Saya akan memulai artikel ini dengan pengakuan bahwa saya bukanlah orang yang taat beribadah. Namun, kalau ada bulan yang paling saya sukai sepanjang tahun, tiada bukan dan tiada lain ialah Ramadan. Selama satu bulan saya melihat orang-orang menjadi lebih enggak ngegas, jauh lebih sabar, dan rutin pamer kebaikan. Pamer bagi-bagi makanan, pamer sedekah. Selain itu, selama Ramadan kita semua juga disuguhi beraneka makanan yang melimpah. Kegiatan favorit saya adalah jalan-jalan sore menjelang berbuka puasa di gang-gang atau pinggir jalan untuk mengincar lauk berbuka.
Dulu, ketika masih di kampung halaman dan sering menonton TV, tontonan Ramadan adalah satu hal yang selalu saya tunggu. Ada yang beda dari sinetron-sinetron Ramadan bila dibandingkan sinetron-sinetron reguler lainnya. Rasanya mereka lebih berkelas. Berbeda dengan sinetron religi yang terasa macam film Final Destination, terutama ketika memilih cara menyiksa karakter jahat saat mati—sebagai tanda kalau azab itu nyata dan dekat.
Setidaknya itu yang saya ingat. Sampai akhirnya, seminggu awal Ramadan ini saya habiskan untuk menonton ulang sinetron-sinetron Ramadan yang dulu pernah saya tonton.
Baca juga: Kejutan di Ujung ‘Twenty-Five, Twenty One’
Sinetron Ramadan Periode 90-an: Doaku, Harapanku
Sebelum Krisdayanti menjadi pejabat seperti sekarang, di periode 90-an dia terkenal sebagai seorang penyanyi super-terkenal. Kesuksesannya menjadi penyanyi, bahkan sampai membuat produser sinetron memberikannya peran terbaik dalam sinetron-sinetron yang nge-hits pada era itu. Salah satunya, Abad 21. Namun, dalam memori saya, Krisdayanti lebih akrab sebagai karakter menantu yang disiksa mertua jahat dalam Doaku Harapanku—pelopor sinetron Ramadan Indonesia.
Dalam Doaku Harapanku, Krisdayanti berperan sebagai Anisa, seorang mbak-mbak kantoran biasa yang kebetulan mempunyai ayah yang sedang sakit-sakitan. Selain itu, hidupnya kelihatannya oke-oke saja. Karier bagus, sehat dan cantik, serta punya pacar ganteng bernama Andika (Dicky Wahyudi) yang luar biasa baik.
Kemudian suatu hari kondisi ayah Anisa turun drastis. Di ranjang rumah sakit dan terbaring lemah, tidak ada yang ayah Anisa inginkan selain melihat anaknya menikah. Karena Andika adalah mas pacar yang sangat baik, dia pun langsung memboyong ibu tirinya, Lala (Leily Sagita) dan adik tirinya Sarah (Nova Eliza), untuk datang ke rumah sakit menjadi saksi pernikahan. Lalu, mimpi buruk Anisa pun dimulai.
Bahkan untuk ukuran sinetron zaman dulu, Doaku Harapanku di ingatan saya hadir sebagai tontonan yang sangat mengharu biru. Sampai sekarang, saya masih ingat momen Krisdayanti disiksa mertuanya dengan begitu heboh sampai-sampai dia harus buka puasa dengan air hujan. Namun, menonton lagi sinetron ini dengan semua pengetahuan saya yang sekarang—berikut konteks dan zaman yang berubah—saya terkejut dengan betapa horornya sinetron ini.
Dari sepuluh episode pertama yang saya tonton ulang lagi, saya melihat Lala sebagai ibu mertua tidak hanya menyiksa menantunya secara fisik tapi juga secara psikologi. Baru pertama kali Anisa tinggal di rumah suaminya saja, Lala sudah meng-gaslight Anisa dengan santainya. Mulai dari bilang masakan buatan Lala tidak enak sampai memaksa pembantu-pembantu di rumah mereka berbohong dan bilang masakan yang dibuat Anisa beracun. Dan ini baru puncak dari semua kekerasan yang ditampilkan di sinetron ini.
Tidak susah memang melihat kenapa sinetron ini begitu diminati masyarakat ketika dia pertama kali muncul. Selain sinetron ini menjadi pelopor sinetron yang tayang setiap hari untuk menemani penonton Indonesia berbuka puasa, ceritanya juga didesain sedemikian rupa untuk menarik engagement. Dengan bumbu seperti karakter protagonis yang serba baik, karakter antagonis we love to hate dan konflik over-the-top seperti Andika yang tiba-tiba amnesia, Doaku Harapanku adalah semua hal yang membuat suasana menunggu Maghrib menjadi seru. Sinetron ini bisa jadi toxic tapi ia jauh dari kata membosankan.
Baca juga: Seberapa Akurat Inventing Anna dan Kenapa Kita Perlu Tahu?
Doa Membawa Berkah
Setelah dua jilid Doaku Harapanku yang mengharu biru (di sekuelnya, Lala yang menjadi karakter antagonis di musim pertamanya berubah menjadi protagonis), ada satu lagi sinetron yang mewarnai masa kecil saya. Dengan Tamara Bleszynski sebagai pemeran utamanya, Doa Membawa Berkah adalah sinetron Ramadan yang berhasil mengumpulkan semua anggota keluarga di depan televisi. Dibandingkan dengan Doaku Harapanku yang dari awal dramanya sudah over-the-top, Doa Membawa Berkah terasa agak segar karena cerita utamanya adalah tentang percintaan kedua remaja yang dibungkus dalam dinamikalove and hate relationship.
Kalau Rafli (Anjasmara) adalah mahasiswa ganteng, baik dan rajin salat maka Tarissa (Tamara Bleszynski) adalah kebalikannya. Digambarkan baru saja balik dari Amerika, Tarissa digambarkan sebagai mahasiswi yang sangat liberal, seenaknya sendiri, judes dan sama sekali tidak bisa menerima nilai-nilai tradisional. Tarissa bahkan dengan terang-terangan merokok, sebuah image yang sangat keras pada zaman itu, terutama dalam konteks sinetron indonesia. Ketika Tarissa bertemu dengan Rafli, keduanya sebenarnya sudah saling tertarik. Akan tetapi Tarissa tidak kuat dengan semua hidup Rafli yang sangat basi dan tame. Tentu saja dengan kebaikan Rafli yang tiada ujung, hubungan mereka berdua akhirnya semakin membaik dan mereka akhirnya jadian.
Tapi tentu saja Doa Membawa Berkah tidak akan ditonton banyak orang kalau tidak ada bumbu-bumbu dramanya. Dalam sinetron ini ada sub-plot rumah tangga yang pelik antara Rasyid (Tabah Penemuan), istrinya Dewi (Anna Tarigan) dan ibunya Rasyid dan juga Rafli (Nani Wijaya). Kalau Doaku Harapanku mertuanya yang jahat, di Doa Membawa Berkah menantunya yang jahat. Dewi melakukan segala cara untuk menyiksa psikologis ibu mertuanya sendiri. Dari gaslight kecil-kecil sampai membuat drama heboh atas hal terkecil yang dia alami.
Menonton ulang sinetron ini, saya terkejut dengan fakta bahwa orang tua saya (dan orang tua orang tua yang lain) membiarkan saya yang masih SD menikmati konten yang seperti ini. Di musim pertamanya saya melihat karakter Dewi membuat hidup mertuanya sengsara sebegitu rupa. Di musim keduanya, aktor langganan antagonis Leily Sagita hadir kembali sebagai Farida yang lagi-lagi menyiksa ibunya Rafli. Adegan Farida mendorong ibu Rafli yang masih stroke di kursi roda adalah salah satu adegan yang melekat di kepala saya. Saya ingat reaksi semua orang saat adegan itu muncul di TV. Bombastis dan secara harfiah membuat semua orang menyebut nama Tuhan.
Seperti yang bisa diprediksi bumbu reguler yang ada dalam Doa Membawa Berkah membuatnya menjadi sinetron yang digandrungi. Sinetron ini tidak hanya melahirkan sekuel, tapi juga menjadikan Tamara Bleszynskimenjadi ratu snetron Ramadan. Ia hadir dalam sinetron Ikhlas dan beberapa jilid sinetron Hikmah.
Baca juga: Turning Red Sebagai Metafora Menstruasi yang Tabu
Lorong Waktu
Sebenarnya ada lagi satu sinetron Ramadan zaman dulu yang saya tonton dan saya suka tapi anehnya dia tidak se-memorable dua sinetron yang saya sebutkan diatas. Judulnya adalah Lorong Waktu dan ia diproduksi oleh rumah produksi yang juga melahirkan sinetron Ramadan yang awet sampai sekarang, Para Pencari Tuhan. Berbeda dengan sinetron-sinetron diatas yang digandrungi kebanyakan orang (terutama ibu-ibu yang sungguh meluangkan waktu untuk membenci semua karakter antagonisnya), Lorong Waktu agak jauh lebih low-key.
Ceritanya tentang persahabatan antara Zidan (Jourast Jordy), Pak Haji Husin (Deddy Mizwar) dan Ustadz Addin (dimainkan tiga orang, Adjie Pangestu, Dicky Chandra dan Hefri Olifian). Di sinetron ini, Ustadz Addin diceritakan punya komputer canggih yang bisa membuat Zidan dan Pak Haji Husin loncat waktu dan berpetualang. Kalau Doaku Harapanku dan Doa Membawa Berkah bercerita secara serial, Lorong Waktu adalah sinetron yang bisa ditonton kapan saja karena Pak Haji Husin dan Zidan mempunyai petualangan yang berbeda-beda tiap episodenya.
Seperti halnya Para Pencari Tuhan (setidaknya dari musim pertama yang saya tonton), Lorong Waktusesuai dengan tujuan kehadirannya lebih fokus ke dakwah dan nilai-nilai yang baik daripada drama over-the-top seperti kedua sinetron yang lain. Mungkin karena Lorong Waktu lebih family friendly, dengan tokoh utama anak kecil, sinetron ini tidak semenarik perhatian Doa Membawa Berkah. Saya tidak ingat tetangga-tetangga membahas petualangan Zidan ketika masih kecil. Saya lebih ingat orang-orang membahas kelakuan Dewi atau betapa jahatnya Farida.
Sepertinya memang kekerasan dalam sinetron-sinetron itu lebih menarik perhatian penonton Indonesia daripada yang isinya dakwah beneran.
Cekikikan Bersama Kenangan
Mungkin karena sekarang saya tidak menonton TV lagi ,tapi sepertinya sinetron Ramadan tidak punya gaung sebesar yang dulu. Selain karena sinetron stripping sudah bukan barang baru lagi, kita sekarang punya banyak pilihan untuk menghabiskan waktu menunggu buka puasa. Ada berbagai opsi yang bisa kita pilih untuk mengurangi rasa bosan mulai dari reality show masak-masakan sampai drama korea yang mengharu biru.
Memori memang hal yang luar biasa aneh. Selama seminggu pertama Ramadan ini saya menemukan diri saya cekikikan sendiri menonton ulang sinetron-sinetron Ramadan yang zaman dulu menemani saya berbuka puasa. Saya terkejut sekali bahwa konten seperti ini ternyata digemari banyak orang (dan orang tua saya membiarkan saya menonton sinetron-sinetron ini). Saya tahu konten-konten ini sangat toxic, tapi setidaknya sekarang saya punya pilihan untuk mengganti tontonan ketika saya sudah tidak kuat dengan gambaran kekerasan yang ada.
Comments