Peringatan pemicu: Adegan kekerasan secara eksplisit.
Adelaine Lisao, pekerja rumah tangga (PRT) asal Nusa Tenggara Timur meninggal dengan penuh luka memar di tubuhnya, bengkak, dan kurang gizi. Kejadiannya pada 2018, ia yang dipekerjakan dengan visa turis secara ilegal ditemukan oleh tetangga, mengerang kesakitan dan tidur bersama anjing majikan. Di Jakarta Utara, majikan menyiksa PRT menggunakan setrika dan cobek. PRT tersebut meninggal dunia usai dikurung dalam toilet tanpa diberi makan nyaris sepekan. Di Yogyakarta, PRT dipaksa menyiksa diri dan memvideokannya lalu disebarkan majikan dengan narasi “pembantunya sudah gila”.
Beberapa kasus kekerasan di atas adalah fenomena gunung es yang menimpa perempuan PRT. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menghitung, sepanjang 2015 - 2022 ada 3.255 kasus kekerasan PRT di Indonesia. Angka ini meningkat terus setelah sebelumnya pada 2018 mencapai 434 kasus dan 2019 di angka 467 kasus.
Ramainya kekerasan PRT di Tanah Air menunjukkan para pekerja ini adalah kelompok rentan yang belum layak, tak sejahtera, dan minim akses ruang aman. Salah satu indikasi kerentanan mereka tampak dari mangkraknya Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Padahal, disahkannya RUU PPRT sangat penting guna memberikan perlindungan kepada mereka dari tindakan diskriminasi, eksploitasi, dan pelecehan.
Selain absennya perlindungan hukum, PRT juga rentan karena sejumlah hal. Laporan International Labour Organization (ILO) berjudul Measuring the Economic and Social Value of Domestic Work (2011) menyebutkan, PRT secara historis kurang beruntung. Mereka merupakan kelompok marjinal yang berasal dari etnis minoritas dan berpenghasilan rendah. Kerentanan mereka ini berbanding terbalik dengan fungsi para PRT yang dinilai cukup esensial. Karena itulah, mereka laik diupah dan bisa bekerja dengan aman.
Baca juga: Jalan Panjang Pekerja Rumah Tangga Cari Keadilan, Negara ke Mana?
Mitos Nilai Sosial dan Ekonomi
Yang membuat PRT kerap tak dihargai kinerjanya adalah karena mereka bekerja di dalam rumah. Karena berada di sektor domestik, mereka dinilai tidak profesional. PRT pun tidak dihargai karena dianggap tak memiliki nilai sosial dan ekonomi, sehingga kemampuan yang dimiliki PRT tidak diakui sebagai skill yang harus dibayar.
Terlebih saat pandemi COVID-19, PRT menjalani peran yang cukup esensial. Mereka memasak, mencuci, membereskan rumah, merawat kita yang mungkin tengah sakit. Mereka juga menyetrika, merawat anak-anak, orang dewasa, hingga hewan peliharaan–semua aktivitas yang termasuk kerja produktif atau menghasilkan. Apalagi tidak ada masyarakat yang akan berfungsi tanpa perawatan yang memadai.
Terkait kerja produktif mereka, ILO mencatat PRT memberikan jasa bagi jutaan rumah tangga di seluruh dunia. Setidaknya yang tercatat ada sekitar 75,6 juta PRT yang berusia lima belas tahun ke atas. Karena pentingnya kerja-kerja mereka, Jala PRT menekankan untuk mengganti kata “pembantu” dengan “pekerja” rumah tangga. Tujuannya guna memberikan nilai yang lebih tinggi bagi para PRT.
Baca juga: Tangan-tangan Tak Terlihat: Bagaimana Jutaan PRT Bertahan Selama Pandemi
Dimulai dengan Upah yang Layak
Beberapa peneliti berusaha untuk menentukan berapa upah yang pantas didapatkan PRT. Penelitian bertajuk Assessing the Value of Household Work Based on Wages Demanded on Online Platforms for Substitutes (2022) menjelaskan, untuk tiap pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga Austria, jika dibayarkan akan setara dengan sekitar 22 persen dari produk domestik bruto (PDB) 2018.
Sementara, pada penelitian berjudul Estimating the Economic Value of Unpaid Household Work in Canada, 2015 to 2019 memperlihatkan nilai ekonomi pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar di Kanada adalah antara US$516,9 miliar dan US$860,2 miliar pada 2019. Angka ini sekitar 25,2 persen dan 37,2 persen dari PDB nominal Kanada pada 2019, yang notabene lebih besar dari kontribusi gabungan semua industri manufaktur, grosir, dan eceran.
Baca juga: Magdalene Primer: RUU Perlindungan PRT yang Sudah 16 Tahun Mangkrak
RUU PPRT Tak Bisa Ditawar
Penting bagi masyarakat untuk menuntut pemerintah mengesahkan RUU PPRT. Dalam Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak PRT, perlakuan terhadap PRT akan mengacu pada prinsip-prinsip dan hak-hak fundamental di tempat kerja, sebagaimana pekerja lain.
PRT berhak atas penghormatan dan perlindungan terkait dengan kebebasan berserikat, penghapusan semua bentuk kerja paksa, penghapusan pekerja anak, dan penghapusan diskriminasi berkenaan dengan pekerjaan dan jabatan. Bagi negara-negara anggota yang meratifikasi konvensi pun diharuskan menghormati, mempromosikan, dan mewujudkan prinsip‐prinsip serta hak‐hak mereka.
Comments