Pertengahan November 2020, Komisi Eropa mengumumkan “Strategi Kesetaraan bagi LGBTIQ” sebagai agenda penting yang baru pertama kalinya diluncurkan. Strategi pengarusutamaan kesetaraan (equality mainstreaming) ini akan berlangsung untuk lima tahun (2020-2025), dan berlaku bagi ke-27 negara anggota Uni Eropa.
Menariknya, di dalam pernyataan resmi wakil presiden Uni Eropa, disebutkan bahwa strategi “ini bukan tentang ideologi. Ini bukan tentang menjadi pria atau perempuan. Ini adalah tentang cinta.” Boleh jadi, ini adalah satu-satunya kebijakan resmi Uni Eropa yang bukan didasari atas pertimbangan-pertimbangan tiga pilar utama: ekonomi, politik, dan keamanan.
Meski diberitakan luas di berbagai media lokal, regional, juga di Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan, gaungnya sama sekali tidak terdengar di Indonesia. Tak bisa dimungkiri, kita punya berbagai permasalahan ekonomi, sosial, dan politik yang dirasa lebih mendesak. Terlebih, apa yang terjadi di Eropa dianggap jauh dan tidak relevan bagi kita.
Tapi apa artinya kebijakan ini buat kita?
Kita tentu sudah sering mendengar pernyataan klise soal Eropa sebagai “surga LGBTIQ”—adanya hak menikah untuk pasangan homoseksual, kebebasan berekspresi, dan pawai tahunan LGBTIQ yang diadakan di berbagai kota Eropa (tahun ini batal karena pandemi). Meski memang demikian adanya, sesungguhnya hal tersebut tidak berlaku merata di semua negara anggota Uni Eropa.
Di Polandia, tindakan homofobik dan diskriminasi terang-terangan terhadap kelompok minoritas masih tetap terjadi hingga hari ini. Di Hongaria, ada rancangan undang-undang yang melarang adopsi oleh pasangan gay. Di Belanda, meski pernikahan gay diperbolehkan, kerap terjadi kekerasan fisik terhadap para pencari suaka LGBTIQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, queer), dan jumlah kasus tahun ini mengkhawatirkan.
Baca juga: ‘Welcome to Chechnya’ Pelajaran buat Indonesia untuk Berbenah Diri
Begitu juga yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Di wilayah negara-negara ASEAN (Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara), kita mengenal adanya Komisi Hak-hak Asasi Manusia (HAM) dan Deklarasi HAM yang dinyatakan dalam Konferensi di Phnom Penh pada 2012 lalu. Sayangnya, di dalam Deklarasi tersebut tidak ada pernyataan eksplisit tentang perlindungan bagi kelompok minoritas orientasi seksual. Padahal, pada 2006 sudah ada Prinsip-prinsip Yogyakarta tentang Penerapan HAM terkait dengan orientasi seksual dan identitas gender.
Kelompok masyarakat sipil di Asia Tenggara, terutama kaukus Ekspresi Orientasi Seksual dan Identitas Gender ASEAN (ASEAN SOGIE Caucus), juga sudah mendesak ASEAN untuk memperbarui Deklarasi dengan pernyataan anti-diskriminasi bagi kelompok minoritas orientasi seksual. Sampai akhir 2020 ini, kita belum melihat adanya perubahan.
Meski tidak ada perangkat hukum yang kuat, kelompok LGBTIQ di beberapa negara ASEAN seperti di Filipina, Thailand, dan Vietnam, bisa bernafas lebih lega dibandingkan rekan-rekan mereka di Brunei Darussalam, Malaysia, dan Indonesia. Berbagai kasus kekerasan dan persekusi terhadap LGBT yang terjadi di Indonesia, baik oleh organisasi masyarakat maupun aparat negara, memang tidak memberikan harapan adanya penerimaan yang luas di dalam masyarakat dan perangkat hukum negara. Hal ini semua menyadarkan kita masih punya jalan panjang nan terjal menuju “pengarusutamaan kesetaraan.”
Migrasi ke Eropa bisa jadi jalan keluar bagi LGBTIQ Indonesia, namun melakukan perubahan di dalam masyarakat sendiri jauh lebih penting. Yang kita ubah bukan hanya nasib individu tetapi penerimaan sepenuhnya dari masyarakat.
Migrasi ke Eropa jadi jalan keluar?
Memang ada kesan situasi di Uni Eropa lebih menjanjikan. Uni Eropa sendiri berupaya membentuk citranya sendiri agar tampil sebagai masyarakat garda depan perlindungan dan kesetaraan bagi LGBTIQ. Citra ini dirasa memberi kedudukan moral lebih mulia, dan juga praktis untuk membantu mereka yang membutuhkan jalan keluar pintas.
Pintu perlindungan suaka atas dasar orientasi seksual dan identitas gender memang sudah lama dibuka di beberapa negara Eropa, setidaknya sejak 2006. Jumlah pencari suaka ini setiap tahunnya meningkat. Sebagai akibatnya, di Perancis, misalnya, sejak 2013 dibentuk divisi khusus di dalam Kantor Perlindungan Pengungsi, yang bertugas mengurus para pencari suaka atas dasar orientasi seksual dan identitas gender ini. Mereka datang dari berbagai negara di Afrika, Asia Barat, dan Timur Tengah. Bagi mereka, memang ada prosedur khusus. Bantuan pendampingan hukum dan akomodasi sementara dari lembaga swadaya masyarakat juga tersedia.
Ini semua tidak berarti mengajukan suaka atas dasar orientasi seksual dan identitas gender menjadi seketika mudah (atau dipermudah). Di samping itu pula, ada diberitakan beberapa kasus penyalahgunaan, yakni orang yang mengaku-ngaku sebagai LGBTIQ agar dapat dengan mudah memperoleh suaka. Jumlahnya memang tidak banyak, tapi prosedur pembuktian juga bukanlah perkara yang sederhana.
Baca juga: Sejarah Gerakan dan Perjuangan Hak-hak LGBT di Indonesia
Strategi kesetaraan bagi LGBTIQ ini bukan berarti “mengundang” para LGBTIQ dari seluruh dunia untuk mengajukan suaka ke Eropa. Strategi kesetaraan tersebut terdiri dari empat pilar, yang salah satunya menyebutkan pentingnya Komisi Eropa “menyuarakan kesetaraan LGBTIQ di seluruh dunia.” Terkait hal tersebut, Komisi Eropa akan bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan organisasi-organisasi internasional lainnya untuk “mendesak kesetaraan LGBTIQ lewat berbagai dialog politik dan mendorong tindakan-tindakan pencegahan kekerasan, kebencian, dan diskriminasi atas LGBTIQ.”
Secara eksplisit juga disebutkan bahwa “organisasi masyarakat sipil setempat yang bekerja di garis depan dalam mempromosikan dan melindungi hak-hak LGBTIQ akan didukung sepenuhnya oleh Uni Eropa.” Pada titik inilah, organisasi masyarakat sipil Indonesia dapat melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan. Perubahan memang tidak seketika terjadi, tapi setidaknya kita tahu ada dukungan dari Uni Eropa yang bisa dijadikan salah satu dorongan utama.
Migrasi ke Eropa memang satu pilihan jalan keluar bagi LGBTIQ Indonesia. Jalur mencari suaka juga terbuka bagi mereka yang cukup beruntung (atau nekat) dan bersedia menempuh perjalanan dan rintangan yang tidak mudah. Dan memang ada beberapa individu LGBTIQ Indonesia yang memperoleh status suaka atas dasar orientasi seksual dan identitas gendernya untuk menetap di Eropa.
Namun bagaimanapun juga, melakukan perubahan di dalam masyarakat Indonesia jauh lebih penting. Yang kita ubah bukan hanya nasib kita seorang diri tetapi penerimaan sepenuhnya dari masyarakat kita sendiri atas hadirnya pelangi di bumi Nusantara.
Comments