COVID-19 membawa banyak pertanyaan tentang bagaimana kita bisa tetap hidup melampaui pandemi ini dan beragam efek samping yang muncul akibatnya. Penting sekali untuk menimbang kembali berbagai asumsi dan persepsi politik dan ekonomi tentang hasrat kita sebagai manusia dan bagaimana sistem yang berlaku saat ini mampu mengakomodasinya.
Inisiatif seperti jaminan pendapatan dasar, tempat penitipan anak, dan penghapusan pinjaman tentunya patut diacungi jempol tatkala banyak dari kita yang semakin menyadari rapuhnya jaringan sosial ekonomi manusia selagi terus bergulat dengan upaya-upaya mencegah bahaya di masa depan.
Di sisi lain, kesejahteraan hewan juga perlu dianggap lebih serius. Keluarga, komunitas kita, sekaligus masyarakat umum hidup berdampingan dengan hewan. Ada banyak cara menjalin relasi dengan hewan yang menginspirasi, saling menguntungkan bahkan menyelamatkan hidup.
Pada akhirnya, penderitaan hewan bukan hanya membahayakan spesies hewan lainnya, tapi juga spesies kita. Ini adalah masalah etika dan moral yang sangat serius sekaligus menjadi tonggak ekonomi, lingkungan, dan kesehatan fisik kita semua di masa depan.
Ini juga bukan soal membandingkan kelompok vegan dengan kelompok omnivora, atau budaya perkotaan dengan budaya pedesaan; ini soal manusia dan masa depan kehidupan di Bumi.
Baca juga: Kasus Covid Masih Tinggi: Pandemi Geser Hospital ke Home-spital
Konsumsi Hewan
Berbagai temuan ilmiah mengemukakan penyebab utama munculnya virus atau bakteri patogen di masa depan adalah kebiasaan manusia mengonsumsi hewan. Parahnya, manusia terus memperburuk kemungkinan ini.
Ada jutaan virus dalam tubuh hewan yang tidak pernah dijumpai oleh manusia hingga manusia menyentuh dan mengonsumsi hewan-hewan tersebut. Bisa dipastikan belum ada vaksin yang tersedia untuk hampir semua virus ini.
Resistensi antibiotik dan infeksi bakteri yang kian kuat juga menimbulkan tantangan tersendiri. Faktor utamanya adalah hewan-hewan yang diternak di pabrik yang penuh dan sesak dicekoki antibiotik meski mereka tidak sakit. Industri peternakan hewan rumahan juga tidak luput menjadi sarang pandemi selanjutnya.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kenyataan yang mengenaskan ini? Singkatnya, kita perlu bersikap lebih serius tentang keberadaan dan kesejahteraan hewan. Ada banyak kebijakan dan jalur penting yang patut dijajaki; namun ada tiga hal yang paling penting untuk dibahas.
Hentikan Perdagangan Hewan Eksotis
Pertama, perdagangan hewan eksotis (jenis nonasli di suatu wilayah) harus dihentikan.
Jutaan hewan, mulai dari ular hingga kura-kura dan monyet, diambil dari alam liar dan dikirim ke berbagai negara untuk dijadikan peliharaan, bahan hiburan, konsumsi, dan bahan riset.
Sebagian besar praktik ini masih berstatus legal meskipun risiko penularan virus zoonosis (dari hewan ke manusia) cukup tinggi. Begitu banyak hal yang dipertaruhkan, sedangkan kesehatan manusia tidak cukup kuat untuk terus mengakomodasi risiko ini.
Keadaan seperti ini tidak baik untuk hewan sekaligus manusia. Perlu ada pelarangan jual beli hewan eksotis. Pelarangan praktik ini mesti lebih kuat di tingkat nasional.
Baca juga: Grieving in the Time of Pandemic: Watching My Ailing Mom From Overseas
Industri Peternakan
Senada dengan poin di atas, kita juga perlu mengakui bahaya besar yang muncul dari industri peternakan hewan.
Industrialisasi dan korporatisasi peternakan sungguh berdampak buruk terhadap kesehatan manusia dan keberlangsungan komunitas kecil di seluruh dunia. Jumlah peternakan juga terus merosot karena peternakan rumahan kini digantikan oleh peternakan besar milik perusahaan yang dioperasikan secara otomatis. Ratusan bahkan ribuan hewan dikurung dalam sebuah fasilitas yang sangat padat dan sangat rentan menjadi prasarana penularan penyakit.
Sebagai contoh, Otoritas Statistik Kanada mengeluarkan laporan bahwa hanya ada 193,492 peternakan di seluruh Kanada. Padahal, di tahun 1996, jumlahnya mencapai 300,000 peternakan.
Seperti yang dikatakan oleh penulis Jonathan Safran Foer dan akademisi pangan Aaron S. Gross, peternakan di mana ayam-ayam yang dikurung secara intensif bisa diibaratkan sebagai Silicon Valley bagi perkembangan dan mutasi virus berbahaya. Pada 2019, ada hampir 800 juta ayam dibunuh di Kanada.
Selain menjadi pertunjukan horor nan fatal bagi hewan, rumah pemotongan hewan juga sangat jelas terbukti berbahaya bagi para penjagal itu sendiri.
Kebijakan-kebijakan juga perlu mengedepankan praktik pertanian berkelanjutan, serta produksi makanan dan minuman berbasis nabati serta daging kultur (sintetis) dan susu kultur. Kanada adalah salah satu contoh negara yang sukses menjadi lahan subur pengembangan produk inovatif dan protein nabati di mana produsen kacangan-kacangan seperti lentil dan kacang arab mampu mendulang sukses tanpa upaya besar.
Baca juga: All About Vaccine: A Conversation with Researcher Dr. Ines Atmosukarto
Di titik ini, perlu sekali adanya peralihan yang bijaksana menuju upaya-upaya produksi pangan yang lebih aman dan berkelanjutan sekaligus menyediakan lapangan pekerjaan yang baik, manusiawi dan juga berkelanjutan. Selain melibatkan sektor swasta, upaya-upaya ini tentunya juga membutuhkan kepemimpinan, dukungan publik dan tenaga kerja.
Di samping itu, walaupun risiko penularan dan penyebaran virus di pertanian berbasis nabati jauh lebih rendah, tetap perlu ada pendekatan yang bijaksana terhadap metode ini. Buruh tani, melakukan budi daya buah dan sayuran skala besar berhak atas hak-hak dasar, keselamatan kerja, tempat tinggal yang layak serta alat pelindung diri yang memadai.
One Health
Ketiga, kita perlu mengadopsi paham One Health yang menyatakan bahwa kesehatan manusia, hewan dan lingkungan saling terkait erat. Pemikiran One Health harus diperhitungkan dalam pilihan konsumsi pribadi serta keputusan politik kita.
Dalam sektor pendidikan, kesehatan, penegakan hukum, pangan, perawatan dan yang lainnya, One Health harus menjadi inti dari pembuatan kebijakan sekaligus tindakan yang bijaksana, responsif dan proaktif.
One Health juga memunculkan peluang besar untuk belajar dari perspektif masyarakat adat tentang kesejahteraan terpadu.
Para hewan berhak akan hidup yang lebih baik, seperti halnya dengan manusia. Lewat dari masa pandemi ini, sekadar kembali ke status quo bukan hanya tindakan keliru tetapi juga berbahaya.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari
Comments