Akun Twitter @lelakibugis, (19/8) mengunggah video mahasiswa Hukum Universitas Hasanuddin, Nabil, yang tengah diinterogasi saat Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru (PKKMB). Nabil diberondong pertanyaan yang memojokkan oleh dosen laki-laki dan perempuan. Hasrul, dosen laki-laki sekaligus Wakil Dekan III Fakultas Hukum, mendesaknya untuk menjawab apakah dirinya laki-laki atau perempuan.
“Di KTPmu apa? Laki-laki? Di kartu mahasiswa laki-laki atau perempuan,” tanya Hasrul.
Menanggapi pertanyaan itu, Nabil spontan menjawab, ia bukan keduanya, bukan laki-laki atau perempuan. Ia di tengah-tengah dan mengidentifikasi dirinya sebagai gender netral. Jawaban dari Nabil membuat Hasrul kaget. Menurutnya, jawaban Nabil tidak bisa diterima oleh akal sehat dan norma sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia. Tanpa pikir panjang ia pun langsung menyuruh panitia untuk mengusir Nabil dari perhelatan tersebut.
Potongan adegan yang tertangkap kamera ini sontak menimbulkan banyak reaksi. Tak sedikit yang mengungkapkan kekecewaan terhadap sistem pendidikan Indonesia. Pendidikan yang seharusnya inklusif bagi semua orang dari berbagai lapis kalangan dan identitas sosial budaya, malah jadi alat diskriminasi yang mendorong konformitas semu. Hal yang menurut Amar Alfikar, aktivis transgender dalam akun Twitter pribadinya hanya akan melahirkan kualitas pengetahuan yang kaku dan terseok-seok.
Namun, sebagian besar orang juga menilai apa yang dilakukan oleh Nabil adalah kesalahan dan merupakan bagian dari penyimpangan. Mulai dari menyebut nonbiner adalah bahaya laten LGBT yang dibawa oleh Barat ke tanah air, hingga tak sepatutnya budaya Twitter anak muda dibawa ke dunia nyata. Seakan identitas gender ini baru muncul di era digital. Namun, benarkah demikian?
Baca Juga: Alam Semesta yang Ternyata Serba ‘Queer’
Nonbiner Telah Lama Ada
Tak hanya masyarakat Indonesia, berbagai kelompok masyarakat dunia telah lama meyakini gender dan seksualitas secara biner. Laki-laki dan perempuan, maskulin dan feminin, tanpa mempertimbangkan aspek seksualitas yang sifatnya cair.
Heteroseksual diyakini jadi satu-satunya orientasi seksual “normal”. Identitas gender laki-laki dan perempuan pun dipahami sebagai pemberian kodrati dari Tuhan yang tak bisa dikompromikan. Maka tak heran, apa pun yang tidak bersifat biner dianggap sebagai penyimpangan, bukan termasuk peradaban manusia modern yang “beradab”.
Orang-orang gagal memahami, keragaman gender dan seksualitas itu sudah ada sejak lama. Itu bukanlah produk baru yang dibawa oleh Barat, tapi adalah akar budaya lokal masyarakat di berbagai belahan dunia.
Kita bisa melihatnya dalam masyarakat Hindu di mana orang-orang dengan ekspresi gender nonbiner telah memainkan peran penting selama lebih dari 2000 tahun. Mereka ini disebut sebagai orang-orang dengan gender ketiga.
Dilansir dari artikel Harvard Divinity School, bukti keberadaan mereka dalam masyarakat Hindu dapat ditemukan dalam teks-teks suci Hindu seperti Ramayana dan Mahabharata, di mana pahlawan Hindu Arjuna sebenarnya memiliki gender ketiga ketiga, “kilba”.
Orang dengan jenis kelamin ketiga sering dipuja sepanjang sejarah Asia Selatan. Para penguasa Muslim dari Kekaisaran Mughal pada abad ke-15 hingga ke-19 misalnya adalah pelindung yang murah hati dari orang-orang India gender ketiga dan mereka banyak menduduki posisi kekuasaan yang signifikan di bawah penguasa Hindu dan Muslim.
Secara spesifik di India, orang-orang gender ketiga ini dikenal dengan nama Hijra. Dilansir dari BBC, Hijra terlahir sebagai laki-laki tetapi berpenampilan dan berpakaian dengan cara tradisional feminin. Hijra dianggap memiliki kekuatan religious yang luar biasa. Mereka inilah yang melakukan tarian, lagu, dan berkah baik pada kelahiran maupun pernikahan umat Hindu. Bagi banyak umat Hindu, berkah hijra kepada seorang bayi akan memberikan kesuburan, kemakmuran, dan umur panjang pada bayi tersebut kelak.
Selain di India, jejak nonbiner juga dapat dilihat dalam masyarakat adat Afrika. Masyarakat adat Dagaaba di Ghana misalnya tidak menetapkan jenis kelamin berdasarkan anatomi, melainkan energi seseorang. Beberapa masyarakat adat Afrika Barat lainnya bahkan tidak menetapkan jenis kelamin sama sekali, atau setidaknya tidak sampai usia lima tahun atau setelah pubertas.
Dalam wawancara pada September 1993, cendekiawan Afrika Malidoma Somé yang lahir di masyarakat adat Dagara mengungkapkan, di antara orang-orang Dagara, gender tidak ada hubungannya dengan anatomi.
“Ini murni energik. Dalam konteks itu, seseorang yang secara fisik laki-laki dapat menggetarkan energi perempuan, dan sebaliknya. Di situlah gender sebenarnya.”
Di masyarakat Muslim, setidaknya ketika masa kekuasaan Ottoman, keberadaan nonbiner juga diakui. Dalam penelitian Performing and Desiring Gender Variance in the Early Modern Ottoman Empire (2021) dijelaskan dalam Çengi-nâme (Buku para penari Çengi), penyair Ottoman populer Enderun Fazıl (1757–1810) membuat katalog penari terkenal, köçeks di Istanbul akhir abad kedelapan belas.
Para penari köçeks adalah bukti nyata keberadaan nonbiner karena selain nama mereka yang netral gender, kostum dan tarian mereka juga mengaburkan garis gender biner yang dikotomis. Kostum mereka terdiri dari rok warna-warni, syal, dan ikat pinggang bersulam. Blus leher yang mereka kenakan rendah dan transparan, berikut dengan rompi beludrunya.
Gerakan tarian mereka juga campuran dari maskulin dan feminin, sehingga membuatnya jadi sangat ekspresif dan memukau banyak orang. Ekstensi mereka ada untuk mengaburkan batasan gender. Dukungan dari Sultan saat itu jadi faktor kunci dalam perkembangannya sebagai bentuk seni terbatas di kalangan bangsawan istana.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Di Indonesia, jejak nonbiner bisa kita lihat di masyarakat Bugis dan Toraja. Dilansir dari The Conversation, masyarakat Toraja mengakui gender ketiga, yaitu to burake tambolang. Antropolog Hetty Nooy-Palm menyatakan masyarakat Toraja percaya, para pemimpin agama yang paling penting dalam budaya mereka adalah seorang perempuan (burake tattiku), dan laki-laki berpakaian sebagai perempuan (burake tambolang). Masyarakat akan mengagumi dan menghormati sebuah desa yang memiliki to burake karena mereka memainkan peran penting sebagai pemimpin upacara spiritual atau panen di desa-desa.
Sedangkan dalam penelitian Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis (2004), berbeda dengan pemahaman oposisi gender biner, agama Bugis klasik mengenal lima jenis gender, yaitu oroané (laki-laki), makkunrai (perempuan), calalai (maskulin perempuan), calabai (laki-laki feminin) dan Bissu yang oleh antropolog Sharyn Graham digambarkan sebagai “meta-gender” yang dianggap” kombinasi dari semua jenis kelamin”.
Layaknya to burake, Bissu memainkan peran penting dalam komunitas lokal. Mereka adalah sosok yang memberikan berkah saat perkawinan, sebelum panen, bahkan sebelum orang Bugis melakukan ziarah ke Mekah. Bagi orang Bugis, Bissu tak hanya manifestasi dari pencampuran campuran maskulin dan feminin, tapi juga antara kefanaan dan keilahian (divine) yang hanya bisa dimiliki oleh roh melalui ritual yang rumit.
Gender Biner adalah Produk Barat Sesungguhnya
Jika memang dari dulu eksistensi nonbiner sudah ada, lantas mengapa masyarakat modern hanya memahami dan meyakini gender biner saja? Jawabannya semua karena kolonialisme kulit putih.
Dalam The Coloniality of Gender (2016), filsuf Maria Lugones menjelaskan, di bawah kolonialisme Eropa dan Amerika pada abad 19 yang berpusat pada ras kulit putih, pembagian seksual didasarkan pada biologis dimulai. Akarnya adalah sentimen rasial dengan menganggap orang-orang kulit hitam (Black), pribumi (Indigenous), dan kulit berwarna (People of Color) (BIPOC) sebagai ras lebih inferior dan butuh “disucikan” dengan peradaban maju mereka.
Sentimen rasial ini mengkriminalisasi BIPOC yang sudah sejak lama merangkul keragaman seksualitas dan gender. Caranya adalah dengan membuat klaim BIPOC orang-orang jahat dan terbelakang. Kolonial kulit putih mendehumanisasi BIPOC karena mereka percaya hanya laki-laki maskulin yang mampu berdaulat atau merdeka. Ini adalah cara mereka mempertahankan kekuasan dan superioritas mereka. Berpura-pura bahwa semua orang kulit putih adalah gender biner.
Hal ini misalnya dijelaskan lebih lanjut dalam Re-Dressing America’s Frontier Past (2011) dan The Biopolitics of Feeling: Race, Sex, and Science in the Nineteenth Century (2018). Pada tahun 1750-an penjajah Perancis Jean Bernard Bossu mengkriminalisasi orang Choctaw (pribumi Amerika) dengan menggambarkan mereka sebagai laki-laki korup berambut panjang yang secara moral menyimpang dan sebagian besar dari mereka kecanduan sodomi.
Hal ini juga terlihat dalam catatan John Hobhouse ketika berkunjung ke Kesultanan Ottoman pada 1820. Ia menuliskan bagaimana ia merasa sangat terkejut dengan penari köçeks. Ia bahkan menyebut mereka "binatang" karena mempraktikkan sebuah “kegairahan yang keji” dan melakukan “postur paling kotor yang bisa dibayangkan umat manusia”.
Ironisnya, sentimen rasial ini kemudian justru diperkuat dengan klaim-klaim dari para ilmuan kulit putih. Seperti yang dibahas Melissa N. Stein dalam Measuring Manhood: Race and the Science of Masculinity, 1830–1934 (2015), ras menjadi bidang ilmu pengetahuan Amerika abad ke-19 dan awal abad ke-20. Orang kulit putih menggunakan standar gender fisik mereka dan mengusulkan perbedaan jenis kelamin untuk "membuktikan" superioritas mereka terhadap orang Afrika melalui rasisme ilmiah pada pertengahan 1800-an.
Pada 1886, seksolog seperti Krafft-Ebing mengembangkan teori degenerasi. Teori yang menggarisbawahi queerness adalah manifestasi dari kelainan leluhur yang dapat ditularkan. Orang-orang queer dipandang sebagai kemunduran evolusioner dari sisa-sisa "primitivitas" yang bertahan dalam ras kulit putih sehingga perlu diberantas habis.
“Semakin tinggi perkembangan ras, semakin kuat kontras antara laki-laki dan perempuan," tulisnya.
Teori ini pun kemudian disusul dengan klaim-klaim ilmuan kulit putih lain yang senada. Pada 1897 misalnya William Thomas mengemukakan tentang ciri-ciri dari ras yang tidak beradab adalah ras yang tidak atau sedikit memiliki perbedaan fisik jenis kelamin antar individu dalam komunitasnya.
Inilah mengapa akhirnya paradigma tentang ras kulit putih dianggap lebih superior dibandingkan ras lainnya mulai tertanam kuat karena mereka memiliki kemampuan untuk dalam membedakan secara visual antara laki-laki dan perempuan. Hal yang tak dimiliki para BIPOC dan keragaman gender dan seksualitasnya.
Baca Juga: Cara Sederhana Lawan Queerfobia: Empati hingga Kasih Sayang
Satu hal yang kemudian membuat paradigma ini menjadi umum dan menggerus pengetahuan BIPOC tentang budayanya sendiri adalah karena penjajah kulit putih melakukannya dengan kekerasan.
Dilansir dari An Injustice Magazine, keragaman seksualitas dan gender di Amerika mulai dilihat sebagai penyimpangan salah satunya adalah melalui asimilasi budaya kekerasan di residential school yang dilakukan pendatang kulit putih. Para pribumi dipaksa ke dalam sistem pendidikan diskriminatif yang tidak mengintegrasikan budaya mereka.
Mereka dipaksa memilih identitas gender sesuai dengan peran gender para orang kulit putih. Jika mereka tidak mau menurut, mereka akan dibunuh. Hasilnya, para pribumi mau tidak mau menurut. Mereka berasimilasi dengan sistem baru yang ada dan mereka tak lagi memiliki hak pilihan dalam ekspresi diri mereka. Ini terbukti sangat efektif karena kini banyak pribumi Amerika bahkan tidak menyadari sistem gender mereka yang sebelumnya lebih luas saat ini.
Hal yang sama terjadi juga ketika kolonialisme Inggris di India. Saat menduduki India, Inggris memperkenalkan Criminal Tribes Act (CTA) pada 1871, yang bertujuan untuk menghapuskan Hijra. Kehadiran masyarakat hijra jadi bukti bagi Inggris tentang sifat India yang bejat dan korup secara moral.
Dari sinilah kemudian CTA mulai mencabut hak-hak sipil mereka dan memenjarakan mereka. Alasannya penangkapan mereka mulai dari cara berpakaian feminin mereka hingga keterlibatan dalam pertunjukan yang penting bagi pendapatan dan peran sosial Hijra. Dampaknya pun terlihat jelas hingga hari ini di mana Hijra kini hidup sebagai orang buangan dan sering mengalami diskriminasi yang parah layaknya para individu dari kasta bawah.
Di Indonesia sendiri, keragaman seksualitas dan gender dilihat sebagai sesuatu yang menyimpang tak lepas dari peran penjajah kulit putih. Dalam Decolonizing Gender Identities in Indonesia: A Study of Bissu ‘The Trans-religious Leader’ in Bugis People (2020) dituliskan bagaimana jejak penjajah membenarkan identitas gender dikotomis dapat dilihat dalam tulisan Antonio de Paiva, saudagar dan misionaris dari Portugal, yang mengunjungi Sulawesi Selatan pada 1540-an. Dalam suratnya, de Paiva menulis tentang “kemuakannya” terhadap Bissu atas praktik homoseksualitas yang dilihatnya.
“Saya pergi dengan pikiran yang sangat sadar ini, takjub Tuhan kita akan menghancurkan ketiga Kota Sodom itu untuk dosa yang sama. Mengingat bagaimana kehancuran tidak menimpa orang-orang yang nakal seperti ini dalam waktu yang lama dan seluruh negeri dikelilingi olehnya.”
Selain de Paiva, James Brooke yang berasal dari Inggris juga menulis dalam catatan perjalanannya ke Sulawesi Selatan mengenai keragaman gender di Indonesia. Ia menulis tentang Bissu yang ia pandang sebagai kebiasaan aneh karena mereka laki-laki berpakaian perempuan sepanjang hidup mereka.
Pada akhirnya, berbeda dari klaim-klaim sebagian masyarakat Indonesia eksistensi nonbiner nyatanya sudah lama ada. Nonbiner tidak hadir baru-baru ini lewat budaya internet. Nonbiner telah hadir ribuan tahun lamanya, menjadi akar budaya bagi banyak masyarakat dunia. Sayangnya, akar budaya ini sengaja dihapuskan dari memori kolektif para pribumi dan orang-orang kulit berwarna. Semua karena ras kulit putih yang menginginkan kuasa dengan cara meminggirkan kelompok lainnya.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari
Comments