Secara logis, di luar kebijakan yang dibuat pemerintah, pandemi memaksa kita untuk membatasi segala kegiatan di luar rumah. Alasannya jelas: untuk meminimalisir penyebaran Covid-19. Pemerintah memprediksi akan terjadi lonjakan varian Omicron yang dibuktikan dengan meningkatnya kasus positif.
Namun, mengurangi aktivitas dan potensi kerumunan nyatanya tak menjamin ruang publik kita bebas dari pelecehan seksual.
Konklusi itu dipertajam hasil survei yang dirilis oleh Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) pada 31 Januari 2022 kemarin. Survei yang mengambil sampel 4.236 responden dari 34 provinsi di Indonesia tersebut mendapati bahwa 78,89 persen perempuan mengalami pelecehan. Angka paling banyak.
Data itu menyebut empat dari lima perempuan di Indonesia mengalami pelecehan di ruang publik. Angket yang disebar medio November hingga Desember 2021 tersebut mengklasifikasi bahwa sebanyak 2.130 responden mengalami pelecehan seksual di ruang publik luar jaringan (luring) seperti di jalan umum dan taman; 797 responden mengalaminya di kawasan permukiman; 693 responden di transportasi umum; 432 responden di toko/mal/pusat perbelanjaan; dan 377 responden tempat kerja.
Baca juga: Komnas Perempuan: Kasus Kekerasan NWR adalah Femisida
Data ini sekaligus menguatkan bahwa pelecehan seksual bisa terjadi di mana pun, dan oleh siapa saja. Serta mematahkan mitos-mitos, seperti pelecehan seksual hanya terjadi tempat sepi, malam hari, atau hanya terjadi pada korban dengan pakaian tertentu.
Bila ruang kelas atau ruang akademik dianggap sebagai ruang yang paling merdeka untuk berbagi ide, maka ruang publik seharusnya menjadi ruang yang aman untuk mengakomodir segala ekspresi beragam. Tentu dengan catatan ekspresi tersebut tidak melanggar hak orang lain. Bagi pemerintah sebagai pemangku kebijakan, sangat penting untuk melakukan aksi afirmasi dengan kebijakan yang bukan hanya retorik, tetapi juga implementatif, terutama pada isu pelecehan seksual di ruang publik.
Aksi Afirmasi
Aksi afirmasi konkret bisa diimplementasikan guna mendukung upaya menekan pelecehan seksual di ruang publik. Misalnya dari regulasi (penguatan substansi Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) hingga dengan hal yang fundamental bagi negara modern; seperti memperkuat infrastruktur berupa lampu jalan dan CCTV.
Selebihnya tentu mengajak partisipasi publik sebagai upaya untuk menggiring perspektif bahwa menormalisasi pelecehan seksual sebagai hal yang salah. Termasuk mengantisipasi doktrin kepercayaan/teologis tertentu yang mengglorifikasikannya.
Baca juga: Tak Ada Tempat Aman Perempuan di Dunia Ini, Kecuali Kuburnya
Dilema korban ketika pelecehan seksual di ruang publik terjadi adalah keberanian untuk melawan atau merespon. Bila orang di sekitarnya abai, korban biasanya akan merasa lebih riskan untuk melawan atau mengonfrontasi pelaku. Maka itu, dukungan orang di sekitar saat kejadian terjadi menjadi sangat penting.
Sebanyak 70 persen dari 3.000 responden yang mengalami pelecehan seksual, mengaku bahwa pelecehan yang mereka alami memperparah situasi atau perasaan mereka selama pandemi. Beberapa bahkan berpikir untuk bunuh diri. Namun, representasi mereka yang melapor masih sedikit. Lebih dari setengah atau sekitar 58 persen responden mengaku tidak melakukan konfrontasi.
Selain ruang publik arus utama, KRPA juga mendapati bahwa selama pandemi, pelecehan seksual semakin meluas ke lokasi ruang publik. Terutama yang relevan dengan penanganan Covid seperti fasilitas kesehatan, tempat karantina, dan pemeriksaan pasien.
Ruang publik lain yang dianggap rentan adalah media sosial, aplikasi chat, aplikasi kencan daring, gim virtual dan ruang diskusi virtual. Sedangkan kampus atau sekolah, baik secara luring dan daring, terkategorisasi menjadi institusi yang masih menjadi ruang tidak aman dari pelecehan seksual.
Tren pelecehan seksual di perguruan tinggi bahkan viral belakangan ini. Beberapa kasus memperlihatkan strategi pelaku dengan modus yang beragam.
Baca juga: Jalan Mundur Draf RUU PKS: Pasal-pasal Penting Dipangkas, Judul Diubah
Di ibu kota Jakarta dan sekitarnya, persentase pelecehan seksual di ruang publik memang terbilang tinggi karena mobilitas masyarakatnya. Merespon hal tersebut, Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) menginisiasi pembuatan pos SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) di beberapa halte Trans Jakarta, MRT, LRT dan perguruan tinggi, juga pos di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Hal-hal demikian dilakukan karena keseriusan menganggap pelecehan seksual adalah isu besar yang harus dikawal bersama.
Tantangan selanjutnya, adalah menyosialisasikan layanan-layanan ini agar gampang diakses masyarakat. Dan syukur-syukur menciptakan ruang aman yang lebih baik buat para penyintas dan korban.
Covid ternyata tidak menjadi halangan bagi para pelaku. New Normal yang dibawa Covid, seperti tabiat menjaga jarak, atau mengurangi aktivitas di luar rumah, ternyata tak serta merta mengurangi terjadinya pelecehan seksual. Mungkin, perlu ada revolusi pendidikan besar-besaran untuk menciptakan ruang publik yang lebih aman, bebas dari pelecehan seksual?
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments