata terjadi pada pasien di dokter kandungan.
Dalam pengamatannya, perempuan cenderung tidak memiliki suara dan harus mengikuti perkataan suami terkait persalinan atau apakah janin ingin digugurkan. Tenaga medis juga tidak memberikan waktu bagi pasangan untuk berdiskusi dan langsung bertanya kepada suami untuk mengambil keputusan, ujar dokter muda Angelika Rizki yang mengambil program spesialis OB-GYN. Salah satu contoh kasusnya, husband stitch atau jahitan pada vagina setelah proses persalinan yang dilakukan tanpa persetujuan istri.
Dokter Sandra Suryadana, penggagas Dokter Tanpa Stigma mengatakan, ketika keluhan nyeri yang diabaikan karena dianggap nyeri menstruasi biasa atau faktor hormonal, maka ada kesempatan terjadi luput atau salah diagnosis. Dalam skala lebih besar dapat berakibat fatal, seperti kematian.
“Menurut saya penting untuk mengetahui perasaan ibu terlebih dahulu daripada keputusan suaminya karena yang merasakan sang istri, bukan suami,” kata Angelika kepada Magdalene.
Selain itu, bias gender juga tercerminkan dalam riset medis. Sandra mengatakan, dalam riset sangat penting keterangan data responden, seperti jumlah partisipan laki-laki maupun perempuan, usia, hingga status ekonominya sebab akan memengaruhi hasil riset. Akan tetapi, jika riset masih kurang menjelaskan tentang kategorisasi itu, maka sulit mencapai riset yang inklusif.
“Contohnya saat penelitian COVID-19. Banyak yang tidak memasukkan perempuan sebagai responden dan terlambat mengetahui vaksin berdampak pada siklus haid. Saat mulai muncul laporan, baru dilakukan penelitian lanjutan yang menguras energi dan biaya,” kata Sandra.
Mengutip CNBC Indonesia, November tahun lalu ada sekitar 30.000 perempuan di Inggris yang melaporkan efek perubahan siklus menstruasi ke Pengaturan Obat dan Produk Kesehatan Inggris (MHRA). Sementara di Amerika Serikat (AS), ada 140.000 perempuan yang melaporkan hal senada.
Baca juga: Berlapis Tekanan Para Tenaga Kesehatan
Perubahan siklus itu juga dialami Tia, mahasiswa di Bandung, yang menerima dosis vaksin pertama pada 10 September tahun lalu. Sebelum vaksin, Tia belum menstruasi bulan itu. Namun, setelah vaksin dia tidak mengalami menstruasi selama satu bulan, kendati tetap merasakan nyeri haid.
“Saya tidak pernah terlambat menstruasi dan setelah vaksin saya menunggu pertengahan sampai akhir bulan, tapi enggak ada. Sampai panggilan vaksin dosis kedua saat Oktober di tanggal yang sama, saya juga belum haid,” kata Tia kepada Magdalene.
Ketika menjalani medical check up untuk vaksin dosis kedua, keluhan Tia tidak dinilai sebagai efek vaksin karena belum ada orang lain yang menyampaikan ada perubahan siklus menstruasi. Tia kemudian tidak diberikan vaksin dosis kedua dan diarahkan menemui dokter penanggung jawab yang mengatakan mungkin Tia sedang mengalami naik-turun hormon atau hamil.
“Saya enggak menyalahkan vaksinnya dan sekitar dua hari setelah jadwal dosis kedua baru deh saya haid lagi. Namun, siklusnya jadi enggak menentu dan jadi lebih singkat. Waktu itu saya sempat haid empat hari, padahal biasanya enggak begitu, ” kata Tia.
Menurut penelitian Association Between Menstrual Cycle Length and Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Vaccination oleh Alison Edelman dkk dari Oregon Health & Science University, beberapa perempuan yang sudah menerima vaksin COVID-19 mengalami perubahan kecil, seperti kurang sehari dalam siklus menstruasi. Namun, hal itu tergantung dari status vaksinasinya, satu atau dua dosis. Individu yang menerima dua dosis vaksin dalam satu siklus menstruasi rata-rata akan bertambah dua hari. Akan tetapi, kembali normal dua siklus berikutnya pasca-vaksinasi.
Sandra mengatakan, “Riset yang bias gender membuat pengalaman perempuan menjadi samar dan akan berpengaruh pada riset lanjutan yang menjadikannya rujukan.”
Perspektif Gender dalam Medis
Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), secara global 67 persen dari pekerja medis adalah perempuan. Meski demikian, ada perbedaan terkait profesi kesehatan yang dipegang laki-laki dan perempuan, seperti mayoritas perempuan bekerja sebagai dokter umum, perawat, dan bidan. Hal senada disampaikan data Kementerian Kesehatan pada 2019, tenaga medis mencapai 1.244.1162 orang dan 70 persen di antaranya juga perempuan dengan profesi yang sama.
Meski didominasi perempuan, hal itu tidak diiringi kenaikan perempuan di posisi pemimpin atau melanjutkan pendidikan ke tingkat dokter spesialis. Kemenkes juga menyebutkan hanya 12.324 perempuan yang melanjutkan pendidikan spesialis, sedangkan laki-laki mencapai 17.268 orang.
“Nayla” mahasiswa magister Departemen Epidemiologi, Universitas Hasanuddin mengungkapkan, perempuan tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi untuk spesialisasi profesi sebab menstigma sejumlah bidang khusus untuk laki-laki, seperti anestesi, ortopedi, dan urologi. Selain itu, sebelum mengambil jenjang pendidikan lanjutan ada pertimbangan, seperti perempuan harus mengurus keluarga.
Karenanya, tidak bisa menghabiskan waktu lama di rumah sakit, walaupun dia memiliki kemampuan serta kompetensi yang mumpuni.
“Jika melihat residennya, perempuan yang mengambil anestesi sedikit, begitu pula dengan bedah. Jadi ada partisipasi yang sedikit untuk beberapa departemen yang beban kerja dan mentalnya berat,” ujarnya pada Magdalene.
Nayla mengatakan, jika jumlah dokter spesialis masih rendah untuk bidang yang dicap maskulin, maka akan muncul kesenjangan terkait pasien perempuan yang lebih nyaman diperiksa oleh dokter perempuan. Ia berujar, “Ada pasien yang lebih suka dengan dokter perempuan, mungkin karena preferensi pribadi atau alasan keagamaan, tetapi memilih tidak mengunjungi atau memeriksakan ke dokter karena posisi itu kosong,”
Hal senada disampaikan Angelika, karenanya ia berpendapat dokter atau residen perempuan harus membongkar bias tidak bisa menempuh pendidikan lanjutan dan ada departemen tertentu yang dikhususkan untuk laki-laki. Begitu pula dengan dokter lain yang menilai pekerjaan tertentu, seperti menjahit sebagai sesuatu yang tidak dapat dilakukan perempuan karena termasuk pekerjaan berat.
“Di tempat saya menempuh pendidikan kedokteran juga sudah banyak yang mengajak teman-teman perempuan untuk masuk departemen ortopedi karena itu enggak harus laki-laki saja,” ujarnya.
Sandra mengatakan, “Riset yang bias gender membuat pengalaman perempuan menjadi samar dan akan berpengaruh pada riset lanjutan yang menjadikannya rujukan.”
Di sisi lain, tambah Angelika, dibutuhkan juga pelatihan atau materi perkuliahan tentang sensitivitas gender agar saat pemeriksaan tidak memberi penghakiman akibat bias pribadi kepada pasien. Menurutnya, terlepas dari materi kekerasan terhadap perempuan, penekanan pentingnya inklusivitas gender masih luput dalam pendidikan kedokteran.
Berkaitan dengan itu, feminis telah mendorong agar teori feminisme digabungkan dalam pendidikan kedokteran. Malika Sharma, misalnya, akademisi dari University of Toronto menyatakan lensa feminisme dapat digunakan untuk membenahi isu kesenjangan pemeriksaan medis, upah dan posisi kepemimpinan tenaga kesehatan, hingga regulasi kekerasan seksual bagi pasien dan dokter.
Sementara Sandra mengatakan, institusi pendidikan dapat menyusun kurikulum mandiri atau kelas tambahan terkait perspektif dan sensitivitas gender. Namun, melihat banyaknya media yang mengangkat isu gender, walaupun tidak ada ruang kelas seseorang dapat belajar dari sana.
“Perspektif berkeadilan gender diperlukan agar melayani pasien atau riset ada sudut pandang lebih terhadap perempuan maupun minoritas gender lainnya dan tidak memukul rata semua hasil diagnosis sebagai sama,” kata Sandra.
Proyek jurnalistik ini didukung oleh Meedan, organisasi non-profit di bidang teknologi yang punya visi memperkuat literasi digital dan jurnalisme global.
Comments