Peringatan pemicu: gambaran kekerasan seksual pada anak
Aku adalah seonggok daging kecil tanpa nama meskipun pemilikku dan orang di sekitarku sering menebak aku menjadi apa. Aku bukan perempuan, bukan laki-laki, bukan di antara. Aku berdetak tapi tidak bernyawa, tapi mereka semua hobi memberiku nama-nama. Aku tumbuh bersama nafas, serupa parasit yang berliuk di dalam rahimnya.
Pada hari-hari pertama aku hanyalah seonggok telur yang tidak beruntung karena telah dibuahi oleh kecebong yang kebetulan lewat dari seribu yang sudah kumuntahkan bulat-bulat. Malam itu aku mendengar suaranya payau, merintih sakit, dan menahan kemarahan, kekecewaan, dan dari rasa sakit yang ditanggung pemilik tubuh. Aku masih bisa merasakan bagaimana batang menggantung itu berlalu dalam lenguhan terakhirnya. Kemudian derit pintu, kemudian raung.
Pemilik tubuhku berusia sangat muda, terlalu muda untuk memiliki aku yang juga tidak berharap akan menyesap sisa-sisa harap terakhir di hidup perempuan itu. Aku mencari-cari sisa bahagia terakhir yang dapat kuhisap tuntas; dari cekung matanya, dari cekung payudaranya, atau dari cekung pipinya. Yang kucari tidak ada, ia masih terlalu muda, terlalu memuakkan, terlalu pahit untuknya bagiku hidup lebih lama, dan terlalu pahit untukku baginya hidup lebih lama. Terlalu muda untukku hidup, dan terlalu muda untuknya mati.
Baca juga: Aku Bohong pada Ibu
Aku sedang mengumpulkan tenaga untuk mengakhiri hidupku sendiri. Perempuan muda itu masih berseragam putih biru ketika aku mulai memberitahunya bahwa aku lapar, dan bahwa aku bertumbuh setelah batang menggantung itu meneriakkan dan mencampakkannya berulang kali. Aku dibanjirinya sumpah serapah sementara perempuan muda itu harus mengelus perutnya karena ia pun lapar dan tidak tahu harus berbagi dengan aku yang membentuk gumpalan-gumpalan semata. Aku adalah kanker yang lebih hidup dan bertahan dibandingkan hidupnya sendiri.
Pada waktu-waktu di mana aku mulai bertumbuh, bertambah, dan membuatnya susah, ia harus menarik dirinya dari ruah pipinya yang memerah menjadi mata air yang hampir mengering. Tangisannya pecah pada setiap malam ia berupaya mengoyak tubuhnya dan menyikat tubuhnya dengan sabun colek dan abu gosok. Ia berupaya hidup tanpa bekas siksa atas tubuh yang tidak pernah utuh menjadi milik. Ia berupaya hidup dengan suara-suara yang mengolok dirinya, ia meraung pada riuh yang sibuk menjagaku tapi menamparnya bertubi. Pintu-pintu enggan terbuka meskipun jemari kecilnya berusaha, kemudian ada aku yang setiap hari mencuri dengar deritanya dan hidup dalam kesombongan penghayatan sebuah parasit.
Aku sedang mengumpulkan tenaga untuk mengakhiri hidupku sendiri—aku mengikat diriku pada perjanjian bahwa ia berhak hidup, dibandingkan mati dengan seonggok daging yang menyimpan dendam. Hidupnya sudah ditukar oleh siksa yang tak perlu ditanya.
Baca juga: Gea dan Ranting Pohon Kemenyan
Mereka sibuk menanak nama, sambil melihat gumpalan-gumpalan menyesap darah bertumbuh dan bertambah. Ia menggelung dirinya setiap hari di kamar, menanggung malu atas namanya, menanggung dusta, menanggung caci-maki tetangga, menanggung muka yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia berhenti bermain, berhenti berjalan, dan berhenti makan, dan hampir berhenti bernafas. Sementara semua orang sibuk mengurusi aku yang tidak hidup dan membuat dia yang hidup kemudian mati.
Aku mati bunuh diri dan tidak perlu ditangisi. Orang-orang ini bodoh, bila pemilik tubuh tetap hidup dan aku nantinya tidak lupa dengan semua ini, aku akan menguliti diriku, mencambuk dan mencampakkannya serta. Aku tanpa bentuk dan tanpa nama, dan aku berharap tetap jadi demikian.
Ketika aku hidup, aku membunuhnya, harapannya, cintanya, menumbuhkan bencinya, kecewanya, sakitnya, menyiram dendamnya, lukanya, malunya, dan dia akan mati bunuh diri atau kau akan temukan jasadnya berjalan dan tersenyum ke arahmu. Kamu juga bodoh, kamu tidak tahu bahwa jiwanya sudah lama mati ketika kamu membuka mulutmu. Dia sudah mati, dan aku mati bunuh diri. Karena jika aku hidup, dirinya sudah dikuburkan di pusaraku.
Comments