Bagi perempuan kepala keluarga, penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dan Level 4 di wilayah Jawa dan Bali membuat situasi mereka sebagai pencari nafkah utama keluarganya semakin pelik. Mereka harus memenuhi kebutuhan keluarga, tapi mereka tidak dapat bekerja dan tidak mendapatkan upah.
Terlebih, bantuan pemerintah pada masa PPKM Darurat dan Level 4 acap kali tidak tepat sasaran akibat data bermasalah sehingga tidak banyak membantu mereka.
Sejumlah 15,46 persen rumah tangga di Indonesia pada 2019 memiliki kepala rumah tangga perempuan. Sebuah riset memperkirakan setidaknya ada 11 juta rumah tangga yang dikepalai perempuan.
Sebagian perempuan kepala keluarga memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah. Dalam upaya mencari nafkah, perempuan kepala keluarga terbentur kekurangan keahlian yang mumpuni, keterbatasan jangkauan wilayah, dan akses modal.
Agar bantuan sosial sampai pada mereka, pemerintah perlu menyediakan skema khusus bagi mereka dan juga skema bantuan modal untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mereka lakukan.
Baca juga: Menjadi Janda dan Lapis-Lapis Perjuangan di Baliknya
Dampak Pembatasan Kegiatan Selama Pandemi
Menurut data Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) perempuan kepala keluarga lebih sering mengisi pekerjaan di sektor informal, seperti usaha-usaha level kecil, asisten rumah tangga, buruh harian lepas, dan lain-lain.
Sebagian besar perempuan kepala keluarga mengalami penurunan jumlah penghasilan di masa pandemi, bahkan diantara mereka ada yang tidak berpenghasilan sama sekali. Ada yang tempat kerja mereka tutup sementara, ada juga yang gulung tikar.
Perempuan miskin kepala rumah tangga menjadi kelompok rentan yang paling menderita selama pandemi ini.
PPKM Darurat dan Level 4 yang memaksa banyak perempuan kepala keluarga harus berdiam di rumah dan tetap miskin. Ada yang bertahan dengan ‘banting setir’ mencari sumber pemasukan lain, seperti berdagang secara online.
Namun, karena pilihan pembeli semakin banyak, mereka yang tidak paham tata kelola bisnis digital kalah bersaing. Literasi digital yang terbatas pada perempuan kepala rumah tangga serta keterbatasan jangkauan akses jaringan internet juga menjadi kendala bagi mereka.
Pembatasan membuat bermacam beban yang sudah disandang perempuan kepala keluarga menjadi berkali lipat: memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, mencari modal dagang, dan kebutuhan anak sekolah.
Mereka mengalami kesulitan dalam menyeimbangkan tuntutan antara mencari nafkah utama, pekerjaan rumah tangga, dan tambahan tanggung jawab lainnya yang muncul. Misalnya, akibat aktivitas di sekolah tutup, anak-anak mereka harus belajar dari rumah.
Baca juga: Menjadi Janda Saat Pandemi, Tak Ada yang Perlu
Sudah Terjepit Sebelum Pandemi
Tanpa terjadi pandemi saja, perempuan kepala keluarga sudah harus berjuang untuk terlepas dari kemiskinan, ketimpangan, dan kekerasan.
Perempuan kepala rumah tangga disebut sebagai agen yang potensial dalam pembangunan ekonomi, namun tidak mendapat perlakuan yang sesuai. Kemiskinan menutup akses mereka terhadap sumber daya.
Perempuan kepala keluarga juga menghadapi stigma. Stigma janda serta pandangan negatif terhadap perempuan tak bersuami masih mengakar di masyarakat. Label ‘janda’ berdampak secara sosial dan ekonomi dalam kehidupan perempuan.
Stigma ini dapat menghasilkan kebijakan yang tak berperspektif perempuan. Sikap tidak sensitif gender di kalangan pejabat publik juga tidak banyak berubah di masa wabah.
Tidak Terjangkau Pemerintah
Selama pandemi, program bansos COVID-19 dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) banyak mengalami salah sasaran, karena data yang amburadul. Data yang bermasalah ini menjadi celah korupsi.
Kasus korupsi dana bansos yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara tidak terlepas dari data yang tidak sinkron di kementerian dan lembaga dengan data di lapangan.
Masih banyak orang miskin tidak terdata sebagai penerima bantuan. Perempuan kepala keluarga adalah kelompok marjinal yang kerap tidak masuk sebagai penerima bantuan pemerintah. Masih banyak perempuan kepala keluarga yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan menghambat mereka mengakses bantuan dan berbagai layanan publik.
Bantuan yang Lebih Baik
Selama pandemi, jumlah warga miskin Indonesia bertambah. Satu dari 10 orang di Indonesia hari ini hidup di bawah garis kemiskinan nasional.
Banyak di antara orang miskin baru tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Padahal, bantuan sosial sangat penting bagi ketahanan keluarga miskin di masa pandemi.
Melihat kurangnya dukungan pemerintah bagi masyarakat miskin, sebagian masyarakat menginisiasi kegiatan rakyat bantu rakyat.
Terlepas dari adanya berbagai bentuk inisiatif yang tumbuh di tengah masyarakat, pemerintah harus berkomitmen penuh dalam memberikan jaminan perlindungan sosial bagi masyarakat kelas menengah bawah.
Pemerintah perlu memiliki skema bantuan yang diperuntukkan kepada perempuan kepala keluarga. Mereka yang termasuk ke dalam golongan ekonomi menengah ke bawah, harus menjadi daftar prioritas penerima bantuan – baik untuk mereka yang memiliki atau tidak memiliki KTP.
Pemerintah juga perlu memudahkan akses perempuan kepala keluarga mendapatkan modal untuk UMKM. Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) harus inklusif dan menyasar perempuan kepala keluarga pelaku UMKM – sekali lagi, ada atau tidak ada KTP.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments