Putus cinta sungguh tidak enak. Kamu bakal bangun tidur dan langsung menangis, dan itu berlangsung berhari-hari. Teman-temanmu kemudian datang bergantian, memelukmu, mendengarkan ceritamu yang pilu, membelikanmu makanan yang ujung-ujungnya kamu diamkan karena kamu baru bisa makan di hari keempat setelah putus, dan membantumu membersihkan kamar yang berantakan karena kamu terlalu sibuk menangis.
Patah hati itu menyebalkan. Dan lebih melelahkan lagi saat patah hati setelah di-ghosting begitu saja. Lebih jelasnya, ghosting adalah aksi menghilang, biasanya ditemukan dalam hubungan romantis. Tak ada pesan, tak ada telepon, bahkan media sosial. Singkatnya: tidak ada komunikasi.
Saya pernah mengalaminya.
Hubungan saya dan mantan adalah hubungan yang normal: komunikasi yang berlangsung setiap hari, intens, dan kuat. Mendadak, saya diputuskan secara sepihak tanpa alasan yang jelas, hanya untuk kemudian “balikan” lagi, menjadi dekat kembali, lantas ditinggal begitu saja.
Lucunya, ini berlangsung berkali-kali.
Saya tidak menyadari ini adalah praktik ghosting, atau lebih tepatnya: praktik ghosting yang terus berulang. Setiap kali terjadi, rasanya patah dan hancur—saya bagai tak punya sesuatu lagi untuk dibanggakan. Tapi setiap kali pelakunya kembali dan meminta maaf, dengan setumpuk pikiran positif, saya menerimanya, hanya untuk membiarkan diri saya terseret pada siklus yang sama.
Sebelum jatuh pada siklus ini, seorang mantan kekasih yang mengakui perselingkuhannya dan kami sepakat untuk putus. Meski menyakitkan dan membuat saya tumbang hampir satu bulan penuh, setidaknya ada kejelasan di sana: hubungan kami sudah selesai, tidak bisa diselamatkan, dan saya tahu betul saya tidak menginginkan seorang pengkhianat.
Berbulan-bulan berikutnya, saya bertemu “Taro”. Saya merasa, Taro adalah jawaban. Saya pikir, Taro adalah apa yang teman-teman saya gambarkan sebagai “suatu hari nanti, akan ada seseorang yang tepat”.
Baca juga: ‘Quarter Life Crisis’: Kita Semua Bingung, Lalu Bagaimana?
Taro adalah orang yang, dengannya, saya tak perlu susah payah merasa “klik”. Obrolan kami mengalir begitu saja dan ia selalu bisa membalas pikiran iseng saya dengan jokes yang menyebalkan, tapi memang lucu. Taro punya banyak perbedaan dengan karakter pria impian di kepala saya, tapi perasaan senang yang saya rasakan setiap kali kami pergi bersama seolah-olah sudah membayar itu semua.
Namun suatu hari, ia menghilang tanpa alasan dan kami mendadak tak lagi sama. Mulanya saya pikir ia hanya ketiduran selagi mengirim pesan, tapi status WhatsApp-nya terus online, sementara saya tak lagi mendapatkan dua centang biru berhari-hari.
Taro pergi dan saya tidak diberi tahu kenapa. Komunikasi terakhir kami normal, tapi bisa saja itu hanya menurut saya.
Dia kemudian kembali lagi. Hidup saya sedikit cerah. Kami berjanji tidak akan pergi meninggalkan satu sama lain setelah penjelasan susulan yang ia bawa.
Taro pergi lagi. Lalu kembali lagi. Lalu pergi lagi. Entah berapa kali siklusnya berputar, dan ini sungguh mulai terasa konyol.
Dengan mantan kekasih sebelum Taro, saya tidak merasa “ditinggal tanpa alasan”. Hubungan selesai setelah perbincangan langsung antara kami. Ini tidak bisa saya dapatkan dari Taro. Boro-boro perbincangan langsung, lah wong pesan WA saya saja enggak dibuka berhari-hari.
Kepala saya membentuk asumsi sendiri selepas menghilangnya Taro. Ternyata, keadaan ini dialami juga oleh banyak korban ghosting di luar sana.
Dikutip dari Alinea, Jennice Villhauer, direktur program psikoterapi di Emory Healthcare, AS, menyebutkan bahwa sakit hati yang dirasakan berkat fenomena ini bisa mengaktifkan saraf sakit yang sama ketika tubuh merasakan sakit fisik.
Peristiwa ghosting umumnya akan memberikan keadaan clueless pada korban hingga ia tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Ia menghasilkan ambiguitas yang dilematik. Pada kasus saya dan Taro, hal itu berkali-kali terjadi dan saya tetap tidak tahu harus berbuat apa karena memang saya tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Baca juga: 5 Hal Kurang Berfaedah dalam Persiapan Pernikahan
Selain membuat saya bertanya-tanya soal apa yang sudah saya investasikan bersama Taro, baik soal waktu, komitmen, dan seluruh kenangan, saya juga jadi mempertanyakan nilai diri sendiri. Kenapa saya tidak bisa mencegah apa yang Taro lakukan pada saya? Kenapa saya gagal melihat Taro yang sebenarnya, yang pada akhirnya akan melakukan ini? Apa, sih, kesalahan yang saya lakukan pada Taro sampai-sampai saya harus mengalami ini sendirian? Apakah saya benar-benar begitu tidak layak untuk seseorang yang tadinya mengaku bahwa ia sedemikian sayangnya pada saya?
Banyak ahli terapi kesehatan mental sepakat bahwa ghosting adalah bentuk kekejaman emosional. Ia mengakibatkan saya—dan banyak korban lainnya—tidak bertemu kesempatan untuk memperoleh informasi yang sebenar-benarnya. Ia bahkan bisa saja membuat korbannya terdiam dan tidak bisa mengekspresikan emosi.
Ini jelas buruk bagi korban yang punya penghargaan diri rendah, apalagi kalau terjadi berkali-kali. Proses pemulihan yang dibutuhkan tidak semudah minum obat tiga kali.
Satu-satunya pihak yang “diuntungkan” dalam fenomena ini adalah pelaku ghosting. Mereka, sayangnya, lebih cenderung menahan perasaan dan pembicaraan penting sehingga terbiasa “menghindari konflik” dengan menghilang tanpa sebab.
Kalau kamu adalah Taro, atau orang-orang setipe Taro, pikirkan pertanyaan ini baik-baik setiap kali rasa ingin kabur itu muncul kembali: Apa yang sedang kamu hindari?
Dear Taro dan konco-konconya, cobalah renungi dan hadapi apa yang paling kamu takutkan. Bersikaplah lebih baik di masa depan dengan menjadi lebih gentle dan berani menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai. Tidak ada yang suka dibohongi, dikhianati, apalagi ditinggal begitu saja.
Bahkan kalau alasannya adalah kamu harus segera menikah dengan orang lain.
But, anyway, thank you very much. Good luck.
Comments